webnovel

Memandang Bintang (2)

Emma dan Haoran membuka kotak pembungkus teleskop tersebut dan bekerja sama untuk memasangnya. Emma membacakan petunjuk dari buku manual teleskop sementara Haoran memasang satu persatu sesuai arahan Emma.

Mereka tertawa-tawa dan membongkar kembali ketika Haoran salah memasang lensa.

"Ini lebih susah daripada memasang perabotan Ikea," komentar Haoran sambil duduk dan mengusap peluh di keningnya. Batang teleskop itu cukup besar dan terlihat sangat mahal. Emma hanya bisa bertanya-tanya sendiri berapa harganya.

"Memangnya kau pernah memasang perabotan Ikea?" tanya Emma keheranan. Ia tahu di rumah mewah ini tidak ada satu pun perabotan yang murah dan harus dipasang sendiri seperti Ikea.

Haoran tertawa dan menggeleng. "Tidak, sih. Tapi aku membayangkannya seperti itu. Banyak orang bilang, ujian suatu hubungan cinta adalah ketika pasangan kekasih bekerja sama merakit perabotan Ikea. Kalau mereka sama-sama sabar dan dapat bekerja sama dengan baik, maka hubungan mereka akan langgeng. Kalau mereka tidak sabaran, egois, dan tidak bisa diajak bekerja sama dan berkomunikasi, maka perabotannya akan rusak, gagal dipasang, atau mereka akan menyerah. Itu melambangkan hubungan di antara keduanya..."

Emma menatap Haoran dengan pandangan geli. Pemuda ini tampaknya memiliki EQ sangat tinggi. Setiap tindakannya penuh perhitungan, kata-katanya juga terdengar bijak, dan ia selalu dapat menemukan kata-kata yang tepat dalam hampir semua situasi.

"Kau sok tahu," akhirnya gadis itu hanya bisa menggeleng-geleng. "Bicara tentang pasangan kekasih padahal kau belum pernah punya."

"Eh.. kenapa kau bisa berkata begitu?" tanya Haoran. "Aku pernah punya kekasih. Kami dulu satu SMP. Dia pergi keluar negeri tiga tahun lalu."

Emma tertegun mendengar kata-kata pemuda itu. Ia mengira Haoran bercanda, tetapi melihat ekspresi Haoran yang serius, gadis itu menjadi penasaran dan tergoda untuk membaca pikiran Haoran.

Wajahnya seketika berubah pucat. Gadis itu bernama Lily, sangat cantik, sangat pintar dan merupakan bintang di sekolah. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas dan Lily terpaksa pindah ke Amerika mengikuti keluarga pamannya yang sudah bermukim di sana.

Tanpa Lily dan ditambah dengan dendam kepada ayahnya yang telah memisahkan Haoran dari ibunya, membuat Haoran ingin merusak hidupnya dan sengaja menggagalkan semua ujiannya di sekolah, sehingga ia tinggal kelas selama dua tahun.

Hati Emma sedikit terluka, karena ia merasa dirinya istimewa bagi Haoran, dan merupakan gadis pertama yang disukai dan diciumnya. Ternyata ia salah.

TOK TOK

Haoran menyadari perubahan ekspresi Emma dan hendak angkat suara menanyakan apa yang membuat gadis itu tampak pucat, tetapi sebelum sempat ia bicara, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di depan kamarnya tampak Dinh, Alex, dan David sambil membawa ransel masing-masing dan kantong berisi minuman dan kembang api.

"Heiii... kalian sudah sampai," tegur Haoran. Ia mempersilakan mereka masuk ke kamarnya yang demikian luas. "Eric mana?"

"Sebentar lagi sampai," kata Alex menjelaskan. "Dia mengantar adiknya dulu."

"Oh, begitu."

Alex berjalan ke teras balkon dan menghampiri Emma yang sibuk merapikan buku manual dan kotak teleskop. Pemuda itu mengamati teleskop dan Emma bergantian. "Kalian sedang apa?"

"Haoran membeli teleskop," kata Emma. "Kami sedang memasangnya agar malam ini kita bisa sekalian melihat bulan."

"Wahhh.. seru sekali!" kata Alex. Ia mengamat-amati teleskop itu dan mencoba menggunakannya. "Ini harus tunggu malam ya, biar bisa dipakai?"

"Ya iyalah..." cetus Emma sambil tertawa.

Ia meninggalkan Alex dan berjalan membawa kotak teleskop di tangannya lalu menghampiri Haoran. "Ini mau dibuang atau disimpan? Kalau disimpan, mau taruh di mana?"

Haoran mengulurkan tangannya dan mengambil kotak itu dari Emma. "Biar aku saja. Nanti aku simpan di gudang."

Setelah mengobrol sebentar, mereka lalu mengeluarkan buku masing-masing dan mulai belajar les pada Emma. Gadis itu hanya perlu melihat bahan sedikit dan dengan mudah menerangkan materi yang masih belum mereka mengerti.

