Mereka menyalakan kembang api bergantian hingga semuanya menyala dan meledak di angkasa. Selama lima belas menit mereka menikmati pemandangan percikan api berwarna-warni yang indah di langit malam. Perasaan mereka semua begitu ringan dan gembira.
Untuk pertama kalinya Emma merasa begitu lepas dan penuh sukacita. Bahkan untuk sesaat ia seolah dapat melupakan kerinduannya kepada ayah dan ibunya. Ia menatap terus ke langit yang seperti tanpa henti dihiasi kembang api berbagai warna dan pola.
Haoran mendekati Emma yang sedang terkesima menatap ke atas dan pelan-pelan menggenggam tangannya, sambil mengarahkan pandangannya ke langit malam. Emma terkejut saat merasakan tangan Haoran menyentuh dan kemudian menggengam tangannya. Ia menoleh ke samping dan merasa terpesona saat melihat Haoran menatap ke langit dengan pandangan khusuk.
Emma lalu kembali mengarahkan pandangannya ke langit dan menatap langit bersama-sama. Entah kenapa, saat itu ia merasa begitu damai.
Setelah kembang api habis, para remaja itu memutuskan untuk menyalakan api unggun dan membakar jagung lalu mengemil sambil mengobrol. Mereka membahas apa saja, mulai dari pelajaran, cita-cita mereka nanti setelah kuliah dan bekerja, lalu tentang kisah-kisah masa kecil mereka yang konyol.
"Setelah ini, kita bisa masuk ke dalam dan mencoba Moon Bounce," kata Haoran. "Sebenarnya kita belum boleh mengudara karena kita belum memiliki lisensi, tetapi nanti aku akan beralasan bahwa kita tidak sengaja mencoba alat kita, seharusnya tidak apa-apa."
"Oh, ya? Siapa yang akan ikut ujian untuk mendapatkan lisensinya?" tanya Emma.
"Aku saja yang ikut ujian," kata Haoran. "Aku punya banyak waktu luang untuk belajar dan mengurusnya."
"Ah... baiklah kalau begitu."
Haoran menaruh peralatan utk Moon Bounce di kamarnya. Pukul 10 malam, setelah puas bersenang-senang di luar, dengan gembira mereka semua berkumpul di sana untuk mencoba memantulkan pesan ke bulan.
"Semuanya sudah disetting oleh teknisi dan kita hanya perlu menggunakan saja," kata Haoran. Ia mengambil kursi dan duduk di depan komputernya, sementara teman-temannya mengerubungi dengan antusias.
Emma merasa agak tegang. Entah kenapa ia merasa ini adalah momen bersejarah. Ia dan Haoran akan mulai secara aktif melakukan Moon Bounce ke bulan setelah mereka memperoleh lisensi radio mereka dan semoga... semoga AWA akan dapat menangkap pesannya dan mengenali Emma.
Gadis itu berjalan ke arah balkon saat Haoran mulai mengirim sinyal yang pertama. Tanpa sadar pandangan Emma terfokus pada bulan yang muncul di horizon bagian timur. Malam ini bulan terbit dalam bentuk sabit dan hanya terlihat sebanyak 26 persen. Langit malam tampak lebih gelap dari biasanya dan bintang-bintang terlihat sangat ramai menghiasi angkasa.
Di manakah Akkadia itu? Seberapa jauhkah letaknya dari sini? Kalau Emma bisa menjangkau AWA di bulan, apakah ia akan dapat mencari Akkadia? Apakah ia akan menemukan orang tuanya di sana?
Ia ingin sekali mengetahui jawabannya dari AWA.
"Wow!!! Berhasil!" Jerit Alex tiba-tiba, mengagetkan Emma yang sedang menatap bulan dengan khimad. Gadis itu segera menoleh dan menghampiri mereka.
"Kalian berhasil mendengar pantualannya?" tanya Emma kagum.
"Benar! Perlu waktu kurang dari 3 detik untuk mendengar sinyalnya kembali... Ini seru sekali!!" kata Alex dengan antusias. Ia menepuk bahu Haoran."Ayo coba kirim lagi."
Haoran tersenyum dan kembali mengirim sinyal ke bulan, dan 2,5 detik kemudian mereka bisa mendengar pantulannya di alat mereka.
"Aku sengaja membeli alat yang mahal agar tangkapan sinyalnya sangat kuat. Dengan alat biasa, kita hanya dapat mengirim sinyal dan tidak bisa mendengarkan pantulannya. Biasanya stasiun radio lain yang lebih kuat yang bisa mendengarnya..." kata Haoran bangga. "Aku tidak salah pilih."
"Coba kirim lagi..." kata Dinh yang juga sangat bersemangat.
Haoran mengikuti permintaannya dan kembali mengirim sinyal. Emma hanya terdiam di tempatnya melihat mereka dengan penuh semangat terus-menerus mengirim sinyal untuk dipantulkan oleh bulan.
