webnovel

Raihan dan Farhan 3

Mereka sampai di tempat praktek dr. Renny, tetapi masih ada satu pasien di dalam ruangan, jadi mereka menunggu sebentar. Raissa sudah duluan masuk untuk memberikan hasil pada dr Renny.

Setelah pasiennya keluar, dr. Renny membaca hasil yang dibawa oleh Raissa dari bagian radiologi. "Wah Sa, hancur hatiku Sa!! sedih aku tuh!" kata dr. Renny sambil mengamati hasil rontgen Farhan. Raissa hanya mengangguk mengerti. Tenaga medis memang diharuskan untuk dapat memisahkan perasaan pribadi. Tetapi sulit kalau yang kita tangani adalah orang yang kita kenal bahkan dekat dengan kita. Raissa saja sempat harus menguatkan diri saat menolong Liza, rasanya ingin mengalah dan menangis histeris saja.Tetapi tidak mungkin! mereka mengandalkan tenaga medis untuk membantu mereka dan menolong mereka. Demikian juga dengan dr. Renny, kasusnya juga menyangkut anak-anak, Raissa saja yang baru kenal sudah jatuh iba. Bagaimana dengan dr. Renny yang mungkin membantu proses kelahiran dari anak-anak ini? "Apa perlu lapor polisi dok?" tanya Raissa. "Keduanya belum ada yang mau cerita?" tanya dr. Renny. "Belum dok." jawab Raissa. "Bawa mereka masuk Raissa." kata dr. Renny dengan berat. "Baik dok." kata Raissa lalu keluar memanggil Raihan dan Farhan. Mereka pun masuk bersama kedua orangtuanya yaitu Rudy dan Anya. Raissa mencari kursi tambahan karena di ruang praktek hanya tersedia dua kursi untuk pasien dan pengantar. Setelah kursi ditambahkan baru semuanya dapat duduk. Rudy dan Anya menunggu dengan cemas. sementara Raihan dan Farhan merasakan kecemasan orangtuanya jadi ikut terdiam.

