webnovel

Kisah Marie Antoinette

Untuk sesaat Emma dapat melupakan masalahnya ketika ia masuk ke dalam Istana Versailles yang demikian mewah. Ia tidak tahu bahwa manusia dapat hidup dalam gelimang kemewahan yang demikian memukau. Orang kaya dulu dan sekarang cukup berbeda, pikirnya. Banyak barang-barang yang dibuat dengan keindahan seni demikian mendetail.

Pemerintah sungguh bekerja keras melestarikan peninggalan raja-raja Prancis dari ratusan tahun yang lalu sehingga generasi di masa kini dapat mengetahui dan melihat langsung bagaimana bangsawan di masa lalu menjalani kehidupan mereka.

Pelbagai perabot emas dilapisi emas, permadani raksasa, tirai-tirai indah dan berkelas, sangat banyak lukisan, medali, pedang dan tongkat kebesaran, pakaian rumit dan indah... semuanya berhasil membuat para siswa SMA St. Catherine berdecak kagum. Mereka menghabiskan waktu dua jam di dalam dengan mendengarkan cerita Monsieur Thomas dan Madame Delaval tentang sejarah Prancis dan budayanya.

Dari istana, mereka kemudian melanjutkan kunjungan ke museum dan satu taman lagi sebelum akhirnya pulang kembali ke hotel untuk beristirahat. Di sepanjang perjalanan pulang, murid-murid sibuk membahas nasib Ratu Marie Antoinette dan suaminya Raja Louis XVI yang tragis.

Tidak terbayangkan oleh mereka, pasangan penguasa kerajan Prancis yang hidup bergelimang kemewahan itu berakhir dengan leher dipenggal oleh guillotine di muka umum.

Rakyat Prancis yang hidup menderita akhirnya merasa muak melihat keluarga raja dan para bangsawan hidup berfoya-foya sementara rakyat kelaparan dan pajak dinaikkan semakin mencekik leher. Mereka kemudian mengadakan revolusi yang mengusung semangat "Liberté, égalité, dan fraternité" yang berarti "Kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan".

1. Liberté memiliki arti kebebasan, yaitu orang orang dibebaskan dari kuasa monarki

2. Egalité memiliki arti persamaan, yaitu orang orang bisa mendapatkan keadilan

3. Fraternité memiliki arti persaudaraan, yaitu semua orang memiliki tingkat yang sederajat, tidak ada yang dibeda bedakan

Ratu Marie Antoinette dianggap sebagai penyebab pajak dinaikkan dan rakyat kelaparan untuk membiayai pesta-pesta mewah yang selalu ia selenggarakan dan rakyat sangat membencinya.

Marie Antoinette banyak mengadakan pesta karena ia kesepian dan tidak memiliki teman di Prancis sejak ia dikirim ke Paris sebagai pengantin politik dari Austria saat berusia 14 tahun. Ia dinikahkan dengan putra mahkota Prancis yang saat itu berusia 15 tahun sebagai tanda perdamaian antara Austria dan Prancis.

Saat revolusi Prancis terjadi pada Agustus 1792, Marie Antoinette dan suaminya berusaha melarikan diri dengan anak-anak mereka ke Austria, tetapi pelarian mereka gagal dan mereka pun dipenjara sambil menunggu pengadilan rakyat. Karena stress akibat dipisahkan dari anak-anaknya yang masih kecil, rambut Marie Antoinette berubah menjadi putih.

Setelah pengadilan memutuskan bahwa Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antointte bersalah, keduanya lalu dihukum mati dengan cara dipenggal dengan guilotine di waktu yang berbeda. Louis XVI pada bulan Januari 1793 dan Marie Antoinette pada sembilan bulan kemudian.

Semua yang mereka dengar tentang kehidupan pasangan itu membuat murid-murid St. Catherine merasa seolah mereka baru membaca sebuah novel yang demikian mengesankan dengan akhir yang tragis. Dengan melihat sendiri istana Versailles, seakan-akan novel itu menjadi hidup dan mampu menampilkan kisah Marie Antoinette dengan begitu dekat.

Emma sendiri memiliki pemikiran sedikit berbeda dari teman-teman sekolahnya yang asyik membicarakan keluarga raja Prancis. Ia menjadi teringat bahwa ayahnya sering memanggil ibunya dengan sebutan Tuan Putri.

Memang kalau dipikir-pikir sekarang, rasanya aneh mengingat ayahnya memanggil Arreya Stardust dengan panggilan Putri Arreya, dan ibunya memanggil Kaoshin Stardust dengan sebutan Jenderal Stardust. Bukankah mereka suami istri? Mengapa menggunakan panggilan yang terdengar demikian formal? pikirnya keheranan.

Apakah itu karena mereka sudah sangat terbiasa dengan panggilan itu? Emma berusaha mengira-ngira siapa orang tuanya sebenarnya.

Ibunya adalah seorang putri. Ayahnya adalah seorang jenderal. Mereka berasal dari planet lain yang jauh dari sini. Apakah ibunya seharusnya menikah dengan pangeran putra mahkota tetapi ia malah melarikan diri dengan sang jenderal?

Itukah sebabnya mereka kuatir sang pangeran putra mahkota tidak akan mengampuni nyawa Emma?

