"Benarkah orang tuamu penampilannya seperti itu?" tanya Haoran keheranan saat melihat sketsa awal yang dibuat oleh Pak Neville, setelah Emma menjelaskan dengan detail bagaimana bentuk tubuh ibunya dan ayahnya.
Emma menyebutkan bahwa rambut ibunya berwarna platinum seperti dirinya, dan mata mereka juga sama-sama berwarna biru muda, seperti batu topaz.
Ia menyebutkan bahwa tubuh ayahnya tinggi besar dan memiliki rambut pendek berwarna perak dan sepasang mata unik yang masing-masing memiliki warna biru dan hijau. Dengan cepat tangan Pak Neville menorehkan pensil ke kanvas dan menarik garis demi garis untuk membuat setiap lekuk yang membentuk wajah kedua manusia yang demikian dirindukan oleh Emma itu.
"Apa kau tidak salah ingat?" tanya Haoran lagi. "Maksudku, terakhir kali kau melihat mereka... sudah berapa lama itu? Dua belas tahun yang lalu, kan? Atau malah lebih lama lagi?"
Emma menggeleng. "Aku tidak tahu bagaimana membuatmu mengerti, tetapi tadi malam tiba-tiba aku memimpikan mereka. Mereka terasa begitu dekat dan aku tidak akan melupakan wajah ayah dan ibuku lagi. Aku sudah merindukan mereka selama belasan tahun dan aku tidak akan salah."
Akhirnya pemuda itu mengangguk-angguk. Ia kembali menatap sketsa yang sudah dibuat oleh Pak Neville dan mengerutkan keningnya. Ia tahu Emma tidak mungkin berbohong kepadanya. Untuk apa? Toh, tidak ada alasan bagi gadis itu untuk berbohong tentang wajah orang tuanya.
Dari penjelasan Emma kepada Pak Neville yang membuatkan sketsa wajah kedua orang tuanya itu, Haoran dapat membayangkan bagaimana kira-kira penampilan fisik ayah dan ibu Emma.
Ia menduga bahwa ibu Emma memiliki penampilan yang sangat mirip dengan gadis itu. Mereka sama-sama memiliki rambut panjang terurai Indah berwarna platinum dan sepasang mata berwarna biru muda. Hal ini menunjukkan bahwa ciri fisik Emma adalah warisan genetik dari orang tuanya.
Sebelum ini, tadinya Haoran mengira Emma memiliki kelainan genetik yang membuat penampilannya terlihat berbeda dari manusia lain kebanyakan. Haoran sempat mengira Emma memiliki kadar melanin yang memang lebih rendah dari manusia rata-rata.
Namun kini ia dapat melihat bahwa penampilan Emma ini memang merupakan keturunan dari ibunya. Bila Emma dan ibunya memiliki penampilan yang demikian unik, Haoran dapat menerima hal ini secara sains, bahwa mungkin saja Emma dan ibunya memiliki kelainan genetik dari sisi keluarga ibunya.
Namun, saat Haoran melihat bahwa ternyata Ayah Emma juga penampilan yang unik, hati kecil Haoran mulai merasa tergelitik. Ia merasa sungguh suatu kebetulan bila dua orang yang memiliki penampilan berbeda seperti ayah dan ibu Emma bisa bertemu dan jatuh cinta lalu kemudian menikah.
"Apakah kau tahu orang tuamu berasal dari negara mana?" tanya Haoran kemudian.
Emma mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Yang jelas kami terakhir tinggal di daerah pedesaan di Prancis."
"Oh, begitu ya.." Haoran hanya dapat mengangguk-angguk. Idenya untuk membuat gambar wajah orang tua Emma adalah ide yang bagus. Dengan berbekalkan gambar itu, ia akan dapat membayar orang untuk melacak keberadaan ayah ibu Emma di seluruh dunia dengan menggunakan teknologi pengenalan wajah.
Pak Neville memang memiliki reputasi yang sangat terkenal sebagai ahli pelukis potret terbaik di Paris. Dalam waktu satu jam saja, Haoran dan Emma sudah menatap sketsa yang hampir jadi. Berdasarkan petunjuk Emma, kedua wajah rupawan itu kini telah menjelma menjadi seperti foto hitam putih yang hidup.
Bentuk mata, bentuk hidung, bentuk alis... semuanya begitu akurat tergambar. Bahkan walaupun sketsa itu masih berbentuk hitam putih dan belum ditambahi warna untuk membuatnya terlihat lebih nyata, orang sudah bisa melihat bagaimana penampilan dua orang misterius itu.
Kaoshin Stardust memiliki rambut pendek berwarna perak membingkai wajahnya yang sempurna. Pandangan matanya yang teduh dan dalam membuatnya terlihat seperti seorang pria yang dingin dan sulit didekati.
Wajahnya sangat tampan dengan sepasang mata yang masing-masing memiliki dua warna biru dan hijau. Arreya Stardust tampak seperti Emma dalam versi lebih dewasa. Tetapi bedanya adalah wanita itu memiliki sepasang mata yang bersinar-sinar bahagia, tidak seperti Emma yang terlihat sedih.
