webnovel

Rahim Sewaan Sang CEO

Berkat usulan sang pacar, Gerald menyewa rahim seorang wanita untuk mereka titipkan benih cinta mereka di sana. Seorang wanita bernama Dena setuju untuk menyewakan rahimnya, dengan syarat ia harus tinggal bersama ibu Gerald. Namun, ternyata keputusan itu ada kesalahan terbesar yang pernah mereka lakukan. Sebab, ibu Gerald sangat menyukai Dena dan memaksa Gerald untuk menikah dengannya.

Ghali_Arelian · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Harapan Dena

"Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan." Gerald memecah keheningan di antara mereka. 

Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.

"Maafkan aku." Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.

Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia. 

"Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya." 

Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.

"Kamu sudah mendingan?" Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.

"Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?" Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu. 

Bohong jika ia berkata tidak gerah. Keringat yang menetes sudah menjadi bukti tanpa perlu dijawab. Gerald lupa pada dunianya ketika melihat Felicia jatuh sakit.

Wanita yang mengenakan piyama cokelat itu tertawa puas melihat Gerald salah tingkah sembari membuka jas hitamnya. 

"Jangan mengejekku, aku begini karenamu." Gerald merungut menanggalkan pakaiannya satu per satu.

"Eh, apa nih?" Felicia membelalak ketika Gerald ikut membuka celananya dan menyisakan boxer saja. 

"Gerah, Sayang." Gerald tersenyum mesum sembari kembali naik ke atas ranjang dengan hanya mengenakan boxer, sementara bagian atas sudah bertelajang dada.

"Jangan macam-macam, ya, aku masih lemah." Felicia pura-pura menolak ketika Gerald ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuhnya.

"Peluk doang." Gerald tetap berusaha memeluk dan mencium wajah Felicia bertubi-tubi.

Mereka sama-sama tertawa ketika Gerald berhasil mengunci leher Felicia di dadanya.

"Pengap, bau ketek." Felicia mendongakkan kepala. Gerald melepas kuncian.

"Sayang." Felicia membawa tangan Gerald agar melingkar di dadanya. 

"Hemm?" Gerald menatap dengan dalam.

"Kalau nanti mama kamu tetap maksa kamu buat nikah, gimana?" Felicia berbalik agar bisa menatap mata Gerald.

Gerald terdiam untuk beberapa saat.

"Jangan pikir yang macam-macam, kamu lagi sakit. Mending istirahat." Gerald enggan menjawab.

Biasanya Felicia akan marah jika Gerald membahas masalah nikah. Namun, kini wanita itu yang memulai membahas. Padahal tadi ia sempat menangis ketika Gerald mengajak untuk nikah.

"Kamu marah, ya?"

"Enggak. Mana bisa aku marah sama kamu. Udah, kita tidur aja, ya." Gerald menarik Felicia agar lebih erat lagi berada dalam pelukannya. 

Felicia hanya mengangguk dan mulai memejamkan mata. Tanpa menunggu lama, ia telah terlelap dalam pelukan hangat Gerald.

****

Hari ini Felicia telah sembuh total. Gerald sangat telaten dalam menjaga dan merawatnya. Mendapatkan perhatian yang begitu besar, Felicia dengan mudah bangkit semangat dan membuatnya cepat pulih dari sakit. 

Sudah dua hari dari kedatangan Dena, belum ada satu orang pun yang datang untuk melamar. Cuma Dena harapan mereka satu-satunya.

Felicia masih menunggu di apartemen. Barang kali ada yang akan datang untuk melakukan interview. Sementara Gerald sibuk bergelut dengan urusan kantor. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Karena dua hari tidak masuk, banyak proyeg yang tertunda dan terbengkalai. 

[Kangen.] Felicia mengirim pesan. 

Baru beberapa jam mereka tidak bertemu, Felicia sudah merasa rindu. 

Saking banyaknya urusan, Gerald tidak sempat membalas pesan. Bahkan ponsel miliknya tidak tersentuh semenjak menginjak kantor tadi pagi.

Felicia merasa bosan hanya berdiam diri di kamar. Ingin ke gym pun Gerald belum memberi izin, sebab takut jika Felicia akan jatuh sakit kembali. Ia tidak terbiasa berdiri diam diri saja, jadi memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar.

Baru saja ingin membuka pintu, bel kamar apartemen terdengar berbunyi. Wanita itu datang lagi. Dena. 

"Ingin interview?" Felicia bertanya. Sebab merasa tidak mengenal Dena. Walaupun wanita itu beberapa hari yang lalu telah mengompres dirinya yang tengah sakit.

"Saya sudah interview beberapa hari yang lalu,  diminta datang lagi ke sini kalau Mbak sudah sembuh." 

Felicia memerhatikan Dena dari atas hingga bawah. Ia merasa Dena cocok untuk menjadi ibu yang akan melahirkan anaknya bersama Gerald.

