webnovel

Bab 1. Pemberontakan

Suara pedang beradu satu sama lain, kekacauan terlihat di mana-mana sementara permaisuri istana tengah merasakan sakitnya melahirkan di kediamannya.

Tangisan rakyat yang terdengar memilukan itu sampai hingga ke telinga Raja, tanpa sebuah peringatan sebelumnya membuat Raja kewalahan menghadapi situasinya.

Sang adik, yang mana sangat ia percaya tiba-tiba melakukan pemberontakan besar-besaran dengan maksud merebut tahtanya. Sedangkan di dalam kediamannya, sang permaisuri tengah menjerit kesakitan karena akan melahirkan anak pertama mereka.

Suara pedang yang saling beradu itu seakan terhenti ketika pedang milik Antaksana berhasil mengenai leher sang Raja, "Serahkan tahtamu dan masuklah ke penjara, jika tidak mau mati," ujarnya dengan mata memerah.

"Antaksana! Kau adalah adikku, bagaimana bisa melakukan ini semua?!!" seru Antarqana, sang Raja yang berhasil menduduki posisi raja setelah Ayahnya menyerahkan posisi tersebut kepadanya lima tahun yang lalu.

Kerajaan Qalsar yang dipimpin raja terdahulu sangat makmur, terjadi pertikaian antara kedua anaknya yang pada akhirnya membuat raja terdahulu memilih Antarqana untuk mewarisi tahtanya karena melihat kepiawaiannya dalam memimpin.

Tetapi, siapa sangka jika ternyata Antaksana memiliki dendam atas terpilihnya Antarqana. Siapa sangka juga ternyata semua sikap baik Antaksana selama lima tahun belakangan adalah palsu, semata-mata untuk merebut kekuasaan Antarqana.

Sementara itu, di kediamannya permaisuri memanggil pelayan kepercayaannya untuk mendekat. Dengan perasaan khawatir, pelayan kepercayaan tersebut mendekati permaisuri.

Napas Permaisuri terlihat tidak stabil, wajahnya pucat dan tatapannya terlihat sendu. Dipegangnya tangan pelayan itu kemudian Permaisuri berkata, "Kau adalah pelayan yang paling kupercaya, kau tau suka-dukaku selama ada di sini. Pergilah bersama kekasihmu dan bawa anakku bersamamu. Rawat dia seperti kau merawatku, kekacauan yang terjadi membuatku khawatir pada keselamatan anakku."

"Tap--"

"Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir Sang Permaisuri Qalsar," ujar Permaisuri memotong ucapan pelayan yang sepertinya akan menolak permintaannya.

Pelayan tersebut menarik tangannya dan bersujud, "Hamba berjanji akan menjaga anak Raja dan Permaisuri," ujarnya sambil meneteskan air mata disela sujudnya.

Permaisuri tersenyum, kemudian napasnya terengah hingga akhirnya ia mengejan dengan kuat. Tangannya menarik selimut ranjang, kakinya terbuka lebar, pekiknya menahan sakit, ini adalah hal pertama baginya.

Tepat dipekikan yang ke lima, tangisan bayi terdengar membuat hembusan napas lega di ruangan itu saling bersahutan, bayi mungil dengan wajah cantik seperti Ibunya itu membuat tabib perempuan istana tersenyum.

"Bayinya perempuan," ujarnya memberi kabar bahagia tersebut. Permaisuri tertawa kecil dengan lemah.

Sayangnya, di hari bahagia ini sebuah kekacauan besar sedang terjadi.

"Mandikan putriku, lalu berikan padaku sebentar sebelum kau bawa pergi," ujar Permaisuri dengan lemah.

Tabib tersebut mengangguk dan dengan segera membersihkan bayi dalam gendongannya, sementara itu Permaisuri pun terlihat tengah dibersihkan oleh pelayan-pelayan lain.

"Jangan ada yang memberitahu pihak Antaksana jika bayiku dibawa oleh pelayan Sumi," ujar Permaisuri yang di respon dengan sujud para pelayan.

"Kami berjanji untuk bungkam soal Tuan Puteri," ujar mereka kompak.

Permaisuri tersenyum dan menyuruh mereka bangun untuk melanjutkan aktivitas mereka. Permaisuri meminta pelayan kepercayaannya itu mendekat lagi.

"Beri bayiku nama Quinsa Adara, jangan biarkan dia terlibat dengan istana Qalsar lagi," ujar Permaisuri yang langsung diangguki Sumi, pelayan kepercayaan Permaisuri.

"Kau sudah memanggil kekasihmu?" tanya Permaisuri kemudian.

Sumi memberi hormat, "Belum, Permaisuri. Hamba meminta izin untuk pergi memberitahukannya," ujar Sumi meminta izin.

Permaisuri tersenyum, "Pergilah," jawab Permaisuri menyetujui.

Sumi mengangguk dan berjalan meninggalkan kediaman Permaisuri untuk menghampiri kekasihnya yang bekerja di bagian dapur istana Qalsar, langkahnya tergesa.

Sumi sedikit bersyukur karena penyerangan itu belum sampai ke kediaman Permaisuri, tetapi tetap saja Sumi harus cepat jika tidak maka mungkin akan terlambat.