Setengah jam kemudian Eric tiba. Ia meminta maaf karena datang terlambat dan segera bergabung dengan teman-temannya untuk belajar. Selama 90 menit mereka berlima tampak serius dengan pelajaran mereka, tetapi saat jam menunjukkan pukul 5 sore, pelan-pelan wajah mereka tampak mulai bosan dan Dinh bahkan berkali-kali menguap.

Emma tahu pikiran mereka sudah teralihkan pada bau masakan dari bawah yang tercium begitu lezat di hidung mereka. Apalagi David yang memang hari ini berulang tahun. Ia ingin buru-buru merayakan ulang tahunnya dan bersenang-senang.

"Uhmm.. sebenarnya kita masih punya waktu setengah jam lagi, tetapi kulihat kalian sudah tidak konsentrasi," komentar Emma. "Kalau begitu kita sudahi saja, ya..."

Begitu ia selesai bicara, serentak para pemuda itu melempar buku mereka dan mendesah lega. Emma hanya geleng-geleng kepala melihat mereka.

"Heiii... kita sebentar lagi merayakan ulang tahun David!" seru Haoran. "Bibi di bawah juga sudah menyiapkan banyak makanan. Tapi sebelum kita bersenang-senang, aku akan menunjukkan kepada kalian kamar kalian masing-masing. Jadi nanti aku tidak perlu bingung.."

Haoran bertepuk tangan dan memberi tanda kepada teman-temannya untuk mengikutinya.

"Ahh.. kita kan bisa berdempet-dempetan di kamarmu seperti biasa," kata David sambil mengangkat bahu. Alex segera menyikutnya dan mengerling pada Emma.

Barulah David mengangguk paham. Tentu saja, walaupun Emma adalah teman mereka, mereka tidak akan seenaknya memperlakukan dia seperti lelaki dan menyuruhnya tidur bersama mereka. Lagipula... malam ini mereka akan minum-minum. Jangan sampai terjadi hal-hal yang akan mereka sesali kalau ada di antara mereka yang mabuk.

"Aku tidak mau kau mengambil keuntungan dari kami para pria lemah ini," bisik Haoran ke telinga Emma saat mereka berjalan keluar kamarnya.

Emma memukul bahu pemuda itu saat mendengar kata-katanya dan Haoran pun tertawa.

"Aku sungguh-sungguh. Kalau nanti kau mau mengambil kesempatan dari kami, kami bisa apa? Tak ada yang akan bisa menghadapimu kalau kau menggunakan kekuatanmu." Haoran tak henti-hentinya tertawa melihat Emma merengut. Ia tersenyum lebar dan menyentuh tangan gadis itu. "Aku hanya bercanda, Emma. Jangan terlalu sering mengerutkan keningmu."

Selera humor Emma pada dasarnya tidak tinggi, ditambah hari ini ia baru mengetahui bahwa Haoran sebelumnya sudah pernah memiliki kekasih. Ada sedikit rasa cemburu di dadanya saat ia mengingat-ingat tentang Lily yang tadi dipikirkan oleh Haoran.

Apakah Haoran dan gadis itu sampai sekarang masih berkomunikasi? Apakah mereka masih saling menyukai dan menjalin hubungan?

Lalu, mengapa Haoran mengatakan kepada Emma bahwa ia menyukainya dan melakukan begitu banyak hal untuk membantu Emma mencari jejak orang tuanya? Dan mengapa Haoran menciumnya kalau ia masih memikirkan gadis lain?

Ahh.. ralat. Emma baru ingat bahwa sebenarnya dirinyalah yang waktu itu mencium Haoran duluan. Pria itu hanya membalas ciumannya.

Memikirkan itu kini membuat Emma merasa malu. Apakah ia salah dan telah bertindak terlalu jauh? Ia bahkan tidak tahu apa status hubungannya dengan Haoran sekarang.

Apakah mereka sekarang merupakan pasangan kekasih? Kenapa ia tidak tahu?

"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Haoran keheranan. Ia memperhatikan Emma sedari tadi mengerutkan kening dan seperti memikirkan hal penting. Ekspresi gadis itu membuatnya tertarik. "Ada yang bisa kubantu?"

Emma menggeleng. Ia ingin tahu bagaimana perasaan Haoran yang sesungguhnya kepadanya, tetapi ia tak mau membaca pikiran Haoran lagi. Selain karena ia merasa tidak enak telah menginvasi privasi pemuda itu, ia juga takut mendapatkan jawaban yang tidak disukainya. Bagaimana kalau Haoran masih menyukai Lily?

Atau, lebih parah... bagaimana kalau Haoran hanya menjadikannya sebagai pengganti Lily karena Emma dalam berbagai hal mengingatkannya akan gadis itu. Emma sama-sama cantik dan sangat pintar. Dalam hal ini sepertinya Haoran memiliki tipe yang spesifik.

"Hmm.. kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kuharap kau mau berbagi kepadaku," kata Haoran akhirnya. Ia tak mau mendesak Emma.