Ahh... ternyata semuanya berjalan lancar, pikir gadis itu. Nanti ia dan Haoran tinggal memikirkan bagaimana mereka bisa mengirim sinyal secara teratur ke koordinat yang ditinggalkan Kaoshin, untuk menarik perhatian AWA.
Ah... semoga AWA masih ada di bulan dan bisa mendengarkan Emma.
Moon Bounce mulai banyak dilakukan manusia sejak setelah perang dunia 2 dan penggunaan radio menjadi marak. Sinyal radio dari bumi kemudian menjadi sepi setelah manusia menggunakan internet, sebab manusia tidak lagi menggunakan radio untuk berkomunikasi.
Tetapi, bila orang-orang mencoba Moon Bounce satu kali, mereka pasti akan ketagihan karena bisa merasakan sensasi yang sangat menyenangkan saat pesan yang mereka kirim ke bulan dapat dipantulkan kembali ke bumi.
Hal itulah yang sekarang terjadi pada Haoran dan teman-temannya. Begitu percobaan pertama berhasil, mereka bergantian mencoba mengirim sinyal dan selalu berteriak gembira saat mendengarkan pantulannya.
Tanpa terasa satu jam berlalu dan mereka telah mencoba Moon Bounce berkali-kali dengan gembira.
"Astaga, Haoran.. ini seru sekali. Kita harus sering mencobanya," kata Dinh setelah mereka memutuskan untuk mengakhiri kegiatan mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Haoran mengangguk. "Tentu saja, nanti setelah aku memperoleh lisensi kita dan call sign, kita akan mencoba lagi. Sekarang kita sudahi saja dulu. Yang kita lakukan ini sebenarnya melanggar aturan."
Haoran tidak sabar ingin mencoba Moon Bounce karena malam ini adalah momen tepat untuk menunjukkan teleskop dan perangkat EME-nya kepada Emma. Ia tidak keberatan membayar denda atau sanksi bila dengan melakukan ini. Uang ayahnya bisa membayar itu semua.
"Emma, kau mau mencoba teleskopnya? Aku mencatat akan ada hujan meteor malam ini, mulai jam 2 pagi..." kata Haoran sambil menghampiri Emma yang berdiri di balkonnya memandangi langit.
"Benarkah?" Emma melihat jam tangannya dan mendesah. "Tiga jam lagi."
"Kau bisa tidur dulu, nanti aku akan membangunkanmu," kata Haoran.
"Kau sendiri akan bergadang?" tanya Emma.
"Uhmm... anak-anak sudah membawa minuman ke atas," kata Haoran. Ia menunjuk pada David dan Eric yang muncul di pintu kamarnya dengan membawa bungkusan berisi berbagai minuman mereka dan baskom berisi es serta beberapa gelas. "Kami akan mengobrol sebentar sambil menunggu tengah malam. Nanti kalau mereka sudah mengantuk aku akan mengusir mereka ke kamar masing-masing dan kau bisa melihat hujan meteor bersamaku di sini."
"Ahh..." Emma menatap botol champagne, wiski, dan scotch yang mulai ditata rapi di meja dan akhirnya mengangguk. Ia ingat kata-kata Haoran tadi untuk berjanji tidak akan pernah minum sampai mabuk, karena Emma tidak boleh kehilangan kendali di depan orang lain.
"Kalau begitu aku beristirahat dulu. Aku akan pasang alarm jam 2 pagi untuk melihat hujan meteor bersamamu," kata Emma kemudian.
"Aku tidak akan tidur. Nanti kalau alarmmu tidak bunyi, aku yang akan membangunkanmu," kata Haoran.
Emma mengangguk dan berjalan keluar kamar Haoran menuju kamarnya sendiri. Saat melewati David ia memeluk pemuda itu dan menyelamatinya. "Selamat ulang tahun, David. Selamat malam."
"Terima kasih," David membalas pelukan Emma kemudian melepaskannya. Ia telah melihat mata Haoran menyipit seolah menegurnya karena telah berani memeluk Emma lama-lama.
"Selamat bersenang-senang!" Emma melambai kepada mereka semua lalu menghilang masuk ke kamarnya.
Setelah gadis itu pergi, kelima pemuda itu segera heboh membuka botol-botol minuman yang mereka sukai dan menikmatinya sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Mereka sebenarnya tidak keberatan kalau Emma bergabung minum alkohol bersama mereka, tetapi tidak sekarang. Bagaimanapun sekarang Emma masih 17 tahun, paling muda di antara mereka dan sebelumnya tidak pernah minum.
Mereka tidak dapat menduga tingkat toleransi alkohol gadis itu dan tidak ingin mencari masalah. Mungkin nanti kalau mereka semua sudah dewasa, akan lebih mudah dan nyaman mengadakan kegiatan bersenang-senang sambil minum seperti ini.
***