Dr. Renny melepas kacamatanya lalu menatap Anya, "Hhhh... aku terus terang saja sama kalian ya.. tapi pertama-tama aku akan menjelaskan hasil Rontgen Farhan dan USG Raihan dulu, baru aku akan kemukakan pendapatku mengenai kasus ini." kata dr. Renny. "Iya Ren." kata Anya yang diikuti anggukan Rudy. "Hasil Rontgen Farhan menunjukan adanya patah tulang rusuk di rusuk ke 5 dan 6, disini tertulis akibat pukulan, kepalan tangan, kelihatannya tidak ada pergeseran pada tulang, seharusnya bisa sembuh sendiri asal Farhan mau beristirahat, tetapi aku ingin memastikan tidak ada serpihan tulang karena terlihat di paru-paru Farhan terdapat penumpukan cairan. Jadi disarankan untuk Farhan agar dilakukan pemeriksaan MRI." kata dr. Renny. Anya dan Rudy hanya berpandangan. "Kalau ada serpihan tulang harus bagaimana Ren?" tanya Anya. "Ya, mau tidak mau operasi. Semoga sih tidak, hanya saja aku tidak mau mengambil resiko ada yang ketinggalan. lebih baik dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh." kata dr. Renny. "Setuju dok, kami akan mengikuti saran dokter. Yang terbaik saja buat anak kami dok!" kata Rudy. Dr. Renny mengangguk. "Lalu Raihan bagaimana Ren?" tanya Anya. "Raihan mengalami pembengkakan pada heparnya, aku harus mengambil sampel darah untuk mengetahui seberapa besar kerusakannya. Tentu saja keduanya harus beristirahat dan jangan sekolah dulu." kata dr. Renny. "Ya tentu saja, yang penting sembuh dulu." kata Rudy. "Tapi sekarang keduanya sedang ikut lomba matematika dan sudah tahap nasional loh pa." kata Anya mengingatkan. "Ya mau bagaimana lagi ma, mereka sedang sakit." kata Rudy. "Sebenarnya ada satu lagi yang ingin saya bahas." kata dr. Renny. " Mengenai penyebab semua ini ya dok?" tanya Rudy. "Sumpah bukan kami Ren! kami sayang anak-anak kami."kata Anya. "Ya, saya tahu, tadi juga Raihan cerita pada Raissa bukan kalian yang melakukan ini, lagipula kalau kalian yang melakukannya tidak mungkin sikap keduanya akan nyaman seperti ini di dekat kalian. Masalahnya, keduanya tidak mau memberitahukan siapa yang melakukannya. Apa kalian punya kecurigaan?" tanya dr. Renny. "Kami awalnya curiga pelakunya lelaki dewasa, tapi tadi kata Raissa waktu Raihan Kabur dari sini karena marah padaku ia ditemani oleh CEO klinik ini yang juga lelaki dewasa. Tapi waktu ketemu prof untuk USG Raihan langsung histeris, bukan hanya Raihan, Farhan pun ikut menangis. Aku jadi bingung, di rumah pun hanya ada mbok Mirah, tapi tidak mungkin dia yang melakukan juga, selain sudah sangat lama bekerja dengan kami bahkan sejak mereka bayi, tapi karena sampai tadi pagi hubungan mereka baik-baik saja." jawab Anya. "Ada satu hal lagi dok, tadi prof. Bambang dan dr. Gilbert bilang pukulan dan hantaman yang diterima oleh Raihan dan Farhan seperti dari kepalan seorang anak. Anak yang kuat tapi jelas belum dewasa." kata Raissa. "Oya, lalu kenapa mereka takut dengan prof? " tanya dr. Renny. "Sayang? ayo bilang papa, siapa yang memukul kalian?" tanya Rudy. "Iya sayang, jangan takut, ada Mama dan papa disini, bisa melawan siapapun yang menyakiti kalian." kata Anya. Raihan tertunduk dan tetap diam sedangkan Farhan melihat ke arah mamanya. "Tidak bisa, mama tidak bisa, Papa juga tidak bisa, katanya Papa dan Mama tidak bisa melawan mereka. Kalau Papa Mama melawan mereka nanti Papa dan Mama bisa mati!!!!" kata Farhan lalu menangis. "Mereka siapa nak? Tidak, mama dan papa tidak akan mati." bujuk Anya sambil memeluk anaknya. "Aduh sakit Ma!" seru Farhan ketika Anya menyentuhnya. "Oh iya maaf..maaf.. mama lupa" kata Anya ganti memeluk putranya ia hanya mencium kening putranya. "Apa kita perlu lapor polisi dok, sudah jelas mereka diancam!" kata Rudy emosi. "Benar, tapi kita harus tahu dulu, kita membuat laporan dan menuduh siapa.. kalau mereka tetap bungkam, percuma lapor polisi.. siapa yang mau mereka tangkap?" kata dr. Renny. Raissa berlutut di depan Raihan. "Raihan, ingat tidak om yang baik di depan aquarium tadi? dia itu boss nya semua orang disini loh.. Namanya Om Aditya, ingat tidak apa yang om Aditya tadi bilang, lebih mudah kalau kita jujur saja ya kan? semakin disimpan masalahnya semakin besar, semakin susah kita mengutarakan kebenarannya. Ayo tidak usah takut, katakan saja yang sebenarnya. " Bujuk Raissa. Raihan memandang Raissa, "Tapi..tapi ..."kata Raihan terbata-bata, anak itu terlihat mulai goyah dan ragu. "Tidak apa-apa nak, jangan takut." kata Rudy. Lalu Raihan berbisik pada Raissa. "Aku takut Papa Mama marah!" bisiknya cemas. "Tidak, papa dan mamamu tidak akan marah, Ya kan Papa Mama?" kata Raissa sambil bertanya pada Rudy dan Anya. "Tidaakk.. papa tidak marah." jawab Rudy, " Mama juga tidak marah, tidak apa-apa nak." kata Anya. Raihan menoleh pada Farhan yang masih menangis ketakutan. "jangan kak, nanti papa mama mati gimana? kita sama siapa?" kata Farhan. "Tapi kalau kita tidak bilang siapa lagi yang bisa bantu kita?" kata Raihan pada adiknya. "Papa Mama janji ya tidak mati. Janji ya.." rengek Farhan. "Pa, ayo janji!!"bisik Anya pada Rudy. "Tapi hidup mati kan ditangan Tuhan, kalau Papa mati malam ini gimana? makin tidak percaya dong anak kita sama kita." bisik Rudy pada Anya. "Udah janji, aja, tidak mungkin itu, Tuhan masih sayang sama kita, mama yakiinn!!" kata Anya. Rudy mengangguk. "Iya, Papa dan Mama janji.. sudah ya jangan menangis, ayo ceritakan sama papa dan mama apa yang terjadi." kata Rudy. Raihan dan Farhan saling melihat, lalu memeluk kedua orang tua mereka. "Ceritakan kak." kata Farhan dari pangkuan Anya. Raihan yang masih dalam pelukan Rudy, mengangguk. "Awalnya dari lomba Matematika ini ma." kata Raihan. "Lomba? lombanya kan sudah mulai dari 3 bulan yang lalu, kalian dipukuli ini sudah berlangsung selama 3 bulan?" tanya Anya. "Sebaiknya biarkan dia berbicara dulu tanpa dipotong Anya.. " tegur dr. Renny. "Oh baik, baik.. maaf nak, ayo lanjutkan lagi ceritanya." kata Anya. "Pak Sugeng memilih kami untuk masuk dalam tim lomba matematika tingkat SD. Ada 6 orang dalam tim kami, semuanya anak kelas 5 dan 6, kecuali kami. Ada Ryan, Bastian, Ilham, Ares dan kami berdua, semuanya anak laki-laki yang terpilih. Lalu kami mulai berlatih bersama di sekolah untuk menghadapi lomba, beberapa Minggu pertama kami berlatih di kelas, lalu pak Sugeng bilang untuk pindah ke ruangannya saja supaya lebih konsentrasi. Ternyata di ruangan pak Sugeng kami tidak berlatih." sampai sini Raihan mulai menangis. "Lalu apa yang kalian lakukan nak?" tanya Rudy dengan was-was. Ia memiliki firasat buruk soal ini. Anya mencari tangan Rudy seakan mencari jangkar baginya karena ia takut apa yang akan didengar selanjutnya. Anya juga merasa dari sini cerita anaknya akan semakin buruk.

