14/3/22
Happy Reading
***
"Di Art Place distrik A."
Deg!
Selasa mendongak.
Hah?
Art Place?
Tidak salah nih?!
Itu kan dekat dengan perusahaan Sky Castle. Dua jam perjalanan dari sana.
Oh, Tuhan! Nasibku sungguh tidak baik!
Mau mati saja susahnya minta ampun.
Untuk apa aku bersusah payah melarikan diri jika pada akhirnya dengan mudah aku kembali ke Distrik A.
Hem …
Selasa menghela napas begitu panjang, dan gerak-gerik itu tak luput dari pandangan Rabu.
Tiga jam perjalanan dari pusat kota di Distrik A adalah Distrik B— kawasan elit untuk pengejar waktu, dan disanalah ia meninggalkan mansion mewahnya bersama Senin.
Senin iya?
Hem, sedang apa dia sekarang? Apakah dia sedang sibuk mencariku atau malah dia tertawa kegirangan karena sudah tidak ada beban lagi di pundaknya?
Ah, entahlah yang jelas setidaknya ia bisa melarikan diri dari mereka berdua … iya, dari Senin dan Minggu yang akan membuangnya ke rumah sakit jiwa.
"Ada apa?" tanya Rabu penasaran. Tapi, sedetik kemudian, "Ah, percuma bicara dengan orang gila sepertimu pasti tidak akan nyambung juga," kekehnya tanpa sadar mengelus pucuk kepala Selasa.
"Heshhh!!" Selasa mengerucutkan bibirnya, ia menepis kasar tangan Rabu yang senang sekali mengelus rambutnya ini.
"Hehehe." Rabu nyengir tanpa dosa. "Kau itu aneh," ucapnya yang langsung disambut kernyitan dahi Selasa.
"Kau itu bisu atau tidak?"
Selasa menggeleng mantap.
"Ohhh ...." Rabu menggeleng tak percaya.
"Tapi kenapa bicaramu gagap?"
Selasa mengedikan bahu.
"Atau kau punya penyakit serius di tenggorokanmu? Amandel? Sariawan? Radang? Ohhh … atau rahangmu patah? Atau … kau kenapa sih?" Rabu jadi penasaran dengan kegagapan Selasa. "Aku pernah bertemu dengan orang gila tapi dia lancar sekali bicaranya. Malahan dia menceramahiku seperti pemuka agama, dan em … sepertinya aku tidak pernah bertemu dengan orang gila yang gagap sepertimu."
Selasa meradang dikatai orang gila sejak tadi oleh Rabu. Ia mengambil apa saja yang ada di pangkuannya, dan akan memukul kepala Rabu dengan … dengan benda berbentuk tabung ini.
"Hiahhh ...."
Grap!
Rabu dengan cepat menahan tangan Selasa. "Hahah, imut juga."
Wajah Selasa memerah, dengan cepat ia melepas pegangan tangan Rabu yang menahannya.
"Makanya jangan membuatku bingung dengan kegagapanmu."
Selasa mendengus marah. Ia menunduk dalam. Malas sekali melihat wajah Rabu yang menyebalkan itu.
Hah, nasibnya sungguh sial pagi ini.
Belum ada 24 jam ia melarikan diri, ehh … sudah ditangkap oleh pelukis jalanan ini.
"Oke, oke, terserah kau," kata Rabu. "Setelah aku pulang kerja, aku akan mengantarmu ke polisi."
Hah?!
Selasa langsung menegakkan kepalanya. Menatap mata Rabu penuh arti. "Tidak mau, tidak mau!" Selasa berteriak dalam hati. "Jangan! Kumohon! Lebih baik buang aku saja di rel kereta api tadi!"
"Jangan banyak protes!" Rabu mendengus.
"Hari ini hari sabtu. Aku tidak mau repot hari ini," lanjutnya. "Di AP akan banyak pengunjung yang datang hari ini dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Siapa tahu hari ini aku sedang hoki." Rabu mengelus rambut Selasa. "Aku belum makan sejak kemarin dan aku sangat lapar."
Rabu membenarkan kursi roda Selasa supaya tidak menghalangi jalan. "Dilihat dari kondisi mu, pasti kau belum makan, kan?"
Selasa mengangguk. Lebih baik jujur. Lapar dan haus.
"Nah, kalau aku sibuk melukis nanti kau jangan rewel, iya," ucap Rabu begitu lembut. "Lima menit lagi akan sampai," lanjutnya, merapikan alat lukisnya di pangkuan Selasa. "Aku titip ini, heheh," cengirnya. "Lumayan, jadi aku tidak kesusahan membawanya sendiri."
Bibir Selasa mengerucut sebal. Ingin rasanya ia membuang semua peralatan lusuh ini dari pangkuannya.
"Apa saja sih ini? Kenapa banyak sekali barangnya?!" batinnya melihat Rabu yang juga memangku sebuah barang, "Apa lagi itu?"
"Apa?"
Selasa menunjuk dengan dagunya.
"Ini?"
Selasa mengangangguk.
"Ini kursi lipat."
Ohh, aku sih punya.
Lalu ini?
Belum juga Rabu menjawab apa yang ditunjuk Selasa … peringatan pemberhentian kereta di stasiun Distrik A sudah sampai.
"Ayo … ayo."
Rabu mendorong kursi roda Selasa dengan semangat, membawanya menerobos kerumunan orang-orang yang sedang berjalan juga.
