webnovel

Saatnya Telah Tiba

"Kalian sudah tahu mau kuliah ke mana?"

Itu adalah bahan pembicaraan di antara murid-murid kelas A setelah semester ganjil berlalu dan mereka harus mulai mempersiapkan diri untuk masuk universitas.

Emma yang merupakan juara kelas dan memperoleh fasilitas beasiswa dari pemerintah, bisa mengajukan lamaran untuk kuliah di mana saja yang ia mau. Pemerintah akan membiayainya untuk kuliah ke Amerika atau Eropa asalkan ia bisa mempertahankan nilai-nilainya.

"Kau tidak mau ke MIT atau Harvard?" tanya Nadya keheranan saat Emma menyebutkan bahwa ia akan kuliah engineering di NTU. "Kenapa masuk universitas lokal?"

Sebenarnya pertimbangan Emma adalah Haoran. Pemuda itu adalah sahabat terdekatnya dan ia tidak mau pindah ke luar negeri yang jauh untuk memulai hidup baru tanpa Haoran. Walaupun Haoran bisa kuliah di mana pun yang ia inginkan dengan kecerdasannya dan uang keluarganya, ia memilih untuk tetap di Singapura agar bisa tetap mengurusi bisnis keluarganya dan pelan-pelan mengambil alih dari ayahnya.

Kalau ia memilih kuliah di luar negeri, akan sulit baginya untuk mendapatkan posisinya di grup Lee Industries dengan cepat. Ia akan terpaksa menunda semua rencananya selama tiga hingga empat tahun.

"Benar... aku memilih kuliah di Singapura saja," kata Emma.

"Haoran juga?" tanya Nadya sambil menoleh ke arah Haoran. Pemuda itu hanya tersenyum dan tidak menjawab. Ia tidak akan membeberkan rencana pribadinya kepada semua orang.

"Haoran selalu mau terlihat misterius," komentar Nadya akhirnya. "Aku tahu kau pasti selalu ingin ikut kemana pun Emma pergi."

"Memang sejelas itu ya?" tanya Haoran sambil tertawa kecil, tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Nadya.

Sementara itu di sudut kelas, Bianca dan Sandra serta Maura sedang membahas tentang rencana kuliah mereka masing-masing.

"Aku ingin menjadi pengacara. Ayahku menyuruhku kuliah ke Inggris, tetapi aku bersikeras mau kuliah di Singapura agar bisa tetap dekat dengan Allan."

"Kau akan mengorbankan masa depanmu untuk Allan?" tanya Sandra. "Kenapa tidak LDR saja?"

"Aku tidak mau," jawab Bianca. "Allan harus kuliah di Singapura karena kakak-kakaknya sudah pindah ke luar negeri. Ia harus tinggal dekat dengan orang tuanya. Aku pikir pendidikan di dalam negeri juga bagus kok. Buktinya Emma saja memutuskan untuk kuliah di sini."

"Aku tidak mengerti dengan Emma. Kenapa dia tidak sekolah ke kampus internasional yang jauh lebih punya nama?" tanya Maura keheranan. "Aku yakin akan mudah baginya masuk Harvard atau Oxford."

"Mungkin dia juga seperti Bianca? Dia mau dekat dengan Haoran?" tanya Sandra. "Bisa saja kan."

Terdengar suara Bianca mendecak sambil mengerling ke arah Haoran yang sedang membuat keributan dengan David.

"Tolong jangan bandingkan kami ya... Aku dan Allan tidak sama seperti mereka. Aku kuliah di dalam negeri karena aku dan Allan punya hubungan yang istimewa. Lagipula Allan punya masa depan cerah sebagai calon dokter. Kalau menurutku, Haoran hanya memanfaatkan Emma. Oke, dia bisa meningkatkan nilainya dan masuk kelas A, tapi itu saja tidak cukup. Ia juga harus bisa masuk universitas yang bagus dan memperoleh karier yang baik. Kalau tidak, selamanya ia hanya akan menyusahkan Emma," kata Bianca sambil menggeleng-geleng.

***

"Selamat siang, Tuan Muda!" petugas penerima tamu membungkuk hormat saat melihat Haoran masuk bersama seorang gadis muda yang sangat cantik. Keduanya memakai seragam sekolah yang sama, sehingga ia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah teman satu sekolah anak bos besar mereka.

"Selamat siang,"balas Haoran sambil mengangguk ringan. Ia memegang tangan Emma dan membawanya berjalan menuju lift. Dengan kartu akses di tangan, ia memencet tombol ke lantai tertinggi di gedung kantor pusat Lee Industries. Begitu pintu menutup, mereka segera menghilang dari pandangan.

Petugas lobi hanya memandang sosok keduanya menghilang di balik lift dengan wajah kagum. Sejak Haoran mulai magang di kantor ayahnya tujuh bulan yang lalu, ia telah meninggalkan kesan baik di antara semua karyawan yang pernah bertemu atau berinteraksi dengannya.

Sikapnya selalu ramah dan membumi dan mereka sangat menyukainya. Kini, kedatangannya membawa seorang gadis yang sangat cantik dengan seragam sekolah yang sama, membuat mereka menduga-duga bahwa Haoran membawa kekasihnya ke kantor. Mereka kagum karena gadis itu luar biasa cantik dan memiliki penampilan yang tidak biasa.

"Selamat siang, Suzette," sapa Haoran sambil tersenyum lebar kepada sekretaris ayahnya yang duduk di dalam ruangannya sendiri sambil menikmati es kopi. Ruangan sang sekretaris tampak apik dengan dinding serba kaca dan jendela besar yang dihiasi beberapa pot berisi tanaman hijau.

"Hei... selamat siang, Tuan Muda." Suzette mengangkat cangkir kopinya dan balas tersenyum. Haoran melambai dan meneruskan perjalanannya. Ia mengajak Emma masuk ke ruangan paling ujung dan membuka pintunya.

"Selamat datang di ruanganku," kata Haoran sambil mempersilakan Emma duduk. Gadis itu memilih duduk di sebuah sofa mungil yang empuk dan melihat ke sekeliling ruangan.

"Ini ruanganmu?" tanya Emma keheranan. Ia tahu Haoran sudah magang tujuh bulan di kantor ayahnya, tetapi ia tidak mengira pemuda itu memiliki ruangannya sendiri. "Aku pikir kau duduk bersama para staf lain di kubikel atau semacamnya."

Haoran tertawa dan menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku mendapatkan privasiku dengan memperoleh ruangan sendiri. Silakan duduk dan melakukan apa saja. Ayahku masih ada rapat di luar. Kita akan bertemu dengannya satu jam lagi. Ada minuman dan kue di kulkas. Anggap seperti rumah sendiri, ya."

"Hmm.. baiklah." Emma mengangguk. Ia mengeluarkan laptopnya dan mulai mengutak-atik beberapa program yang sedang dibuatnya, sementara Haoran duduk di kursinya dan mempelajari beberapa dokumen.

Keduanya lalu segera terbenam dalam kesibukan masing-masing.

TOK

TOK

"Masuk," kata Haoran, mempersilakan pengetuk pintunya untuk masuk, tanpa mengangkat wajah dari dokumennya.

"Tuan Muda, Tuan Lee sudah tiba di ruangannya. Anda diminta segera ke sana." Suzette membuka pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Haoran.

"Hmm.. baiklah, kami segera ke sana." Haoran mengangguk dan bangkit dari kursinya. Ia lalu menatap Emma dengan pandangan penuh semangat. "Saatnya telah tiba."