Raissa dan dr. Renny diam mendengarkan. "Pak Sugeng kantornya besar, dan tidak ada guru lain. Dia menyuruh kami semua buka baju.." cerita Raihan hampir terhenti ketika Rudy seperti hendak mengamuk tetapi Anya segera memegang tangannya dan dengan pelototan matanya menyuruh Rudy diam agar Raihan tetap melanjutkan ceritanya walaupun dalam hati Anya rasanya seperti luka teriris terkena jeruk nipis. "Raihan dan Farhan tidak mau, tapi Ryan dan Ares yang paling besar badannya bergantian memukuli kami, selalu daerah perut dan dada. Kami dipaksa buka baju. Lalu disuruh belajar cara memijat pak Sugeng. Semua anak lain sudah bisa. hanya kami yang belum bisa. Lalu Pak Sugeng akan menanyakan pertanyaan matematika, kalau tidak bisa maka kami harus menjilati kemaluan Pak Sugeng, Raihan dan Farhan selalu bisa menjawab, sehingga kami tidak harus melakukannya, tetapi pak Sugeng senang memeluk dan memegang-megang kami. Raihan dan Farhan tidak suka. Setiap kami menolak kami selalu dipukuli oleh Ryan dan Ares. Setelah dipukuli kami dipeluk lagi oleh pak Sugeng. Raihan geli Pa, kumisnya geli. Raihan tidak suka. Farhan juga." Kata Raihan. "Ya ampun anakku.. kenapa tidak bilang pada Papa Mama?" kata Anya sambil berusaha tidak histeris walau disudut matanya air mata sudah mengalir. Rudy pun sama, malah sedang berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak dengan cara mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan, menghitung dalam hati satu hingga entah berapa agar tidak naik darah dan hilang fokus. "Pak Sugeng bilang kalau kami lapor siapapun maka Ia kan datang dan membunuh Papa dan Mama, betul loh!! pak Sugeng kasih lihat koleksi jari-jari manusia dari semua orang yang sudah dibunuhnya di freezer lemari es di ruangan pak Sugeng. "tambah Farhan. "Iya benar Pa, Ma!" dukung Raihan. Pantas saja anak-anak ini ketakutan dan tidak mau bicara, mereka ingin melindungi orangtua mereka. "Baiklah, ini sudah pasti kita harus lapor polisi, tetapi urusan jari-jari ini agak meresahkan. Mungkin kita harus panggil polisi yang kesini, bukan kalian yang kesana. takutnya mereka punya mata-mata di kantor polisi" kata dr. Renny. "Saya akan coba koordinasikan dengan dr. Alex dok."kata Raissa lalu segera keluar begitu dr. Renny mengangguk. Raissa segera menuju ruangan Alex dan mengetuk pintunya. "Masuk!" jawab seseorang dari dalam tetapi bukan suara Alex. Raissa membuka pintu, dan melihat Satya dan Aditya. "Maaf saya menganggu dok, Pak. Saya mencari dr. Alex." kata Raissa. "dr. Alex sudah pergi ke RS untuk praktek. Kalau ada urusan mendesak mungkin saya bisa bantu?"kata Satya. "Ya dok, ini mengenai kasus anak dr. Renny. Anak yang tadi pagi bertemu dengan Pak Aditya juga." kata Raissa sambil menengok Aditya. "Oh jadi bagaimana, korban kekerasan ya?" tanya Aditya. "Ya pak, masalahnya pelik, dan memerlukan polisi." kata Raissa. Satya melirik Aditya, bingung harus melakukan apa di situasi ini. "Coba ceritakan dari awal." kata Aditya. Lalu Raissa menceritakan secara singkat cerita yang diceritakan oleh Raihan. "Hmm, sepertinya kita harus memanggil polisi Mas."kata Satya pada Aditya. Aditya mengangguk. "Baiklah, kuserahkan masalah ini padamu Sat, selesaikan dengan baik." Kata Aditya. "Siap Mas, Ayo Raissa." kata Satya. "Baik dok." jawab Raissa lalu mengangguk pamit pada Aditya. Aditya membalasnya dengan senyum.

