webnovel

Ulang Tahun Haoran (4)

Emma dan Haoran duduk di dek sambil menikmati wine dan mengobrol dengan suara rendah. Suasana terasa begitu damai saat mereka berada di tengah lautan seperti ini tanpa ada siapa pun. Hanya ada suara ombak dan burung-burung laut yang terbang di atas mereka.

Pelan-pelan, matahari pun turun di penghujung barat. Langit mulai berganti warna dan kini dihiasi oleh warna-warna ungu dan oranye yang membuatnya terlihat seperti sapuan kuas pelukis di kanvas, cantik sekali.

"Matahari sudah terbenam," kata Haoran dengan gembira. Ia menunjuk ke arah barat. "Aku mau merayakan ulang tahunku."

Suaranya terdengar seperti seorang anak kecil yang penuh semangat. Emma menatap pemuda itu dengan wajah tersenyum geli. Sulit rasanya percaya melihat pemuda berusia 19 tahun yang selama ini selalu terlihat bersikap dewasa dan penuh perhitungan, dapat bersikap seperti anak-anak.

"Iya, baiklah. Kita bisa menyalakan lilin ulang tahun sekarang dan kau bisa meniupnya," kata Emma sambil menarik kue ulang tahun Haoran ke tengah. Kue itu telah memiliki lilin di atasnya dengan angka 19.

"Oh... sebentar, aku ke dapur untuk mengambil korek api," kata Haoran. Ia baru saja hendak bangkit dari duduknya ketika tangan Emma menahan bahunya lembut.

"Ssshh... kata siapa kita perlu korek?" tanya gadis itu. Ia memunculkan api dari ujung jarinya dan dengan santai menyalakan kedua batang lilin di kue sambil tersenyum. Haoran menepuk keningnya pelan sambil tersenyum.

Ah, tentu saja. Kekasihnya menguasai api. Mereka tidak perlu korek.

"Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday, dear Haoran. Happy birthday to you..."

Emma menyanyi dengan suara indahnya sambil mengangkat kue ke arah Haoran dan tersenyum lebar, memberi tanda kepada pemuda itu untuk bersiap-siap meniup lilinnya. Untuk sesaat, Haoran malah terpesona mendengar suara nyanyian Emma dan lupa untuk meniup lilin.

Ia belum pernah mendengar suara gadis itu menyanyi sebelumnya dan tidak mengira suaranya seindah ini.

"Tiup lilinnya," bisik Emma sambil menatap Haoran dengan mata berkilauan.

Haoran tergugah dari lamunannya dan menganggguk. Ia memejamkan matanya dan kemudian meniup lilin di atas kuenya dengan sekali tiup.

"Terima kasih," kata Haoran. "Sekarang aku akan memotong kuenya dan memberikannya kepadamu."

Haoran mengambil kue dari tangan Emma dan menaruhnya di atas alas piknik mereka. Ia lalu mengambil pisau kue dan memotong dua potong kue dan menaruhnya di piring kecil. Satu untuk Emma dan satu untuk dirinya.

"Kau tahu memohon apa untuk ulang tahunmu?" tanya Emma sambil memperhatikan Haoran memotong kue. Ia melihat Haoran tadi sempat memejamkan mata sebelum meniup lilin ulang tahunnya.

Ia menduga Haoran berharap ia akan dapat bertemu ibunya lagi. Sudah lebih dari lima tahun mereka berpisah. Tentu perasaan pemuda itu sekarang diliputi kerinduan yang begitu mendalam bagi ibunya, sama seperti Emma sendiri sangat merindukan jkedua orang tuanya.

"Aku berharap agar dapat bertemu kembali dengan kedua orang tuamu," jawab pemuda itu sambil menyerahkan potongan kue pertama untuk Emma.

"Oh..." Emma tertegun mendengar jawaban Haoran. Ia sama sekali tidak mengira Haoran lebih memikirkan dirinya daripada ia sendiri. "Kenapa tidak berharap kau dapat bertemu kembali dengan ibumu?"

Haoran hanya mengangkat bahu. "Aku bisa melihat ibuku kapan pun aku mau dengan akses satelit yang diberikan Goose. Suatu hari nanti, aku juga PASTI akan bertemu kembali dengannya, setelah aku menyingkirkan ayahku dan menguasai Lee Industries. Aku hanya perlu bersabar dan menunggu beberapa tahun. Tetapi kau... kau telah lebih lama kehilangan orang tuamu, dan sampai kini kita tidak tahu bagaimana nasib mereka, dan di mana mereka sekarang. Jadi kurasa... dari skala prioritas, kau lebih membutuhkan dukungan."

"Oh.. Haoran..." Emma tampak berkaca-kaca. "Terima kasih."

