webnovel

BAB 3 NAMA

Adara berjalan keluar dari ruang makan dengan perasaan masygul. Kepalanya menunduk ke bawah memandangi lantai marmer putih yang dilaluinya setapak demi setapak, ia melihat senyuman lelaki itu.

"Aku sudah gila." Adara bergumam lemah. Dia meremas dan menyingsing gaunnya sambil mempercepat langkah dengan setengah berlari. Lilin-lilin yang terpasang di sepanjang dinding rumahnya meliuk saat tubuh Adara melintas dengan cepat.

Adara ingin berlari kepadanya. Kepadanya yang bahkan tidak pernah ia lihat secara nyata.

Ia mendongakkan kepala. Melihat ke langit-langit, kubah terbuat dari kaca patri biru, merah dan hijau bermotif bunga dan dedaunan menjulang tinggi ditopang pilar-pilar tinggi dan besar.

Di sana pun ia melihat wajah lelaki itu, menatap dirinya sangat lekat dengan matanya yang cokelat keemasan. Senyuman hangat tersemat indah di bibirnya.

"Tidak …. tidak, kegilaan ini harus segera berakhir!" ucapnya kepada dirinya sendiri seraya memejamkan mata.

Ia berlari ke kamar sambil menyingsing gaun setinggi betis. Gemerincing gelang-gelangnya beradu pelan menjadi musik pengiring langkah kakinya. Dameshia berselisihan dengannya.

Adara mendorong pintu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Ia masuk lalu menutup pintu kemudian bersandar di daun pintu.

Tangisnya pecah.

Adara tidak paham. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa hatinya seperti ini. Kerinduan, kehampaan, begitu menyiksanya.

"Tuhan, perasaan apa ini? Kenapa sakit sekali." Ia tersedu-sedu menyentuh dadanya yang terasa sesak.

Tubuhnya jatuh merosot ke lantai. Tempat tinggal dirinya beserta keluarganya sangat indah, besar dan luas. Tentu saja tidak sebesar istana, tapi tempat tinggal Perdana Menteri adalah salah satu tempat terindah dan terbagus di Aaliya. Namun, entah bagaimana dalam beberapa bulan terakhir tempat seindah dan sebesar ini menjadi sangat sempit dan sesak bagi Adara.

Ia terkejut saat pintu di belakangnya dibuka. Adara menolehkan wajah.

"Tuan Putri Adara," panggil Dameshia pelan. Ia berdiri di depan pintu.

"Aku ingin sendiri. Pergilah!" ucap Adara datar.

"Baiklah." Dameshia pergi dari sana.

Dameshia bingung. Adara adalah seorang gadis cantik penuh keceriaan. Sebelumnya dia selalu melayani Nona-nya. Tidak pernah sekalipun ada batasan dan larangan dirinya untuk masuk kapan saja.

Ia coba mengingat-ngingat, semuanya baru sebulan terakhir. Adara sering murung dan lebih banyak diam. Bahkan saat ini dia tidak lagi bisa masuk ke dalam kamar Adara kecuali atas izinnya.

"Ada apa sebenarnya?" Dameshia termenung. Ia pergi ke kamarnya membawa perasaan bingung.

Adara berdiri di balkon kamarnya menatap jauh ke sekeliling kota Aaliya. Begitu indah memukau mata. Tembok pertahanan terbuat dari bata merah dan lumpur setebal 3 meter dan tinggi 15 meter membentang mengelilingi kota Aaliya.

Sungai Asfaron yang berasal dari mata air di pegunungan mengaliri kanal-kanal pasokan air kota Aaliya, airnya yang kehijauan berkilauan bak berlian terbiaskan cahaya rembulan.

Pandangannya kembali tertuju pada bangunan terbesar dan termewah. Komplek istana Aya Dalia. Tidak lama lagi pangeran Zayan akan datang. Ia mendengar kabar teman masa kecilnya itu menolak semua kandidat anak-anak perempuan pejabat yang lain meski ia belum melihat mereka.

"Aku harus melupakannya. Apa mungkin seseorang mengirim sihir? Mencoba membuatku gila agar pernikahan kami batal?" selintas pikiran itu hadir di benaknya.

Penglihatannya tertuju pada gelapnya pegunungan pasir di kejauhan. Ia melihat bayangan cahaya api unggun dari kemah-kemah para saudagar.

"Bagaimana mungkin mencarinya di antara ratusan pedagang bahkan aku tidak tahu namanya." Adara bergumam di dalam hati. Ia melangkah lemah ke kasur membaringkannya tubuhnya yang seakan layu.

***

Senyuman manis tersemat di bibir Adara. Ia berjalan pelan di sisi kanal-kanal sungai Asfaron. Pepohonan besar tinggi, besar dan rimbun berusia puluhan tahun tumbuh berjajar rapi di sepanjang saluran irigasi. Matahari bersinar lembut menerobos sela-sela dedaunan.

Dedaunan kering berwarna cokelat kekuningan berserakan di tanah, membuat suara khas saat terinjak. Ia menolehkan wajah ketika mendengar suara langkah kaki milik orang lain.

"Kau?" Adara terperanjat. Ia melihat seorang lelaki mengenakan celana dan jubah hitam sebetis bersulam benang emas dengan motif yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Indah, pakaian yang dikenakannya sangat indah.