Setelah itu mereka memanggil polisi. Dan segera menuju ruangan dr. Renny. Setelah memperkenalkan diri mereka pindah untuk menunggu di VIP lounge karena ruang praktek dr. Renny akan dipakai dokter lain. Sambil menunggu polisi, Raihan diambil sampel darahnya. Sedangkan Farhan akan MRI setelah membuat laporan polisi. Seorang Polwan yang keibuan datang untuk menerima kasus Raihan dan Farhan. Semua dimintai keterangan termasuk dr. Renny, Raissa, dr. Gilbert dan prof. Bambang walaupun untuk dr. Gilbert dan prof. Bambang dimintai keterangan via telepon karena mereka sudah selesai praktek di klinik dan sedang praktek di tempat lain. Setelah selesai Anya dan Rudy akan segera membawa Farhan ke RS untuk MRI, sambil membawa serta Raihan. "Raissa, terimakasih banyak ya, untung ada kamu sehingga anakku mau bicara." kata Anya sambil memeluk Raissa. Raissa balas memeluk Anya. Raissa tahu sebenarnya Anya hanya butuh sandaran dan pelukan sahabat, pasti batinnya sedang menjerit tidak terima hal ini terjadi pada kedua anak yang sangat dibanggakannya. "Sabar ya kak, terus dampingi mereka supaya trauma mereka segera sembuh." kata Raissa. Anya hanya mengangguk, Rudy juga hanya mengangguk pada Raissa. Raihan datang pada Raissa lalu berkata, "Kak, benar ya.. kalau kita jujur rasanya tidak berat. Tapi Raihan kasihan sama Papa Mama, sekarang mereka jadi sedih walaupun sekarang Raihan yang merasa lega. "

"Memang mereka jadi sedih, tapi kalian jadi sedih bersama, dan bersama-sama itu menjadi kuat, percaya deh sama kakak, habis ini kalian tidak akan bersedih lagi! selalu terbuka ya sama Mama Papa, jangan suka rahasia-rahasiaan yaa.." kata Raisa. "iya kak" jawab Raihan sambil memeluk Raisa. "Cepat sembuh ya Raihan dan Farhan." kata Raissa sambil melambaikan tangannya kepada keluarga yang berlalu dari pandangan, dalam hati berjanji, kalau punya anak nanti akan selalu memantau kemana saja anaknya pergi. Mengerikan predator zaman sekarang.

