webnovel

Raga Arga

Bukan skenario hidup seperti ini yang aku inginkan, memerani tiga tokoh sekaligus dalam satu kali kesempatan hidup. Andai bisa aku ingin terlahir kembali menjadi aku yang hanya satu- Samudra Arga Pratama Aku lelah menjadi senja yang ditunggu dan dikagumi di penghujung waktuku-Samudra Raga Dwitama *** Takkan gugur daun yang menguning itu jika memang belum habis waktunya. Takkan turun rintik hujan itu sekalipun langit telah menggelap jika memang belum saatnya. Pun dengan jantung yang takkan berhenti berdetak jika memang Tuhan belum berkehendak.

aksara_jiwa · Realistic
Not enough ratings
4 Chs

1. Kisahnya dimulai

Kamu tidak berhak menghakimi hidup seseorang, sebab yang nampak terlihat belum tentu menggambarkan aslinya dan kamu tidak tau apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya.

-RagaArga-

Sebuah perkumpulan tak berfaedah di sudut kelas terpaksa bubar. Pesertanya kocar-kacir kembali ke bangku masing-masing. Padahal perbincangan mereka sedang seru-serunya.

"Adooh...." Itu Munah, siswi bertubuh gempal yang baru saja tergulung di lantai karena aksinya yang lompat dari meja ke kursi tempat duduknya.

Tingkahnya tersebut sukses mengalihkan atensi teman-temannya yang sudah duduk rapih, membuat mereka terkekeh geli. "Eh Mun main sirkus Lo? Buruan duduk, mau dimakan sama bu Agnes?"

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" suara guru berambut bop itu menggema dalam ruang kelas, membuat semua murid-muridnya menegakkan punggung, melipat kedua tangan di atas meja, dan melebarkan senyum penuh paksaan. Persis seperti anak SD yang bersiap agar dipilih pulang pertama.

Sebentar, kali ini Bu Agnes tidak datang sendiri. Di belakangnya ada remaja berseragam sekolah mereka yang sepertinya...

"Anak-anak, di sini Ibu membawa teman baru untuk kalian!" benar kan, siapa lagi jika bukan murid baru?

"Silahkan nak, kamu perkenalkan diri kamu." titah bu Agnes pada murid baru yang berdiri di sebelahnya itu.

Siswi baru itu, yang semenjak menginjakan kaki di kelas hanya tertunduk malu, kini mengangkat wajahnya. Sungguh, senyumnya manis sekali. Tangannya kemudian bergerak menyisipkan rambutnya yang sebahu itu di telinganya.

"Assalamualaikum, kenalin nama aku Diajeng Gadis Saputri. Kalian bisa panggil aku Gadis. Oiya aku pindahan dari Jogja" kembali ia terbitkan senyumnya. Gadis ini sangat murah senyum. Dan pantas saja gaya bicara juga sikapnya terlihat sangat lembut, ternyata dari Jogja.

"Hai Gadiiiiss" itu para buaya kelas yang meleleh karena senyum Gadis.

Gadis, dia hanya membalasnya dengan senyuman tipis, tak ingin tebar pesona atau semacamnya.

"Ekhhmmm!!" bu Agnes berdehem sangat keras. "Yang mau genit-genitan silahkan keluar kelas!" dan memberi peringatan yang tak main-main.

"Oiya Gadis, silahkan kamu duduk di samping Cantika ya..." dirasa anak didiknya itu sudah selesai dengan perkenalannnya, maka dengan menunjuk ke arah bangku yang kosong Bu Agnes mempersilahkan Gadis untuk duduk.

Gadis pun menuruti titah gurunya itu.

Saat ini Gadis sudah duduk di samping teman barunya. Tangannya lantas bergerak untuk menyiapkan buku pelajaran. Tapi sebelum itu...

"Cantikaaa" bisik Cantika-teman sebangku Gadis. Mengulurkan tangannya pada Gadis dan jangan lupakan senyumnya yang sengaja ia ulum untuk Gadis.