"Tuan Putri Adara. Maaf mengejutkanmu," ucap lelaki itu dengan nada hangat sambil mengangguk pelan. Senyuman manis tersemat di bibirnya.

Lelaki itu berjalan mendekati Adara, berdiri tepat di hadapannya. Iris Zamrud Adara memandanginya sangat lekat. Kerinduan dan kehampaan membuat mata indah itu redup kehilangan sinarnya. Namun, cadar hijau tosca dengan sulaman benang perak di wajahnya tidak mampu menutup aura keindahan yang dimiliki anak perempuan sang perdana menteri.

"Kenapa kau sendirian? Mana pengawalmu? Bagaimana bisa calon Ratu Amiera berjalan-jalan tanpa pengawal?"

Adara terpaku menatap selaput pelangi berwarna cokelat keemasan di mata lelaki itu. Sangat indah, mengaburkan segala keinginan kecuali ingin memandangnya lebih lama. Garis rahang tegas ditumbuhi misai tipis menambah daya tariknya yang luar biasa. Rambutnya sepanjang tengkuk sedikit bergerak lembut dipermainkan angin.

"Siapa kau? Siapa namamu?" tanya Adara dengan suara bergetar dan tubuh gemetar. Kedua tangan dingin dan jantungnya berdebar cepat.

"Ayas. Namaku Ayas." Ia tersenyum lebar. Deretan giginya terlihat.

Air mata Adara menetes, "Ayas…" ucapnya lirih. Ia begitu lama menanti untuk tahu siapa namanya.

"Siapa kau?" Adara menelan ludah membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Betapa ingin ia memeluk Ayas melepaskan kerinduan, tetapi ia perempuan terhormat, tidak akan mungkin ia melakukan hal semacam itu.

"Aku hanya pedagang." Ia mengangguk pelan penuh penghormatan.

"Ayas, apa kau nyata atau kau hanya lelaki bayangan di kegelapan malam?"

Ayas tersenyum mendengar pertanyaan Adara.

"Aku ingin bertemu denganmu," ucap Adara penuh permohonan.

Ayas lagi-lagi tersenyum. Ia berjalan mundur, sedikit membungkukkan tubuh kemudian berbalik membelakangi Adara. Ia berjalan menjauh.

"Ayaaas," panggil Adara nyaring.

Ayas menoleh kemudian berbalik dan tersenyum. Ia kembali berjalan menjauh.

"AYAAAS!" seru Adara lebih keras.

Ayas tidak mengindahkannya. Ia terus berjalan menjauh.

"AYAAAS! TIDAK-TIDAK JANGAN PERGI!" Ia berlari mengejar lelaki itu. Adara terus meneriakkan namanya.

"Tuan Putri! Tuan Putri Adara!" Dameshia mengguncang tubuh Adara berkali-kali.

"AYAAAS! AYAAAAS!" Adara terus meneriakkan nama itu dengan mata terpejam.

Dameshia mengambil air dan memercikkan ke wajah Adara beberapa kali.

Adara membuka mata dengan napas terengah-engah, "Dameshia, aku tau namanya sekarang."

"Nama siapa?" Dameshia terkejut dan heran.

"Nama lelaki yang selalu datang ke dalam mimpiku beberapa bulan terakhir."

"Ceritakan kepadaku, Tuan Putri. Selama ini kau menyimpannya sendiri." Dameshia mengisi kembali gelas itu dengan air hingga penuh lalu memberikannya kepada Adara.

Adara mengambil gelas pemberian Dameshia. Ia meminumnya hingga habis lalu memberikan gelas kosong kepada Dameshia. Dia beranjak dari kasur kemudian duduk di sofa.

Dameshia meletakkan kembali gelas itu sambil berjalan mendekati Adara. Ia berdiri di sisinya.

"Duduk, Dameshia. Aku harap kau tidak mengatakan aku gila saat mendengarnya." Adara berkata dengan lirih.

"Tidak akan, Tuan Putri."

"Aku bermimpi seorang lelaki yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia membuat jantungku berdebar cepat saat melihatnya.

Sejak melihat wajahnya membuatku melihat dunia dengan cara yang berbeda. Seakan-akan tidak ada keindahan apa pun di dunia ini yang sebanding dengannya.

Saat melihatnya senyumnya, aku mendadak seperti orang gila. Seolah-olah aku mabuk dan menjadi lupa segalanya.

Matanya begitu indah. Apa pun yang sewarna dengan matanya kini tampak sama indahnya.

Suaranya … tidak ada lagi syair yang menarik bagiku, selain suaranya.

Dunia ini tiba-tiba hambar, Dameshia. Dunia tiba-tiba terasa hampa saat aku tidak melihatnya. Apa aku gila?"

"Tidak, tuan Putri. Sudah banyak kisah seseorang yang fana dalam cinta saat ia bertemu seseorang di dalam mimpi, bahkan orang itu belum pernah dilihatnya.

"Dameshia, cari tahu tentang pedagang dari negara tetangga bernama Ayas."

Adara melangkah mendekati lemari dan mengambil kantong uang. Ia menghitung koin emas di dalamnya berjumlah 40 keping koin emas. Setiap koinnya memiliki berat 4,2 gram emas. Ia memberikannya kepada Dameshia.

"Baik Tuan Putri." Dameshia membungkuk.

"Tetap rahasiakan ini," ucap Adara datar.

"Baik, Tuan Putri."

Next chapter