"Hah … hah!"
Rabu menarik napasnya panjang-panjang.
"Itu tempatnya disana."
Rabu menunjuk semangat Art Place di seberang jalan sana.
"Sudah pernah kesini sebelumnya?" tanya Rabu menyeberang jalan dengan hati-hati setelah lampu hijau.
Selasa menggeleng mantap dan entah mengapa jantungnya berdebar kencang saat melihat banyak orang yang seliweran kesana kemari. Ia takut jika salah satu diantara orang itu adalah wartawan gila yang selalu kepo dengan kehidupannya ini.
Selasa buru-buru menundukan kepalanya. Ia takut jika ada yang mengenalinya nanti.
Walau Selasa sering lewat sini saat menuju ke Sky Castle tapi … tapi, kan ia sama sekali tidak pernah menginjakan kaki di Art Place.
Jujur, ia benar-benar tidak terlalu tahu mengenai Art Place, yang ia tahu hanya satu jika tempat itu hanyalah tempat sekumpulan orang pengangguran yang mengadu nasib sebagai pelukis jalanan amatir disana.
Hem!
"Rabuuuu!!"
Deg!
Rabu menoleh saat namanya dipanggil oleh seseorang yang dikenalnya. Ia tidak menyapa balik, dan hanya tersenyum pada Sabtu yang kesusahan membawa alat lukisnya.
"Ehh, siapa ini?" Sabtu bertanya penasaran saat melihat seorang wanita lusuh yang ... yang belum pernah dilihatnya.
"Ohh, orang gila mungkin." Rabu menjawab asal.
Selasa hanya bisa mengerutkan bibirnya. Mau protes tidak bisa. Huh, menyebalkan juga si Rabu-Rabu ini!
"Orang gila?" Sabtu jadi memperhatikan lebih jauh keadaan wanita yang sedang menunduk itu.
Rabu mengangguk. "Mungkin pasien yang lari dari rumah sakit jiwa."
"Tidak ditinggal saja?"
Rabu menggeleng. "Hampir mati ditabrak motor."
"Haha." Sabtu tertawa samar. "Ketemu dimana?"
"Dijembatan, Sabtu, astaga!" Rabu memutar bola matanya dengan malas. "Diam tidak?"
Sabtu semakin penasaran saja. "Kok bisa?"
"Astaga!" Rabu menghentikan langkahnya yang otomatis kursi roda itu ikut berhenti, dan Sabtu pun ikut-ikutan menghentikan langkahnya. "Rodanya slip. Dia lumpuh, terus lututnya luka. Aku kasihan. Daripada ku tinggal sendirian, terus diperkosa rame-rame. Lebih baik ku bawa kemari. Puas Tuan Sabtu?"
"Hahah, puas-puas," kata Sabtu terkekeh. "Tuh, enak tidak dicereweti seperti itu?"
Rabu mendesis kesal, kembali berjalan.
Dan, Selasa berusaha menahan tawanya sebisa mungkin.
"Tumben peduli dengan orang lain?" tanya Sabtu, mengikuti langkah Rabu disampingnya.
"K-a-s-i-h-a-n!"
"Ohhh …." Sabtu mengangguk percaya. "Kenapa tidak dibawa kekantor polisi?"
"Nanti saja."
"Kenapa?"
"Tuhan!! Kau kenapa sih?"
Sabtu terkekeh. "Aku hanya penasaran, seorang Rabu jadi punya rasa empati dan … eum, tumben tidak banyak bicara?!"
"Oke, aku harus cari uang dulu! Kasihan cacingku dari kemarin belum makan." Rabu memberi penjelasan serinci mungkin supaya tidak ada pertanyaan lagi. "Kalau aku ke kantor polisi sekarang, urusannya akan semakin panjang dan ribet. Bisa-bisa seharian ini aku tertahan di kantor polisi. Aku tidak akan dapat uang, terus aku lapar dan aku akan mati sebelum membawa wanita ini ke kantor polisi. Puas!!"
"Ah, iya, benar juga. Lagipula sekarang hari sabtu. Semoga saja kita beruntung." Sabtu memperhatikan Art Place yang sudah dipenuhi oleh seniman-seniman jalanan yang menempati tempatnya masing-masing.
Rabu mengangguk semangat. "Iyaa … setidaknya aku harus dapat satu pelanggan jika ingin makan."
"Hmm ...." Sabtu melihat wanita yang masih menunduk itu. "Dan, iya … setidaknya, walau wanita ini orang gila, kau juga harus memberinya makan juga, kan? Kalau kau hanya dapat satu pelanggan, bagaimana dengan wanita itu?"
Rabu jadi menundukan kepalanya melihat Selasa yang entah kapan jadi menunduk seperti itu. "Kau tidur?" tanyanya sambil mengelus rambut Selasa.
Selasa menggeleng.
"Ah, iya, benar juga." Rabu mendesah berat. "Aku juga harus membelikannya obat, supaya lukanya tidak infeksi," katanya. "Hem, semoga saja aku punya uang untuk memberinya makan."
"Iyaa, semangatlah," kata Sabtu mempuk-puk punggung Rabu yang terlihat lemas. "Jangan malas-malasan. Untuk satu hari ini berusaha lah."
Rabu mengangguk lemas.
Hah, beban hidupnya bertambah satu.
"Doakan aku," bisik Rabu penuh arti pada Selasa.
***
Salam
Galuh