webnovel

Rahim Untuk Anakku

Embun, terpaksa harus menerima kerja sama sewa rahim karena ia membutuhkan uang untuk melunasi hutang almarhum ayahnya. Selain itu, ia ingin merasakan menjadi seorang wanita seutuhnya dengan menjadi seorang ibu, tanpa harus menikah karena traumanya terhadap laki-laki. Lady, istri mandul yang berusaha untuk menutupi rahasianya dari sang suami, nekat berselingkuh dengan dokter yang membantu proses sewa rahim agar mau membantunya. Dokter itu menggunakan sel telur Embun dalam prosesnya. Bencana terjadi ketika perselingkuhan itu mulai terbongkar. Cerita ini penuh intrik, tetapi tetap dibalut dengan romantisme.

Freddy_San · Urban
Not enough ratings
31 Chs

Seperti Senja

Terasa singkat saat bersamamu

teramat panjang kala merindumu

berasa sesaat ketika menggenggammu

sangatlah lama untuk menantimu

******

Tawa dan canda sepanjang perjalanan membuat semua lelah tak lagi terasa. Kadang bernyanyi bersama walau dengan suara yang tidak jelas nadanya. Yang penting happy.

Sepanjang perjalanan harus melintasi perkebunan teh yang mampu menyejukkan mata dan pikiran. Beda sekali dengan penatnya kota Jakarta. Di sini masih sangat asri.

Setelah beberapa jam perjalanan, Alaska dan Embun akhirnya tiba di kawasan wisata Kawah Putih.

"By the way, ini mobil pinjam siapa, Al?" Embun penasaran.

"Ngapain nanya-nanya. Udah itu urusan gue," jawab Alaska sembari memarkir mobil.

"Bukan gitu. Aku takutnya ini mobil nyolong." Embun ngakak melihat Alaska pura-pura melotot.

"Yuk, turun." Alaska mendahului turun dari mobil dan merentangkan kedua tangan lebar-lebar.

"Huah, seger banget," seru Alaska. Dia menghirup nafas dalam-dalam.

Kawasan wisata ini memang terletak di pegunungan. Ya namanya saja kawah, iya kan. Masa iya adanya di pantai.

"Ayo Al, aku nggak sabar pengen lihat kawah putihnya." Embun melangkah dengan penuh semangat ke arah penjualan tiket, disusul Alaska yang tersenyum melihat gadis itu bahagia.

"Eh, gue aja. Kan gue yang traktir," kata Alaska menahan tangan Embun yang hendak membayar tiket.

"Gak papa, gantian. Kamu kan udah beli bensin sama bayar tol," ucap Embun.

Tapi Alaska tidak menghiraukan ucapan gadis itu. Diserahkannya selembar uang ratusan ribu ke penjaga tiket. Embun memilih mengalah, daripada harus berdebat dan merusak suasana liburan mereka.

"Wah, keren banget memang," seru Embun kagum.

Gadis itu memandang takjub pada kawah dan pemandangan di sekitarnya. Senyum mengembang dan mata yang berbinar, membuat dia terlihat lebih cantik dari biasanya. Alaska terpesona.

Beberapa kali mereka bergantian berfoto dengan kamera yang sudah dipersiapkan Al. Ada kalanya melakukan swafoto berdua. Berjalan ke sana kemari menikmati pemandangan.

Sayangnya, pagi itu benar-benar terasa sangat singkat. Matahari seolah tergesa untuk segera naik. Tidak seperti hari biasa.

"Udah mulai panas. Cari tempat berteduh yuk. Di situ kayaknya asik." Alaska menunjuk sebuah pohon besar tak jauh dari mereka berdiri.

Embun mengangguk dan segera melangkahkan kaki menuju pohon yang dimaksud.

"Makasih ya, Al. Aku seneng banget hari ini. Bisa melihat sesuatu yang lain. Bukan cuma kontrakan dan hotel," kata Embun sambil tersenyum ke arah Alaska.

"Iya, sama-sama. Oh ya, nih gue bawa teh botol," jawab Alaska sembari menyodorkan sebotol teh.

"Thanks."

Baru dua tegukan, Alaska sudah memandang Embun dengan tatapan lain dari biasanya.

"Kenapa ngelihatin aku kayak gitu?"

"Mbun, gue mo ngomong," ujar Alaska.

"Biasa aja kali. Mo ngomong mah ngomong aja. Ada apaan sih? Tumben kamu serius banget. Ekspresimu kayak orang lagi nahan kentut di musholla. Suer," goda Embun.

"Embun. Kamu yang mengenalkanku pada satu kata, yaitu kita. Kamu yang mengenalkanku pada satu makna, yakni bersama. Kamu juga yang mengenalkanku pada satu rasa, dialah cinta. Sekarang, ajari aku untuk merangkai kata, makna dan rasa itu menjadi satu. Kita, bersama, dalam cinta."

Gaya bicara, bahkan pilihan kata Alaska berbeda dari biasanya.

"Kamu kesambet Al?" Embun sedikit jengah dengan perubahan sikap Alaska terhadapnya.

"Gue serius, Mbun. Lo mau nggak ajarin gue untuk bener-bener tahu arti kita, bersama dan cinta? Lo mau nggak jadi cewek gue? Bahkan mungkin calon istri gue, bukan sekedar pacar," kata Alaska dengan sangat lembut.

