webnovel

Queen Seohyun

Shin Yoo Ri jatuh hati pada pandangan pertama kepada seorang pemuda yang dijumpainya saat berteduh dari hujan. Yoo Ri tidak tahu jika pemuda yang disukainya itu adalah sang pewaris tahta, Putra Mahkota Yi Jin. Sejak pertemuan pertamanya dengan Yi Jin, Yoo Ri terus mencari keberadaan pemuda itu namun tidak pernah ia jumpai lagi. Pada akhirnya, Yoo Ri berhasil bertemu kembali dengan Yi Jin saat ia datang ke istana. Pada saat itu juga ia mengetahui jika pemuda yang ia sukai adalah sang pewaris tahta. Sejak saat itu Yoo Ri bertekad untuk menjadi pendamping bagi Yi Jin. Bagaimana kisah selanjutnya dari Shin Yoo Ri? Akankah ia berhasil meraih tekadnya untuk menjadi pendamping bagi sang pewaris tahta?

nhiefeliana · History
Not enough ratings
24 Chs

Chapter 16

Ibu Suri Istana Kang menghirup udara segar pagi ini. Saat ini wanita itu tengah berjalan-jalan dengan ditemani Pangeran Jaehyang, yang datang kembali untuk mengunjunginya. Sejak ia jatuh sakit satu minggu lalu, cicitnya ini setiap hari mendatangi istana untuk menemaninya dan juga menghiburnya. Namun kedatangan sang pangeran tersebut rupanya membuat beberapa menteri, terutama mereka yang sejak dulu tidak mendukung sang pangeran, berasumsi jika kedatangan pemuda itu ke istana setiap hari selain untuk mengunjungi ibu suri istana, juga untuk menggulingkan posisi putra mahkota saat ini.

Tapi jelas jika itu semua hanyalah asumsi dari orang-orang itu semata. Jaehyang sama sekali tidak menginginkan takhta putra mahkota, bahkan sejak dulu. Dirinya hanya ingin menjalani kehidupan sebagai seorang pangeran biasa tanpa.

Ibu suri istana dan sang pangeran lalu memilih untuk istirahat sejenak disebuah gazebo dengan pemandangan yang begitu indah. Jaehyang lalu mendudukkan nenek buyutnya itu disebuah kursi yang tersedia, sementara dirinya berdiri di samping sang nenek buyut.

"Tempat ini adalah tempat kesukaanku di istana," ujar Ibu Suri Istana Kang. Ia terdiam sejenak untuk mengambil napas panjang. "Dulu, aku dan mendiang kakek buyutmu sering menghabiskan waktu bersama di sini. Menikmati pemandangan indah di depan sana sambil memakan beberapa camilan manis dan juga teh."

Jaehyang hanya terdiam mendengar kisah yang diceritakan neneknya itu. Sepertinya ini adalah kesekian kalinya ia mendengar kisah tersebut selama satu minggu ini. Perasaannya menjadi tidak enak karena nenek buyut yang ia sayangi itu membahas hal yang sama.

"Tidak hanya itu, apa kau ingat jika kau juga sering bermain di sini bersama kakek buyutmu?" tanya Ibu Suri Istana Kang sambil memandang Jaehyang yang berdiri di sampingnya itu.

"Tentu saja aku ingat, Halma mama," jawab Jaehyang.

"Dulu kau masih sangat kecil, tapi sekarang kau tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat," puji ibu suri istana. "Kau harus hidup dengan baik, Wook-a. Hadapi semua masalah yang datang dengan baik, jangan pernah menggunakan pedangmu untuk hal yang tidak baik."

"Akan aku ingat, Halma mama," ujar Jaehyang.

Tidak ada lagi percakapan yang terjadi diantara kedua orang itu. Keduanya sama-sama memandangi pemandangan danau yang ada di hadapan mereka. Ibu suri istana tiba-tiba melingkarkan tangannya kepada lengan Jaehyang, membuat pemuda itu sedikit terkejut dan melirik ke arah nenek buyutnya itu.

"Aku merasa mengantuk," ujar ibu suri istana. "Sepertinya aku ingin istirahat."

"Beristirahatlah, Halma mama. Aku akan menemanimu di sini," ujar Jaehyang.

Kedua mata sang ibu suri istana perlahan mulai terpejam. Ia sempat menarik napasnya panjang sebelum akhirnya mengembuskannya untuk kali terakhir. Tangannya yang melingkar di lengan Jaehyang terlepas, membuat pemuda itu terdiam.

Kedua mata Jaehyang mulai berkaca-kaca. Ia lalu berlutut di samping ibu suri istana dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya namun kedua matanya mulai meneteskan airmatanya.

"Halma mama, beristirahatlah dengan tenang. Rasa sakitmu kini sudah terangkat. Aku menyayangimu," ujar Jaehyang lalu memberikan penghormatan terakhir kepada sang nenek buyut.

Para dayang serta Yoo Sanggung yang berdiri beberapa meter dari gazebo itu mulai menangis. Wanita yang mereka layani selama ini pada akhirnya telah meninggalkan dunia yang fana ini serta meninggalkan kesan yang begitu indah bagi mereka. Selama hidupnya ibu suri istana adalah sosok yang baik dan memperlakukan pelayan serta dayangnya dengan baik.

~"~

Hari demi hari berganti dengan begitu cepat. Tidak terasa masa berkabung negara bagi mendiang Ibu Suri Istana Kang telah berakhir. Tiga tahun lamanya istana mengadakan masa berkabung untuk menghormati mendiang, dan hari ini seluruh anggota istana termasuk para menteri yang bekerja sudah kembali memakai pakaian biasanya, tidak lagi memakai pakaian berkabung.