Raissa mengintip jam tangannya, sudah pukul 3 sore. Pantas rasanya lemas sekali, ia melewatkan makan siang. Mau makan sekarang tapi tanggung sejam lagi sudah pulang. "Nanti saja ah sekalian pulang, aku mau beres-beres poli anak dulu." kata Raissa dalam hati. Di poli anak Raissa bertemu dengan Rosa yang sudah sangat tidak sabar ingin diceritakan masalah yang terjadi. Akhirnya sambil membereskan poli Raissa bercerita pada Rossa. "Haduh mengerikan ya guru zaman sekarang, guru-guru seperti ini mencoreng nama baik guru-guru yang tulus bekerja mendidik anak bangsa! semoga si pak gurunya dihukum seberat-beratnya." kata Rosa geram. "Iya kak, coba bayangkan murid-muridnya berapa tahun dilecehkan olehnya, dan sudah berapa banyak murid yang dilecehkan olehnya." kata Raissa. Rosa hanya bisa bergidik, " Anakku mungkin tidak sejenis Raihan dan Farhan, tapi aku selalu berusaha dekat dengan mereka dan selalu ingin tahu apa saja yang terjadi dalam kehidupan mereka. Kadang mereka kesal juga karena mamanya selalu ingin tahu dan tanya-tanya terus. Tapi ya mau gimana lagi, daripada kecolongan!" kata Rosa. "Benar kak. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Luka fisik gampang mengobatinya, luka batin, aduh.. bisa dibawa sampai mati!" kata Raissa. "Wah sudah pernah sakit hati ya Sa?" goda Rosa. "Hahahah ya tidak kak, mana ada yang mau menyakiti hati gadis manis, imut dan mengemaskan ini?" kata Raissa sambil berpose ala Putri Disney. Rosa hanya bisa mencibir saja lalu keduanya tergelak. Pukul empat, Raissa menuju UGD mencari Peni dan Asya yang seharusnya sudah selesai bekerja juga. Ia bertemu Asya yang sudah berganti baju. "Sa, aku mau pergi sama Alex, mau survei gedung. Besok saja ya kita ke RS menengok Liza?" kata Asya. "Siapp.. aku juga mau cari makan nih, tidak sempat makan siang karena ada kasus di poli anak, nanti malam kuceritakan yaa.. semoga dapat gedung yang cocok ya." kata Raissa. "Makasih Sa, hati-hati di jalan ya, bilangin Peni ya!" kata Asya sambil berlari keluar klinik. Raissa hanya mengacungkan jempolnya saja. Lalu Raissa masuk ke UGD mencari Peni yang ternyata tengah sibuk menjaga pasien. "Sa, pulang duluan aja, aku lembur nih.. tiba-tiba datang empat pasien keracunan makanan 15 menit yang lalu." kata Peni. Raissa mengangguk, lalu melihat kondisi UGD, melihat ada kak Mira dan Dian yang sedang membantu Peni maka Raissa memutuskan sudah cukup tenaga di UGD dan ia pun dapat pulang, lagipula perutnya sudah keroncongan. Raissa berganti baju dan keluar gedung. Tidak seperti biasanya ia pulang dengan langkah mantap, kali ini Raissa pulang dengan agak ragu, masalahnya karena ia bingung memutuskan akan makan dimana? di rumah susun kah, dibelakang gedung kah atau ke mall?

Raissa berjalan pelan di pinggir trotoar, tidak memperhatikan seorang pria berjaket dengan tudung kepala sedang mengikutinya pelan dan berusaha tidak terlihat. Tangannya masuk ke dalam saku jaketnya yang hitam, di dalam jaket itu sebuah pisau lipat sudah siap dibuka. Trotoar agak ramai sore itu. Pria tersebut bersembunyi dibalik orang-orang yang berlalu lalang. Lagipula Raissa tidak memperhatikannya. Pria merasa ini kesempatan emasnya untuk membalaskan dendam pada Raissa. Gara-gara Raissa ia kini menjadi buronan polisi. Ya, ialah si topi biru, yang kini sudah tidak bertopi biru. Ia pun mencukur kumis lelenya, padahal kumis lele itu kesayangannya. Tinggal beberapa meter lagi dan ia dapat menghujamkan pisau ke punggung Raissa. Tiba-tiba sebuah Ferarri merah berjalan pelan disebelah Raissa dan membunyikan klakson. Cepat-cepat pria itu berbalik badan dan berjalan menjauh. Hilang sudah kesempatannya. Ia tahu mobil itu milik salah satu pemilik gedung. "Huh, menganggu saja, padahal sudah tinggal sedikit lagi.. tunggu saja pembalasanku gadis kecil.. aku orang sabar! Tidak masalah menunggu.." kata pria itu dalam hati sambil melangkah pergi.