"Al, kamu tahu kan kehidupanku kayak gimana?"

"Gue tahu, lengkap. Nggak ada masalah buat gue. Ayo, kita hadapi semua bareng-bareng, Mbun. Gue cinta sama lo," kata Alaska dengan tegas.

"Tapi aku nggak yakin apa aku juga cinta sama kamu. Aku cuma ngerasa nyaman aja," jawab Embun sambil menunduk. Ia tak mampu memandang mata lelaki di hadapannya.

"Nggak papa. Kita jalani. Sembari lo ngeyakinin diri lo. Kalau toh ternyata lo tetep nggak bisa cinta ma gue, atau lo nemu cowok lain yang lo ngerasa cinta, gue nggak bakal menahan. Gue pasti biarin lo pergi. Tapi kalo ternyata nggak ada cowok manapun yang bikin lo jatuh cinta, ya itu berarti lo emang cintanya ma gue," ucap Alaska sembari terkekeh.

Sikapnya sudah mulai kembali seperti Alaska biasanya.

"Ya udah. Kita coba ya," kata Embun.

Alaska tersenyum dan mengangguk.

"Ngomong-ngomong, bisa puitis gitu diajarin siapa?" Embun penasaran dengan kalimat yang tadi diucapkan Alaska.

"Hahah. Gue minta temen SMA gue nulisin. Terus gue hafalin. Habisnya, gue nggak bisa ngomong romantis gitu. Gue tahunya yang erotis-erotis, bukan romantis," kata Alaska tergelak.

"Astaga, dasar buaya mesum."

"Biarin. Mesum gini, udah resmi jadi cowok lo kan." Alaska bahagia. Akhirnya dia memang sadar, bahwa hanya Embun yang mampu membuat hatinya bergetar.

Satu-satunya wanita yang bisa membuat ia merasa khawatir, rindu, juga cemburu saat ada lelaki lain melihat Embun dengan tatapan terpesona. Walau Alaska tahu, bahwa Embun mungkin belum sepenuhnya mencintai dia.

Al akan memberi Embun banyak waktu, untuk belajar mencintainya.

"Jadi, lo mau temuin orang yang tadi telepon?"

"Kayaknya iya. Siapa tahu memang ada peluang lebih baik untuk kerjaan. Nggak ada salahnya dicoba kan?" Embun memang penasaran dengan perusahaan yang tadi menelepon. Tidak ada ruginya untuk coba menemui.

"Ya udah, gue anter," kata Al.

"Nggak usah. Turunin aku di Han's Cafe. Terus kamu pulang, rehat. Capek kan dah nyetir berjam-jam," ujar Embun.

"Serius? Biasanya cewek-cewek gue dulu pada manja minta dianter kemana-mana. Nempel kayak ingus," ucap Al.

"Nah, masalahnya aku bukan ingus. Hahaha," jawab Embun sembari tertawa.

Ini salah satu alasan Alaska jatuh cinta pada Embun. Gadis ini sangat berbeda dengan yang lain. Dia tidak manja, tida pernah meminta ini itu, sangat mandiri.

"Ya udah, entar gue anter, terus gue tinggal pulang ya," kata Al.

Embun mengangguk. Dia keluarkan telepon genggam dari tas ransel yang dibawanya.

Dilihatnya daftar panggilan terakhir, dan ditekannya tombol panggilan.

"Halo. Ya, Mbak Embun. Gimana? Bisa ketemu hari ini kan?" Pandu langsung saja memberondong Embun.

"Iya, Pak. Jam 7 malam di Han's Cafe. Bagaimana? Atau besok saja saya ke kantor Pak Pandu?"

Embun sedikit merasa janggal untuk bertemu urusan pekerjaan tapi di luar kantor, bahkan di luar jam kerja.

"Oh nggak papa, Mbak Embun. Nanti malam di Han's Cafe ya. Saya akan bawakan berkas lengkap untuk Mbak Embun pelajari. Terima kasih. Sampai jumpa nanti malam ya," kata Pandu dengan penuh semangat.

Sengaja ia sebutkan berkas, supaya benar-benar terkesan ini adalah urusan resmi dan berkaitan dengan pekerjaan. Pandu tidak mau Embun sampai berpikiran buruk dan membatalkan pertemuan mereka.

"Baik, Pak. Sampai ketemu nanti. Selamat siang," ucap Embun mengakhiri percakapan.

"Tapi kenapa elo diajak ketemu di luar ya, Mbun? Lo yakin ini nggak bahaya?" Alaska sedikit khawatir. Karena memang tidak lazim berbicara dengan calon karyawan di luar kantor.

"Santai aja. Kafenya juga ramai kan. Dan aku akan terus kasih kabar ke kamu," kata Embun.

Rasa penasaran mengalahkan kekhawatiran Embun tentang Pandu.

Pandu tersenyum puas menerima telepon Embun. Satu langkah telah dilalui. Next step, memastikan gadis itu menyetujui semua kesepakatan.

(Embun setuju bertemu saya nanti malam.)

Pandu mengirimkan pesan singkat pada kedua bosnya.