"Murid tercantik di kelas ini." lanjutnya yang masih berbisik. Mendengar penuturan temannya itu, Gadis merotasikan kepalanya, mengabsen satu persatu wajah teman perempuan di kelasnya. Sekarang Gadis percaya, teman barunya itu tidak mengada-ngada, nyatanya Cantika memang yang paling cantik di kelasnya. Sama seperti namanya, Cantik.

Keduanya tak bisa menyambung perkenalan dengan obrolan lain, takut nanti spidol yang ada di tangan Bu Agnes berpindah ke mereka dengan tidak elitnya.

🍁🍁🍁

"Hai Gadis, aku pingin deh berjodoh sama kamu. Tau ngga kenapa? Karena mau sampai kapan pun kamu bakalan jadi gadis, ngga bakal jadi nenek tua!!!"

"Eaaaa bisa ae lo kutil cupang!"

"Gadis-gadis, kalau aku mah biarpun nanti kamu udah tua, kamu tetep jadi gadis satu-satunya di hati Abang!!"

"Gadis, kamu itu sebenarnya manusia atau peri sihir sih? Cantiknya sampai bisa nyihir aku gitu!!!"

"Parah Lo masa Gadis disamain sama ikan teri!"

"Ahahahahahha"

Barusan, setelah anak perempuan di kelasnya datang menghampiri sekedar untuk berkenalan dan menyapanya, anak laki-laki di kelasnya juga ikut-ikutan. Hanya saja mereka berlebihan.

Sungguh Gadis tak tahu harus berbuat apa, ia juga tak tahu harus menampilkan ekspresi yang seperti apa. Ia sangat risih sebenarnya, dengan aksi buaya-buaya kelas yang berkerumun di tempat duduknya, bahkan dua di antaranya berani duduk di meja Gadis. Padahal Cantika sudah berulang kali mengusir dan mengomeli mereka.

"Gadis, bapak kamu penjual mawar ya?" salah satu dari mereka yang bernama tag Slamet maju dua langkah dari tempatnya.

"Bukan,"

"Apa dong kalau bukan, pasti penjual gula pasir ya?"

"Bukan, Ayahku TNI." jujur Gadis.

TNI? Jawaban gadis sukses menyentak mereka. Yang duduk di atas meja turun dan membersihkan meja itu dengan gelagapan. Yang berdiri sangat dekat dengan gadis, mundur beberapa langkah menjaga jarak dari Gadis. Dan yang sudah merangkai rayuan menjijikan itu mengurungkan niatnya, lebih baik di simpan untuk siswi lainnya.

"Mampus Lo semua! Mau ditembak mati?" Cantika sengaja menakut-nakuti sukses membuat mereka kocar-kacir keluar kelas.

"Kantin yuk Dis, nanti keburu masuk!" ajak Cantika, tanpa menunggu persetujuan dari Gadis, Cantika menarik tangan Gadis.

Di tengah perjalanan menuju kantin, Cantika terus menyerocos memperkenalkan tiap bagian sekolah yang dilewati pada Gadis. Tetapi atensi Gadis beralih pada lapangan. Netranya menangkap seseorang yang sedang berlari mengelilingi lapangan, bukan sedang mengikuti jam olahraga, karena dia hanya sendiri dan juga tidak sedang memakai kaos olahraga. Menyadari temannya tak fokus padanya, Cantika pun mengekori arah pandang Gadis.

"Anak itu? Namanya Raga. Udah ngga heran." ucap Cantika mengalihkan pandangan pada yang lain, malas lama-lama melihat Raga.

"Sampai jam istirahat?" ada rasa iba di sana ketika melihat Raga dihukum selama ini, terlebih anak itu dihukum karena dirinya.

"Itu sengaja biar dia kapok. Kayak gitu aja, dia masih bakal ngulangin kesalahan yang sama." sepertinya Cantika sensitif dengan apapun yang berkaitan dengan Raga.

"Udah Ah yuk, nanti keburu masuk!"

"Eh iya, yuk!"