Tugas yang diberikan Permaisuri kepadanya bukanlah tugas mudah sekedar memetik bunga matahari seperti sebelumnya di taman, tetapi harus membawa dan melindungi puterinya yang Sumi harap dia bisa melakukan tugasnya dengan baik.

Cepatnya langkah Sumi membuat Sumi menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan, Sumi jatuh terduduk kemudian langsung dibantu oleh orang yang ditabraknya.

"Hati-hati," ujar seseorang tersebut.

Sumi mendongak dan ternyata yang ia tabrak tak lain adalah kekasihnya.

"Syukurlah aku bertemu denganmu, kekasihku. Ayo cepat, ikuti aku ke kediaman Permaisuri," ujar Sumi sambil menarik kekasihnya untuk mengikutinya.

Saat akan kembali ke kediaman Permaisuri, malah ada prajurit beradu pedang di tempat yang akan mereka lewati membuat Sumi dan kekasihnya itu harus berputar mencari jalan lain.

Keadaan istana benar-benar kacau, bukan berprasangka buruk hanya saja sebuah kemungkinan buruk akan terjadi. Jika Sumi dan kekasihnya tidak segera pergi membawa bayi itu maka mungkin akan sangat terlambat untuk melindungi bayi tersebut.

"Keadaan istana benar-benar semakin kacau, apa yang akan kau lakukan dengan membawaku ke kediaman Permaisuri?" tanya Panca dengan heran.

"Kau dan aku harus meninggalkan istana ini secepatnya," ujar Sumi membuat langkah Panca berhenti sekalipun ditarik oleh Sumi.

"Kita harus melindungi istana ini dari kekacauan, bukannya malah melarikan diri, Sumi!" seru Panca pada Sumi.

"Aku bukan mengajakmu melarikan diri, tapi mengajakmu untuk mengerjakan tugas dari Permaisuri. Tugas yang mungkin adalah titah terakhirnya," ujar Sumi membuat Panca mau kembali berjalan mengikuti Sumi.

Sesampainya mereka di kediaman Permaisuri, Sumi segera menemui Permaisuri untuk memberi kabar di luar kediaman Permaisuri.

"Keadaan di luar benar-benar kacau, Permaisuri," ujar Sumi memberi kabar.

"Apakah mereka akan sampai kemari?" tanya Permaisuri dengan mimik wajah khawatir yang terlihat dengan jelas.

"Mereka hampir dekat taman, Permaisuri," jawab Sumi sambil memberi hormat.

"Barang putriku sedang disiapkan, sebentar... Tabib!" ujar Permaisuri diakhiri dengan panggilan nya terhadap tabib yang membantunya persalinan.

"Ya, Permaisuri," sahut Tabib menghampiri sambil membawa barang yang Permaisuri suruh siapkan untuk dibawa oleh Sumi dan Panca.

"Ambil Quinsa," ujar Permaisuri memerintahkan Tabib untuk mengambil putrinya.

Kemudian, setelah bayi tidak dalam gendongannya lagi. Permaisuri bergerak mengambil mahkota yang dia gunakan, lalu dimasukkannya ke dalam kain berisi pakaian bayi milik putrinya.

"Ambil kotak yang ada di atas lemari," perintah Permaisuri pada Panca.

Panca bergerak dengan cepat mengambil kotak yang ada di atas lemari, kemudian membawanya ke ranjang Permaisuri yang luas.

Dibukanya kotak tersebut oleh Permaisuri, isinya adalah hal yang tak terduga oleh pelayan-pelayannya.

Siapa yang akan menyangka jika Permaisuri menyimpan lembaran uang dengan jumlah yang banyak di atas lemarinya? Di saat semua kebutuhannya sudah tersedia.

Permaisuri mengambil tanpa ragu lembar-lembar uang serta koin mas yang ia simpan dalam kotak tersebut, kemudian memasukkannya ke kain yang berisi pakaian bayi milik putrinya serta mahkota miliknya.

Permaisuri menatap salah satu pelayannya, "Ambilkan sesetel pakaianku untuk dibawa, yang berwarna emas," ujar Permaisuri memerintah yang langsung diangguki dan pelayan tersebut dengan segera melakukan sesuai perintah.

Permaisuri tersenyum ketika pakaian yang ia mau sekarang berada di tangannya, kemudian dimasukkannya pakaian itu ke dalam kain tadi.

"Panca, bawalah ini. Berisi pakaian untuk putriku, lalu sejumlah uang dan emas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maaf jika merepotkan. Aku harap kalian menyayanginya dengan sepenuh hati,dan kalian menikahlah, jadikan putriku sebagai putri kalian," ujar Permaisuri meminta Panca mengambil kain yang sudah diikat.

"Jika hanya itu permintaan Permaisuri, lalu untuk apa Permaisuri membawakan Mahkota dan selembar pakaian Permaisuri?" tanya Panca tak paham.

"Agar putriku tetap bisa dekat denganku," ujar Permaisuri membuat Panca terdiam.

Kemudian Permaisuri mencium kening putri kecilnya untuk yang terakhir kalinya. Sebelum dibawa pergi, setelahnya Sumi dan Panca pamit pergi melalui jalur belakang istana Qalsar dengan membawa seorang bayi yang baru lahir yang tak lain adalah Putri dari Raja dan Ratu Qalsar yang tahtanya direbut secara paksa oleh adiknya sendiri.

Next chapter