Emma memukul bahu pemuda itu hingga ia mengaduh kesakitan.
"Dasar mesum! Aku tahu anak-anak kelas F adalah siswa paling bodoh di kampus ini. Aku perlu bantuanmu mencari tahu siapa di antara teman-temanmu yang bodoh itu yang cukup kaya dan mau membayar guru les pribadi yang bisa membantu mereka mengerjakan PR dan mendapat nilai ujian yang bagus." Emma mendelik sambil memberi tahu Haoran rencananya untuk mengumpulkan uang. Ia tiba-tiba saja mendapat ide untuk meminta bantuan Haoran begitu ia menyadari pemuda itu berasal dari kelas F.
Tentu tidak semua murid di kelas itu senang dimasukkan ke kelas bodoh. Di antara mereka pasti ada beberapa yang cukup mampu untuk membayar guru les pribadi dengan harga mahal. Emma hanya perlu mendapatkan sepuluh murid les dan ia akan dapat membayar biaya karyawisata ke Paris.
"Oh..." Haoran menatap Emma dengan penuh perhatian. "Kenapa kau memerlukan uang sebanyak itu?"
"Aku mau ke Paris," jawab gadis itu singkat. Haoran tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengerti apa yang dimaksud Emma.
"Karyawisata anak-anak kaya itu?" tanyanya lagi. "Kau mau apa ke Paris?"
"Kau mau membantuku atau tidak?" Emma mulai sewot.
"Eh.. baiklah. Bisa diatur. Aku akan membantu mencarikan murid untukmu." Haoran mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Emma. "Aku perlu email dan nomor teleponmu."
Emma memasukkan kontaknya ke ponsel Haoran dan menelepon ke ponselnya sendiri. "Tolong secepatnya tanyakan kepada teman-temanmu. Aku perlu uangnya segera."
"Baiklah." Haoran mengacungkan ponselnya dan tersenyum lebar. "Aku ini orang yang sangat efisien. Sore ini juga kau akan mendapatkan murid les."
"Terima kasih." Emma mengangguk lalu berbalik kembali ke kelasnya meninggalkan Haoran yang cengar-cengir memandangi ponselnya seolah ia baru memenangkan lotre.
Emma bergegas kembali ke kelasnya. Ia ingin menanyakan detail karyawisata tersebut kepada Nadia.
Ketika Emma melewati gerombolan siswa kelas F menuju ke kelasnya, mereka kembali menyorakinya. Gadis itu hanya tersenyum sedikit ke arah mereka, tidak mengacuhkan sorakan murid-murid itu. Ia berjalan tenang menuju ke kelas paling ujung.
"Nadya, aku perlu informasi tentang karyawisata ini. Kepada siapa aku harus mendaftar dan apa saja syaratnya selain uang." Ia segera menghampiri Nadya yang sedang mengerjakan sesuatu di bukunya.
Gadis berkaca mata itu mengerutkan keningnya keheranan. Tadinya ia mengira Emma tidak tertarik setelah mendengar biayanya. Ternyata kini sepertinya gadis itu berubah pikiran.
"Baiklah. Kau bisa mendaftar kepada guru Bahasa Prancis kita, Bu Delaval. Kita ada pelajaran Bahasa Prancis dua hari lagi."
"Apakah uang pendaftaran harus langsung dilunasi?"
"Tidak, masih ada waktu sebulan sebelum pelunasan. Yang penting kau mendaftar dulu dan membayar uang muka."
"Hmm..." Emma mengangguk. Ia kembali duduk di bangkunya dan berpikir. Ia harus mencari alternatif lain kalau seandainya ia tidak dapat memperoleh cukup uang dari mengajar les.
BEEP
Ponselnya bergetar dan Emma melihat ada SMS masuk dari nomor tak dikenal. Ah, ia baru ingat tadi ia memberikan nomornya kepada Haoran. Apakah pemuda itu sudah berhasil mendapatkan murid les untuknya? Cepat sekali.
Wahaha.. dia memang efisien, puji Emma dalam hati. Ia membaca SMS Haoran dan meneliti isinya.
[Ada lima siswa di kelas F yang berminat menjadi murid lesmu, tetapi mereka ingin melihat dulu bagaimana kualitas mengajarmu. Kau bisa membuktikan kemampuanmu dengan mengajar murid yang pertama. Namanya Max. Dia siswa paling bodoh di kelas F, sudah dua tahun tidak naik kelas. Orangnya bebal sekali. Alamatnya di Lotus Garden, Villa No. 8. Kau ditunggu di rumahnya jam 5 sore. Kalau kau berhasil mengajari dia, yang lain akan segera menyusul.]
Emma mengernyitkan keningnya membayangkan siswa bodoh yang akan menjadi murid pertamanya. Hmm... baiklah. Ia sendiri yang menawarkan jasa mengajari murid kelas F. Ia harus siap menghadapi murid seperti apa pun.
[Terima kasih.]
Ia membalas SMS Haoran lalu menyingkirkan ponselnya. Guru pelajaran Fisika sudah masuk ke dalam kelas.