Sepanjang berada di kantin, ada sesuatu yang terus mengganggu pikiran Gadis. Bukan tentang materi matematika yang baru dipelajarinya, tapi ini tentang anak itu. Jika tidak baik, tidak mungkin Raga bersedia membantunya. Pasti ada suatu alasan sampai anak itu sering terlambat dan dihukum. Tak ada yang tahu, jadi tolong jangan berspekulasi.

🍁🍁🍁

Suara bel masuk hadir di tengah riuh siswa-siswi yang sedang mengisi jam istirahatnya. Segera mereka menyudahi makan, bincang-bincang, dan kegiatan lainnya. Tak terkecuali dengan penghuni kelas XI Mipa 1 yang saat ini sudah duduk anteng di dalam kelas. Menyiapkan buku pelajaran selanjutnya, meski beberapa di antara mereka sudah mual hanya dengan melihat aksara-aksara yang berjejer rapih itu.

Tapi ada satu bangku kosong di sana yang menarik perhatian Gadis. Membuat Gadis berpikir, apakah jumlah murid di kelasnya itu ganjil? Sampai ada yang tidak memiliki teman sebangku. Tak lama setelahnya, pekat irisnya menangkap sesorang yang berjalan ke bangku itu, membanting tasnya dengan sangat keras sampai atensi anak sekelas berpindah padanya. Gadis tau orang itu, dia masih mengingat namanya dengan baik ketika Cantika menyebutnya tadi. Raga. Benar, namanya Raga.

Anak itu menyandarkan tubuhnya pada kursi, mengusap wajahnya kasar, dan menghela nafas lelah. Membiarkan banyak mata menatapnya aneh dan mencibirnya tanpa mencari tahu alasannya datang terlambat ke kelas.

"Ga, Lo kena hukum lagi?" tanya Bintang. Melihat sahabatnya datang dengan penampilan berantakan. Rambut yang tak tertata, wajah yang basah karena keringat, seragam yang tidak dimasukkan, juga dasi yang entah ke mana, jelas Bintang tahu apa penyebabnya.

Raga tak meladeni pertanyaan Bintang dengan banyak kata-kata. Dia hanya mengangguk mengiyakan. Membuat lawan bicaranya sedikit kecewa karena sebenarnya ingin mendapatkan banyak penjelasan. Tapi tak masalah, Raga nanti pasti akan cerita, setelah suasana hatinya membaik.

🍁🍁🍁

Ketika teman-teman di kelasnya tengah sibuk memahami materi yang sedang diajarkan oleh guru juga berpikir sangat keras untuk mendapatkan jawaban atas soal yang ditugaskan, Raga justru sedang melepas lelah di alam mimpi. Di atas lipatan tangannya ia memejamkan mata, menjadikan rumus-rumus yang tengah disebutkan gurunya sebagai pengantar tidur. Tak ada yang berniat membangunkannya, mereka memilih acuh pada anak itu. Kecuali Bintang, yang sudah berusaha meski gagal. Pak Didit-guru yang sedang mengajar juga sudah menyerah, ini kesekian kalinya ia mendapati Raga tidur di kelas.

Drrtt drtt drttt

Tidurnya kemudian terusik saat sesuatu di kantong celananya bergerak menggelitiknya. Tangannya merogoh kantongnya itu tanpa sedikit pun mengubah posisi tidurnya. Ia terlampau hafal menjawab panggilan masuk tanpa harus melihat layar gawainya itu.

"Dek Raga,"

"Bibi?" jawabnya berbisik. Tanpa melihat siapa yang menelponnya, ia jelas sudah tahu. Tapi mengapa bibinya itu menelponnya, jelas-jelas ia tahu jika majikannya sedang sekolah. Pasti sesuatu yang buruk sedang terjadi. Mendadak jantungnya bergemuruh tak karuan, dengan perasaan tak tenang, pikirannya juga menerawang pada hal-hal buruk.

"Mas Arga. Sekarang adek pulang ya?"

Tuhan, apapun yang terjadi tolong lindungi separuh hidupnya itu!

To be continued

Bumi Lampung

Terang, 16 Oktober 2020

Terimakasih sudah mampir...

Semoga suka ya...

Jgn lupa vote dan komennya

❤️