"Eh... jangan menangis. Aku hanya bicara fakta dan mengambil keputusan berdasarkan tingkat prioritas. Lagipula... aku tak tahu apakah keinginan yang diucapkan saat ulang tahun ada artinya." Haoran tertawa kecil. Ia menepuk-nepuk bahu Emma dan mengangkat kuenya. "Ayo makan kuenya."

Emma mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah. Setelah kita makan kue, aku punya hadiah ulang tahun untukmu."

"Aku tidak sabar ingin melihatnya," cetus Haoran. Ia memang penasaran ingin mengetahui apa kira-kira hadiah yang disiapkan Emma untuknya.

"Kuharap kau akan suka," kata Emma sambil tersenyum simpul. Ia menyendok kuenya dan makan sambil menikmati pemandangan kaki langit yang tampak begitu indah dengan berbagai warna senja, seperti oranye, ungu, merah muda, dan kuning.

Mereka duduk berdampingan menikmati kue sambil menatap senja tanpa berkata apa-apa. Pemandangan di depan mereka memang tampak sangat megah dan mereka takut akan merusaknya dengan bersuara.

Keduanya tergugah saat saat hari menjadi gelap dan sensor otomatis di kapal tiba-tiba menyalakan lampu. Emma dan Haoran saling pandang. Mereka menyadari bahwa hari sudah malam, padahal rasanya mereka baru saja berangkat.

"Aku akan mengantarmu pulang nanti," kata Haoran. "Kau mau berada di laut sampai jam berapa? Kita berada sekitar setengah jam dari daratan."

Emma mengangkat bahu. "Kau bagaimana? Aku bisa pulang kapan saja. Aku sudah bilang Oma bahwa aku pergi denganmu untuk merayakan ulang tahunmu. Dia tidak akan mencariku kalaupun aku pulang terlalu malam."

"Ahh.. baiklah kalau begitu. Aku akan mengikutimu keinginanmu. Kapan pun kau ingin kembali ke daratan, bilang saja. Aku akan segera membawa kita pulang."

Emma mengangguk. "Baiklah. Tapi sebelumnya, aku ingin memberimu hadiah ulang tahun yang kusiapkan khusus untukmu."

Gadis itu mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalamnya. Ia lalu menyerahkannya kepada Haoran yang menerimanya dengan wajah berseri-seri.

"Wah.. terima kasih. Aku boleh membukanya sekarang?" tanya Haoran. Emma mengangguk.

Pemuda itu membuka kertas kado yang membungkus kotak itu dan membuka tutup kotaknya. Wajahnya segera dihiasi senyum lebar saat ia melihat enam buah kue kering berbentuk huruf disusun di dalam kotak. Keenam huruf itu membentuk namanya: HAORAN.

"Aku tidak pernah memanggang kue sebelumnya. Jadi aku memutuskan untuk membuat kue khusus untukmu dan belajar dari Oma bagaimana cara membuat kue kering. Setiap hurufnya dibuat dengan cinta," kata gadis itu sambil tersenyum.

"Oh... ini cantik sekali. Aku tidak akan pernah memakannya," kata Haoran gembira sambil mengagumi kue -kue itu.

"Ahahaha.. jangan. Nanti kuenya busuk kalau tidak dimakan. Kita makan saja begitu kau selesai mengaguminya, supaya aku bisa memberikan hadiahku yang berikutnya..." kata Emma kemudian.

Haoran tertegun mendengarnya. "Hadiah berikutnya? Ada lagi?"

Pemuda itu sama sekali tidak menyangka bahwa Emma memberikannya lebih dari satu hadiah. Ia sudah cukup senang mendapatkan hadiah kue kering seperti ini.

Ia dapat membayangkan Emma yang tidak pernah membuat kue sebelumnya berusaha keras belajar membuat kue ini sambil berlumuran tepung dan mengenakan sarung tangan memaggang. Ah.. pasti imut sekali.

Tanpa sadar, kepala Haoran diliputi oleh pikiran tentang masa depan mereka bersama dalam beberapa tahun di mana mereka menjalani kehidupan rumah tangga bersama. Ketika saatnya tiba, dia akan menikahi gadis ini, dan mereka bisa hidup bahagia, melakukan hal-hal seperti keluarga normal... keluarga yang saat ini tidak mereka miliki.

Emma akan membuat kue untuknya dan anak-anak mereka sambil menyenandungkan lagu-lagu favoritnya. Haoran sendiri akan menggendong bayi mereka dan bermain dengan anak mereka yang lebih tua, sambil menunggu sang ibu mengeluarkan kue dari oven.

Sesekali, dia dan anak-anak mereka akan mengganggu Emma dengan keisengan mereka dan mencuri adonan manis untuk dimakan karena tidak sabar menunggu kue selesai dipanggang.

Pikiran ini membuat Haoran tersenyum begitu lebar hingga wajahnya terasa sakit.

Hari ini ada dua bab yaaa... saya publish satu bab lagi sore/malam :)

Missrealitybitescreators' thoughts