***
Emma hanya punya waktu setengah jam setelah ia tiba di apartemen Oma Lin untuk berganti pakaian dan makan siang, setelah itu ia langsung berangkat ke arah Bukit Timah, tempat rumah Max berada.
"Nona bisa turun di halte ini dan berjalan 800 meter ke kompleks itu," kata supir bus sambil menghentikan busnya dan memberi tanda kepada Emma untuk turun. Tadi sebelum naik, gadis itu menanyakan arah kepadanya.
"Terima kasih." Emma turun dari bus dan melihat-lihat ke sekelilingnya. Ada papan petunjuk jalan yang memberitahunya arah menuju Lotus Garden. Dengan langkah penuh semangat ia segera berjalan menuju alamat yang diberikan Haoran.
Ugh... ini pasti lingkungan orang-orang sangat kaya, pikir Emma. Tidak ada bus yang lewat sini. Halte terdekat jaraknya hampir satu kilometer jauhnya. Ia tidak ingin menggunakan taksi karena ingin menghemat uang saku yang diberikan pemerintah untuknya, karena itu ia terpaksa berjalan kaki.
"Villa nomor 8..." Emma membaca kembali alamat di ponselnya dan melihat sekeliling. Ia sudah tiba di kompleks pemukiman yang sungguh mengintimidasi. Ada sekitar 20 rumah di sini.. ah, bukan, bukan rumah, melainkan mansion. Semuanya berukuran sangat besar dan megah.
Dalam hati ia merasa senang karena Haoran memang mencarikannya murid les yang kaya. Mereka pasti tidak keberatan membayar mahal kalau Emma bisa membantu nilai anaknya menjadi lebih baik.
"Villa nomor 8 letaknya di ujung jalan sini, kau tinggal berjalan terus," kata seorang satpam yang ramah ketika Emma menanyakan petunjuk arah.
"Terima kasih, Paman." Emma membungkuk sedikit lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan barusan.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, ia pun melihat sebuah rumah berwarna putih yang bisa dibilang ukurannya paling besar dan paling mewah dibandingkan rumah-rumah lain yang ada di sekitarnya. Gerbangnya tinggi sekali dan dari balik pagar ia dapat melihat berbagai pohon-pohon rindang yang menandakan halaman di dalamnya pasti sangat luas.
Emma memencet bel di pintu gerbang dan menunggu.
"Selamat datang. Nona Emma?" Seorang wanita separuh baya membuka pintu gerbang dengan senyuman ramah dan mempersilakan Emma masuk. "Tuan sudah menunggu."
"Terima kasih." Emma berjalan mengikuti pelayan wanita itu ke dalam. Mereka melintasi sebuah taman cantik dan kolam renang besar sebelum masuk lewat pintu samping ke dalam ruang duduk yang nyaman.
"Silakan duduk. Tuan segera turun."
Emma duduk di sofa kulit yang sangat nyaman dan terlihat mewah sambil mengamati sekelilingnya. Ini adalah rumah paling mewah yang pernah dilihatnya. Bahkan rumah-rumah orang kaya dan selebriti yang ada di majalah tidak dapat dibandingkan dengan rumah ini, pikirnya. Sayang sekali, anak dari keluarga yang begini kaya ternyata sangat bodoh, sampai tinggal kelas dua kali.
Ia mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya dan menunggu calon muridnya datang.
"Heiii.. Stardust! Kau datang tepat waktu..."
Emma menoleh keheranan ke arah asal suara menyebalkan yang familiar itu.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Emma kepada Haoran yang dilihatnya sedang berjalan menuruni tangga pualam dengan langkah-langkah ringan. "Di mana, Max?"
Pemuda itu menyeringai dan melipat tangannya di depan dada.
"Aku Max."
"Eh..? Apa maksudmu?" Emma menjadi kebingungan. "Namamu Haoran Lee."
"Namaku Haoran Maximillian Lee." Haoran tampak sangat puas melihat Emma menjadi bingung. "Orang tuaku sudah putus asa karena aku tidak pernah mau belajar sampai tinggal kelas dua kali. Tetapi kalau kau yang mengajariku, aku yakin motivasiku untuk belajar akan muncul."
Emma sama sekali tidak menduga semua ini. Haoran adalah Max? Dia siswa paling bodoh di kelas 2F? Ini tidak mungkin! Pemuda itu terlihat sangat cerdas. Emma saja kaget saat mengetahui Haoran berasal dari kelas 2F, apalagi kini mengetahui ia pernah dua kali tidak naik kelas.
Bagaimana bisa?
"Kau jangan bercanda, Haoran," gerutu Emma. "Aku tidak punya waktu untuk ini."
"Kau mau ke Paris atau tidak?" tanya Haoran sambil tersenyum jahil. "Aku bisa membayar uang les setahun di muka. Kau akan punya cukup uang untuk ke Paris dan berbelanja segala."
Emma mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu. Ia tiba-tiba merasa jerih. Haoran ternyata sekaya ini. Mengapa sikapnya sangat ramah? Seperti bukan orang kaya saja...
Ia menatap Haoran dengan pandangan bingung selama beberapa menit sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk menerima tawaran pekerjaan darinya.
"Baiklah..."