Raja Jeongwoo saat ini sedang mengadakan pertemuan pagi bersama para menteri. Banyak hal yang dibahas pada pagi ini, dan salah satunya terkait pemilihan putri mahkota bagi sang pewaris. Para menteri mendesak agar raja segera kembali memberlakukan pembatasan pernikahan dan membuka pendaftaran pemilihan putri mahkota.

Akan tetapi, sepertinya sang raja masih belum mau melakukan itu. Karena masa berkabung baru saja selesai, ia ingin memberi sedikit jarak dari akhir masa berkabung ke masa pemilihan putri mahkota.

"Aku tidak akan segera memberlakukan pembatasan pernikahan, karena kita baru saja mengakhiri masa berkabung minggu lalu. Rasanya tidak etis untuk segera berpesta," jelas Raja Jeongwoo. "Masalah ini kita bahas dua bulan lagi."

"Ye, Jeonha," respon para menteri kompak.

"Kalau begitu, kita akhiri pertemuan ini," ujar sang raja yang setelahnya meninggal singga sananya itu.

Para menteri yang menghadiri pertemuan itu belum meninggalkan ruangan, walaupun sang raja telah benar-benar pergi. Mereka masih membahas rencana pemilihan itu. Rasanya terlalu lama jika harus menunggu dua bulan lagi.

"Bagaimanpun juga, itu adalah keputusan jeonha. Kita harus menghormatinya," ujar Menteri Seo yang berada di fraksi yang sama dengan Tuan Shin Min Gyu.

"Kau benar, Daegam. Lebih baik saat ini kita fokuskan untuk penanganan kekeringan di beberapa desa," tambah Menteri Song yang disetujui rekan satu fraksinya itu. "Shin Daegam. Kau akan mendaftarkan putrimu ke dalam pemilihan?"

Tuan Shin menghela napasnya pelan. "Aku tidak tahu apakah aku akan mendaftarkan putriku atau tidak," jawabnya lalu memilih untuk pergi dengan disusul rekan-rekannya yang lain.

Jawaban Tuan Shin rupanya terdengar oleh fraksi seberang yang merupakan fraksi dari Tuan Kim Hak Yoon. Para menteri yang ada di sana terlihat sinis menatap kepergian Tuan Shin.

"Astaga, dia mengatakan tidak tahu akan mendaftarkan putrinya atau tidak?" celoteh Menteri Yoo.

"Orang seperti dia pasti akan mendaftarkan putrinya walaupun tadi ia mengatakan hal yang seperti itu," tambah Menteri Jang.

"Sudahlah biarkan saja. Lagipun jika ia mendaftarkan putrinya, Kim Chae Yoon pasti akan memenangkan pemilihan, bukan begitu Kim Daegam?" tanya Menteri Han.

Tuan Kim tersenyum puas mendengar perkataan rekannya itu. "Kau benar, Han Daegam. Putriku pasti akan memenangkan pemilihan."

~"~

Disalah satu gazebo yang ada di istana, Putra Mahkota Yi Jin sedang serius membaca sebuah buku yang cukup tebal. Pemuda yang kini telah berusia sembilanbelas tahun itu terlihat semakin tampan jika sedang serius seperti itu. Rupanya keseriusan yang dilakukan sang pewaris takhta itu diperhatikan oleh Raja Jeongwoo beserta Ratu Kim dari kejauhan. Pasangan istana itu sama-sama tersenyum melihat betapa seriusnya sang penerus takhta itu membaca bukunya.

"Tidakkah Anda berpikir jika Yi Jin terlihat seperti Anda, Jeonha," ujar Ratu Kim tanpa melepas pandangannya dari sang anak.

"Ya kau benar jungjeon. Melihatnya serius seperti itu memang terlihat seperti diriku di masa muda," ujar Raja Jeongwoo yang juga tidak melepas pandangannya dari sang anak.

"Omong-omong, Jeonha." Ratu Kim berbalik menghadap sang suami. "Apakah Anda yakin tidak akan mempercepat pemilihan putri mahkota? Dua bulan adalah waktu yang cukup lama."

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa kau ingin segera memiliki menantu dan cucu?" goda sang raja.

"Bukan itu, Jeonha. Tetapi ini karena umur Yi Jin yang sudah melewati usia pernikahan. Bukankah lebih cepat lebih baik? Anda saja menikah saat berusia empatbelas tahun, bukan begitu?"

Raja Jeongwoo terdiam mendengar ucapan istrinya yang memang ada benarnya. Usia Yi Jin sudah melewati usia pernikahan dan putranya itu sudah disebut sebagai pejaka tua, walaupun usianya masih muda. "Tapi, bukankah Yi Wook juga sudah melewati usia pernikahannya?"

Raut wajah Ratu Kim seketika muram saat suaminya itu menyinggung Pangeran Agung Jaehyang, sang anak tertua. "Tapi, Yi Wook bukanlah penerus takhta. Dia mau menikah atau tidak urusan dia," ujarnya dengan nada yang terdengar kesal.

Raja Jeongwoo tersenyum tipis mendengar jawaban sang istri. Sepertinya istrinya ini masih tidak menyukai anak tertuanya. Tangan sang raja terulur lalu meraih tangan sang ratu yang berada di balik dangui warna mint yang dikenakannya. "Arraseo, aku akan mempercepat pernikahan Yi Jin, Jungjeon."