Emma merasa sangat senang berada di tengah laut. Ia merasa seolah memperoleh kebebasan untuk melakukan apa pun tanpa harus kuatir dilihat orang lain. Ia bisa dengan tenang melayang terbang bersama Haoran seperti ini.
Pemandangan di langit malam kali ini tampak benar-benar indah. Ratusan milyar bintang di angkasa tampak begitu cantik menghiasi langit.
"Bagaimana dengan kekuatanmu?" tanya Haoran setelah Emma melepaskan rangkulannya dan kini mereka berdua melayang sambil berpegangan tangan. Ia dapat merasakan aliran udara hangat di bawah kakinya dan membuatnya tetap melayang. "Apakah kau sudah sering menggunakan kekuatanmu?"
Emma menggeleng. "Tidak. Sayang, aku tidak bisa sering mencobanya, aku takut dilihat orang. Seandainya aku bisa sering menggunakannya, pasti akan menyenangkan. Aku suka terbang seperti ini."
Haoran tersenyum mendengar kata-kata Emma. Tentu saja. Ia sendiri masih merasa takjub bisa melayang di udara seperti ini bersama Emma.
"Kau mau sering-sering ke laut agar kau bisa menggunakan kekuatanmu?" tanya Haoran lagi.
Emma mengangguk dan tersenyum lebar. "Aku mau."
"Baiklah. Kita bisa melaut setiap akhir pekan. Bagaimana?"
"Aku suka sekali..." Emma mencium bibir Haoran dengan gembira. Pemuda itu tampak berseri-seri. Rasanya Emma memang terbiasa mengambil inisiatif seperti ini. Ia ingat, ciuman pertama mereka di Paris dulu juga dimulai oleh Emma.
Kau mau mencoba kekuatanmu sekarang? Aku mau lihat kau bisa apa saja," kata Haoran. Emma mengangguk sambil tersenyum.
Tangan kirinya diangkat dan sesaat kemudian Haoran melihat cahaya berkilat di kejauhan diikuti bunyi petir.
Ahh.. rupanya Emma sedang memanggil petir. Pemuda itu tak henti-hentinya kagum melihat Emma.
"Apakah kau merasa lelah kalau menggunakan kekuatanmu?" tanya Haoran dengan penuh perhatian.
"Sedikit. Karena aku tidak menggunakan banyak energi. Kalau aku memanggil petir berkali-kali, aku pasti akan merasa lelah," kata Emma. "Aku mau coba melihat sampai di mana batas kekuatanku."
Ia lalu mengangkat tangannya lagi dan kali ini Haoran melihat kilat menyambar-nyambar tanpa henti. Selama Emma masih mengangkat tangannya, petir itu tidak juga berhenti.
Ia menghitung dalam hati...
sepuluh, dua belas, lima belas, dua puluh lima, tiga puluh, lima puluh...
"Ahh... aku lelah..." Tiba-tiba saja Emma menurunkan tangannya dan kilat pun berhenti menyambar. Pelan-pelan tubuh mereka melayang turun dan kembali hinggap di dek kapal. Emma terhuyung dan hampir jatuh kalau tidak cepat ditahan oleh Haoran.
Tadi Emma memanggil 75 petir tanpa henti, barulah tubuhnya menjadi lelah dan kehabisan tenaga. Haoran mengerti, Emma sengaja melakukannya untuk mengetahui batas kemampuannya. Kalau ia tidak tahu tingkat kekuatannya, maka gadis itu tidak akan dapat mengira-ngira sejauh mana ia dapat bertindak.
Sama seperti Kaoshin yang mengerahkan terlalu banyak kekuatannya untuk menghijaukan lembah Ibukun sehingga ia terluka, Emma pun akan terluka kalau ia tidak dapat mengeluarkan kekuatannya dalam porsi yang tidak berlebihan.
Arreya Stardust juga pernah kehilangan ingatannya untuk waktu yang lama karena ia mengerahkan kekuatan berlebihan saat mengontrol pikiran orang-orang Akkadia agar tidur saat ia dan Kaoshin melarikan diri.
"Tadi kau mengeluarkan 75 petir," kata Haoran sambil mendukung tubuh Emma dan membantunya duduk di dek pelan-pelan. "Berarti batasmu adalah 60... Agar kau tidak kelelahan atau terluka."
Emma mengangguk. "Bagus. Aku akan mengingatnya. Aku juga masih harus mengetahui batas kekuatanku yang lain."
"Kita bisa melakukannya nanti, sekarang sebaiknya kau beristirahat dulu. Kau bisa mencoba kekuatanmu setiap minggu saat kita melaut. Kurasa memang tepat sekali ayahku memberiku hadiah kapal ini," kata Haoran.
"Terima kasih, Haoran. Aku sangat suka berada di laut. Aku bisa menggunakan kekuatanku tanpa harus sembunyi-sembunyi."
"Aku senang mendengarnya," kata Haoran sambil tersenyum. Ia lalu menuangkan segelas wine lagi ke gelas untuk Emma. Ia tahu Emma sangat menyukai wine dan tentu rasa lelahnya akibat mengeluarkan tenaga berlebihan tadi membuatnya haus. "Kau mau mi..."
Kata-katanya terhenti ketika ia menoleh ke samping dan melihat Emma sudah memejamkan matanya. Gadis itu rupanya pingsan kelelahan.
Haoran meletakkan gelasnya dan menyentuh tangan Emma pelan-pelan.
"Emma... kau sudah tidur?" Ia menepuk tangan gadis itu lembut, berusaha memastikan ia memang tidur. Beberapa butir keringat terlihat menetesi pelipis gadis itu dan membuat Haoran menjadi kuatir. "Emma... kau jangan tidur di sini. Nanti kau masuk angin."
Dek itu terbuka dan sebentar lagi angin malam yang dingin akan bertiup cukup kencang. Ia tidak tega membiarkan Emma berbaring di sini.
Setelah ia menyadari bahwa Emma memang pingsan, Haoran menjadi benar-benar kuatir. Ia lalu mengangkat tubuh Emma dengan hati-hati lalu membawanya turun ke kabin. Dengan susah payah tangannya membuka pintu kabin sambil menggendong Emma.
Setelah pintu terbuka, ia mendorong pintu dengan kakinya lalu bergerak perlahan menuju tempat tidur. Pelan-pelan ia meletakkan Emma di atas tempat tidur dan mengatur posisinya agar nyaman.
Ia merasa tidak enak melihat Emma tidur dengan hanya mengenakan celana pendek dan atasan bikini, karena itu Haoran segera mengambil kantung belanjaan yang tadi sore diberikannya kepada Emma dan mengeluarkan sebuah kaus atasan berwarna biru terang dari dalamnya.
Dengan telaten ia lalu memakaikan kaus itu ke tubuh Emma dan kemudian kembali mengatur posisi tidur gadis itu agar menjadi lebih nyaman. Terakhir, ia menutupi tubuh Emma dengan selimut dan menyalakan AC.
Haoran lalu kembali ke dek dan meminum wine di gelas yang tadi dituangkannya untuk Emma. Ia dapat merasakan angin laut menghembus sepoi-sepoi dan mengusap wajahnya. Ia memejamkan mata dan menikmati perasaan damai yang melingkupi dirinya.
Selama beberapa saat, ia seolah merasa waktu benar-benar berhenti.