Saat Haoran melihat gambar dua orang ini, ia seolah melihat ilustrasi di buku novel tentang peri. Pemuda itu menyikut Emma pelan dan berbisik ke telinganya. "Kalian seperti bukan manusia. Kau dan kedua orang tuamu terlihat seperti peri..."
Peri? Emma mengerutkan keningnya. Ia tahu maksud Haoran. Pemuda itu hanya memakai kata peri dengan sembarangan. Tentu ia bermaksud mengatakan bahwa Emma terlihat berbeda dari manusia biasa.
Haoran tidak tahu bahwa Emma juga memiliki kekuatan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya.
Hal ini membuat gadis itu menjadi resah. Bahkan sekarang Haoran sudah bisa melihat hal itu. Di lubuk hatinya yang paling dalam, Emma merasa bahwa pemuda itu benar. Emma memang bukan manusia seperti Haoran. Lalu siapakah aku?
Mengapa ayah ibuku sengaja meninggalkanku di sini sendirian?
"Baiklah.. karena Pak Neville sudah berhasil membuat sketsanya, dan kau juga sudah menggambarkan detail lainnya, kita biarkan beliau bekerja dan kembali lagi ke sini besok," kata Haoran kemudian. "Sekarang kita berdua makan malam dulu."
Emma mengangguk.
"Sebentar..." Ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto sketsa buatan Pak Neville dan kemudian menyimpan ponselnya. "Aku hanya ingin melihat wajah ayah dan ibuku..."
"Tentu saja. Besok sore kita ke sini lagi dan mengambil lukisannya." Haoran mengangguk.
"Terima kasih," kata Emma kepada Haoran. Gadis itu lalu membungkuk sedikit kepada Pak Neville. "Merci beaucoup, Monsieur."
Pak Neville mengangguk dan tersenyum.
***
Setelah misi pertama selesai, membuat sketsa wajah orang tua Emma, kini saatnya Haoran mengajak Emma makan malam seperti rencana sebelumnya. Mereka naik taksi ke Menara Eiffel dan di sana Haoran segera membawa Emma ke restoran yang ada di tengah menara.
"Makan malam di sini sangat istimewa, karena kita bisa melihat seluruh penjuru kota Paris yang cantik," kata Haoran sambil tersenyum bangga.
Ia menambahkan, "Tadinya aku ingin memesan seluruh tempat ini... tetapi rasanya terlalu berlebihan untuk acara makan malam dua orang remaja. Jadi kita makan bersama orang lain saja ya... Nanti, beberapa tahun lagi, kalau kita kembali ke sini, aku akan memesan seluruh Menara Eiffel hanya untukmu."
Emma menatap Haoran dengan wajah tercengang. Ia tahu pemuda itu sangat kaya dan ia dapat melakukan apa saja yang ia sebutkan tadi. Memesan seluruh menara Eiffel untuk kencan mereka berdua? Tentu bukan hal besar.
Tetapi Haoran sengaja tidak melakukan hal itu, dan Emma justru merasa bersyukur. Ia tidak suka menarik perhatian.
Mereka duduk di salah satu meja yang terbaik dan seorang pelayan segera menghampiri keduanya dan menerima pesanan mereka.
"Uhm.. kami tidak minum minuman beralkohol, jadi wine-listnya tidak perlu," kata Haoran sambil menyurungkan kembali menu daftar minuman wine yang ditaruh pelayan di depannya.
Emma mengernyitkan keningnya melihat Haoran. Setahunya batas minum minuman beralkohol di Singapura dan di Prancis adalah 18 tahun. Tentu pemuda itu sudah bisa minum wine, kan? Umurnya dua tahun lebih tua dari Emma.
"Kau kan sudah 19 tahun. Sudah boleh minum," cetus gadis itu keheranan. "Kau bukan seperti David, Dinh, Eric, dan Alex yang harus memalsukan umur mereka untuk bisa membeli wine."
Haoran menatap Emma dengan pandangan geli. "Ssh... jangan keras-keras. Kau kan masih 17 tahun, masih belum bisa minum wine. Aku tidak mau minum sendirian. Nanti kalau aku kenapa-kenapa dan kau ingin mengambil kesempatan atas diriku, bagaimana aku bisa melepaskan diri?"
"Eh? Apa katamu? Kau pikir aku mau membuatmu mabuk dan mengambil kesempatan atas dirimu???" Emma memukul bahu pemuda itu. Haoran hanya tertawa-tawa melihat Emma yang terpancing emosi.
"Kenapa tidak? Aku kan tangkapan yang menggiurkan. Kalau kau menjebakku dan mengambil kesempatan atas diriku yang malang ini, kau akan memperoleh kekasih yang sangat kaya dan dapat mengabulkan apa saja keinginanmu... hahahaha." Pemuda itu tampak puas sekali tertawa-tawa melihat Emma menjadi kesal. "Heii.. hei... kenapa aku dipukuli? Aku kan hanya bicara fakta?"
"Ugh.. kau ini.."
"Sshh... aku hanya bercanda." Pemuda itu menangkap tangan kanan Emma yang tadi memukul bahunya dan memegangnya dengan kedua tangannya. Ia lalu tersenyum manis sekali. "Selamat ulang tahun, Stardust."