Dena terlihat polos dengan wajah cantik asli orang kampung. Putih bersih. Terlihat cantik natural meskipun tanda polesan make up. 

"Silakan masuk. Duduk dulu. Pacar saya masih di kantor." Felicia keceplosan.

Mendengar kata pacar, Dena sedikit terkejut.

"Pacar? Bukannya suami?" Dena memastikan.

Felicia menjadi gelagapan. Seketika ia gagap menjawab.

"Ah, eh,maksud saya suami. Maklum, kami sering nyebut pasangan sebagai pacar. Biar manis terus kayak orang pacaran." Felicia mencoba menjelaskan.

Namun, Dena tidak percaya begitu saja. Apalagi tidak ada foto pernikahan barang satu pun di apartemen ini. Hanya foto-foto mereka ketika liburan ataupun foto biasa seperti pasangan pada umumnya. Tidak ada satu pun foto yang menunjukkan mereka sebagai pasangan suami istri.

Hal itu membuat Dena semakin bertekad untuk bisa memikat Gerald. Setidaknya akan semakin mudah jika Felicia bukan itrinya.

'Aku harus mencaritahu lebih dalam lagi,' ucap Dena dalam hati.

"Mau saya ambilkan minum?" Felicia menawarkan. Sembari mengulur waktu untuk menunggu Gerald.

"Ah tidak perlu, di sini kan tidak ada perabotan rumah tangga sama sekali. Semalam saya sudah mencari, gelas pun tidak ada." Dena berucap dengan santai.

Perilakunya sama sekali tidak mencerminkan wajahnya yang terlihat begitu baik dan penuh sopan santun. 

"Maaf?" Felicia mencoba untuk memahami maksud dari ucapan Dena. Karena merasa aneh dengan kalimat yang baru saja ia dengar.

"Loh, suaminya gak ngasih tau? Saya loh yang ngompres Mbaknya waktu demam tinggi kapan hari itu." Dena menjelaskan tanpa rasa sungkan.

"Saya tidak tahu sama sekali."

"Waah, padahal sama lama di sini. Nemenin suami Mbak yang sendirian ngurus Mbaknya." 

Felicia mengerutkan kening. Merasa semakin bingung dengan ucapan Dena barusan. Ia merasa tidak ingat sama sekali. Saat tersadar, yang ia lihat cuma Gerald.

Bahkan rasa cemburu ataupun curiga tidak ada sama sekali. Sebab, ia percaya bahwa Gerald tidak akan main belakang. Karena ia tahu betul sebesar apa rasa cinta Gerald untuknya.

Apalagi bersaing dengan wanita di hadapannya. Sungguh tidak seimbang. 

Felicia bak putri kerajaan. Cantik dan elegan. Terbalut label mewah dan tahu fashion. Sementara Dena hanya gadis kampung, ya meskipun Felicia mengakui bahwa  Dena cukup cantik dan keibuan. Namun, tetap saja mereka bukan lawan yang seimbang.

"Saya ambilkan minum dulu." Felicia beranjak menuju kulkas. 

Di dalam kulkas berjejer botol-botol minum mineral maupun minuman bersoda. Semuanya dari merk yang cukup mahal.

Felicia meraih botol mineral yang harga air per botolnya mencapai 350 ribu. Kemudian ia meraih sekotak kue yang dibelikan Gerald tadi malam.

"Silakan dimakan!" Felicia menghidangkan di meja.

"Tidak perlu repot-repot." Dena berucap seraya tersenyum manis.

"Jadi, semalam suami saya bilang apa?" Felicia mencoba untuk mencaritahu, sebab tidak tahu harus memutuskan apa tanpa ada Gerald.

"Saya juga tidak tahu, tapi diminta buat datang lagi."

"Sebentar, saya hubungi dulu." Felicia bangkit berdiri, ia beranjak untuk mencari ponsel.

Tetap saja, Gerald tidak dapat dihubungi. Bahkan sekarang ponselnya telah mati.

Felicia mendengkus kesal.

"Bagaimana?" Dena bertanya penuh harap.

"Tidak bisa dihubungi. Mungkin kamu bisa datang lagi nanti malam atau besok. Oh, ya ada nomor yang bisa dihubungi?" 

Dena menggeleng. "Saya tidak punya handphone." 

Felicia tercengang mendengar. Di zaman secanggih ini, ternyata masih ada orang yang tidak punya alat untuk komunikasi.

"Ya sudah, besok datang lagi, ya." 

Dena mengangguk dan pamit untuk pulang.

Bohong jika Dena mengatakan bahwa ia tidak punya ponsel. Ia hanya ingin menarik simpati dari Felicia. Agar lebih mudah baginya untuk masuk ke kehidupan mereka. Sebab, ia sudah bertekad agar bisa mendapatkan Gerald dan memiliki seutuhnya.

Ya, Dena memang selicik itu. Tampang polosnya berlawanan jauh dengan sikap aslinya.