Ayah... ibu... apakah pangeran putra mahkota itu menyakiti kalian? Apakah kalian baik-baik saja? Di manakah kalian sekarang?

Emma membuang wajahnya ke arah jendela bus agar tidak ada yang melihat ekspresinya yang sangat murung. Ia ke Paris dengan misi untuk mencari orang tuanya. Pelan-pelan ia berhasil memperoleh petunjuk, tetapi semakin dekat ia pada kenyataan yang dicarinya, rasanya semakin berat dan menyedihkan informasi yang ia peroleh.

Mungkinkah ayah dan ibunya sudah kembali ke planet asal mereka dan meninggalkan Emma di sini agar ia tidak menjadi sasaran kemarahan penguasa Akkadia? Lalu bagaimana caranya Emma bisa menyusul mereka...?

Walaupun ia dapat terbang, Emma tak mungkin dapat mengejar mereka ke luar angkasa.

Pikiran itu sungguh membuatnya tertekan dan sedih.

"Stardust.. kita sudah tiba di hotel. Ayo, turun..." bisik Haoran ke telinganya, membuat Emma tergugah dari lamunannya.

Gadis itu mengangguk dan mengikuti pemuda itu turun dari bus.

"Jam berapa kita mau ke tempat Pak Neville?" tanya Emma saat mereka berada di lift. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.

"Sepertinya kau perlu beristirahat dulu. Wajahmu tampak lelah sekali. Kita bisa ke tempat Pak Neville setelah makan malam. Bagaimana kalau jam 8?" tanya Haoran.

Emma mengangguk penuh terima kasih. Ia memang membutuhkan waktu untuk sendiri. Pikiran tentang orang tuanya cukup memberati hatinya seharian ini.

"Sampai jumpa jam 8," kata Haoran saat Emma keluar dari lift.

Gadis itu mengangguk lagi dan melambai lalu berjalan menuju kamarnya. Emma berbaring selama satu jam tanpa bergerak di tempat tidurnya. Ia berusaha memaksa otaknya untuk berhenti berpikir agar ia dapat mengistirahatkan pikirannya, tetapi rasanya sangat sulit dilakukan.

Ketika ia hampir menyerah, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya, diikuti dengan suara petugas room service yang mengantarkan makan malam. Emma yang merasa keheranan karena merasa tidak memesan makan malam segera membuka pintu. Ia memang tadinya sempat terpikir untuk memesan makanan karena ia tidak punya keinginan untuk turun ke restoran dan makan bersama teman-teman sekolahnya.

"Aku tidak memesan makan malam," kata gadis itu dengan sopan kepada petugas layanan room service yang sedang mendorong troli makanan.

"Oui, Mademoiselle." Petugas itu mengangguk. "Ini dipesankan Tuan Lee dari Suite 1015 untuk Anda. Katanya Anda sedang tidak enak badan dan ingin makan di kamar."

Emma mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak menduga Haoran akan melakukan ini. Ia tahu pemuda itu sangat baik kepadanya, tetapi Emma tidak tahu Haoran bahkan bisa bersikap lebih baik lagi dari yang sudah-sudah.

"Uhm... tunggu sebentar," kata Emma. Ia masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselnya untuk menelepon Haoran. "Hei... Haoran, apakah kau mengirim makanan ke kamarku?"

Pemuda itu menjawab santai, "Benar. Aku tidak mau guru lesku mati kelaparan karena lupa makan akibat bersedih. Ingat, kau sudah dikontrak setahun ke depan. Jadi tidak boleh mati cepat."

Emma terdiam. Ia sungguh kehilangan kata-kata. Hatinya yang tadi dipenuhi kesedihan akibat memikirkan nasib orang tuanya, kini perlahan diisi kehangatan akibat kebaikan Haoran. Dunia memang adil, pikirnya.

Emma yang malang karena kehilangan orang tuanya, memperoleh teman yang demikian baik seperti Haoran. Ini tentu merupakan sebuah keberuntungan dalam hidupnya untuk mengganti penderitaannya ditinggal ayah dan ibunya.

"Uhm... kenapa kau diam saja? Kau tidak tersinggung kan? Aku sengaja memilih makanan yang pernah kau makan dan kau bilang enak," kata Haoran dengan nada hati-hati karena takut Emma menganggapnya lancang.

"Eh.. tidak apa-apa." Emma buru-buru menjawab. "Terima kasih..."

"Bon appetit!" Suara Haoran terdengar sangat lega.

Emma menutup teleponnya lalu menerima makanan dari petugas hotel dan mengucap terima kasih. Ia lalu makan dengan hati yang ringan, tidak lagi dipenuhi kesedihan. Setelah perutnya kenyang, ia memutuskan membaringkan tubuhnya lagi dan mengistirahatkan pikirannya.

Berhasil. Emma akhirnya dapat menjadi relaks dan tubuhnya tidak lagi menjadi tegang. Setelah menenangkan diri selama setengah jam Emma kemudian berganti pakaian tepat pukul 8 malam ia membuka pintu kamarnya hendak keluar.

Di muka pintu, ia melihat Haoran berdiri dengan tangan siap mengetuk.

.

.

[1] Oui, Mademoiselle = Ya, Nona (bahasa Prancis)

[2] Bon appetit = Selamat makan (bahasa Prancis)