Haoran dan Emma sama sekali tidak membicarakan tentang Allan Wu. Mereka membahas tentang ujian masing-masing dan peluang kelima cowok itu mendapatkan kesempatan untuk pindah kelas.
"Kalau kalian tidak sabar, besok aku akan meretas komputer sekolah dan mencari tahu nilai ujian kalian," kata Emma sambil tersenyum. "Aku bisa sekaligus mencoba kemampuanku meretas."
"Kau serius?" tanya Haoran.
"Aku tidak akan mengubah apa-apa. Aku hanya akan mencari tahu seperti apa nilai kalian. Pasti hasilnya sudah keluar. Tidak banyak siswa yang mengikuti kelas musim panas seperti kalian," kata Emma. "Lagipula aku sudah menyelidiki, sekolah kita tidak terlalu canggih pengamanan cybersecuritynya. Aku belum berani memasuki organisasi yang lebih besar."
"Boleh juga, sih..." kata Haoran akhirnya. "Aku deg-degan memikirkan apakah aku akan bisa sekelas denganmu atau tidak."
"Baiklah. Besok kukabari," kata Emma.
Mereka bersenang-senang di atas kapal sambil menunggu kedatangan Eric. Para remaja itu menikmati camilan dan minuman sambil mengobrol. Pukul 5 sore setelah Eric tiba dengan membawa makanan lebih banyak lagi, mereka lalu memutuskan untuk berlayar.
Pelayaran mereka kali ini terasa lebih meriah karena Dinh ternyata membawa gitar kecil dari rumah. Ia memainkan gitarnya dan teman-temannya menyanyi keras-keras lagu apa pun yang terpikirkan oleh mereka. Emma sangat banyak tersenyum saat itu.
Ketika malam menjadi larut dan mereka baru berhenti menyanyi dan tertawa-tawa. Emma menempati kabin seorang diri, sementara para teman lelakinya tidur bertumpukan di atas dek.
***
Mereka menghabiskan sepanjang hari Sabtu dengan berenang, makan dan minum hingga sakit perut dan mengobrol. Sore harinya barulah keenam remaja itu kembali ke darat dan pulang. Haoran sama sekali tidak memberi tahu teman-temannya bahwa Emma akan meretas sistem sekolah untuk mencari tahu nilai mereka. Ia akan memberikan kejutan kepada mereka.
"Jadi, bagaimana?" tanya Haoran lewat telepon setelah selesai makan malam.
Emma yang baru saja meletakkan pantatnya di tempat tidur dan membuka laptopnya segera memutar matanya.
"Aku baru mau mencoba masuk. Kau sabar sedikit, dong..." tegurnya.
"Aku sudah kepikiran dari tadi..." Haoran mengaku. "Aku sudah tidak sabar ingin tahu apakah kita akan sekelas atau tidak."
"Biar aku masuk dulu. Nanti kalau sudah dapat hasilnya, aku akan meneleponmu," kata Emma sambil mematikan panggilan.
Ia buru-buru membuka beberapa program di laptopnya dan bekerja untuk masuk ke sistem SMA St. Catherine. Dengan sangat berhati-hati ia menghapus jejaknya dan masuk diam-diam ke dalam sistem sekolah.
Setelah meneliti beberapa berkas, ia akhirnya menemukan daftar nilai yang dicarinya.
Ahh... Emma menatap layar laptopnya dan membelalakkan mata keheranan.
"Haoran, aku sudah menemukan total nilai dan ranking kalian di sekolah..." Emma mengangkat ponselnya dan menghubungi Haoran. "Kau tidak akan suka ini."
"Ehh.. ada apa? Apakah aku tidak berhasil??" Suara Haoran seketika terdengar panik. Ia sungguh tidak percaya bahwa ia gagal untuk memperbaiki nilai-nilainya untuk masuk ke kelas A.
Ujian akhir semester genap di level 2 kemarin, ia sudah berhasil masuk ranking 25 dari 180 siswa... dan ia juga telah memperbaiki nilai-nilainya dari semester ganjil sebelumnya dengan mengikuti kelas musim panas dan ujian lagi... Ia sungguh yakin dengan kemampuannya.
Pada dasarnya Haoran sangat pintar. Kalau ia berusaha keras, maka ia yakin dirinya akan berhasil mencapai apa pun yang ia inginkan... Maka kegagalan kali ini sungguh di luar dugaannya.
"Apakah aku perlu meminta bantuan ayahku untuk memaksa sekolah memindahkanku ke kelas A? Ahh.. itu akan memalukan..." Haoran berkonflik dengan dirinya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara tawa kecil dari ujung telepon. Pemuda itu segera mendelik.
"Kau tertawa... berarti tadi kau sedang menipuku," tukas Haoran. "Stardust.. ayo jujur kepadaku. Aku bisa masuk kelas A atau tidak? Kau mau bikin aku mati penasaran?"
Emma tidak lagi berusaha menahan tawanya. Ia kemudian tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha... ini balasannya karena kau dulu membuatku hampir kena sakit jantung dengan berpura-pura mendapat nilai ujian jelek," kata Emma dengan suara gembira. "Iya, tadi aku hanya mengerjaimu. Kau berhasil mendapatkan nilai-nilai yang sangat bagus dan di urutan peringkat siswa, kau masuk di ranking 29. Kau bisa pindah ke kelas A."
"Ohh... syukurlah." Haoran segera bernapas lega. "Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang lain?"
"Hanya David yang ikut pindah. Alex dan yang lainnya hanya masuk 50 dan 70 besar besar. Kemungkinan mereka akan pindah ke kelas B dan C," kata Emma. "Bagaimana kita akan menyampaikan ini kepada mereka?"
"Hmm.. setidaknya mereka sudah berusaha dan hanya bisa pindah ke kelas B dan C. Kurasa kami terlambat memulai." Haoran mengetuk-ketukkan jarinya dan berpikir. Sebenarnya ia juga tidak terlalu banyak berharap teman-temannya akan dapat pindah semua ke kelas A. "Kurasa mereka tidak apa-apa. Nanti kami bisa berusaha lagi untuk masuk universitas yang bagus."
"Baiklah. Kuharap mereka tidak akan sedih."
"Tidak. Kelas mana pun akan lebih baik daripada kelas F," kata Haoran.
"Ngomong-ngomong... selamat ya, Haoran. Kau berhasil," kata Emma akhirnya. "Kau memang pintar."
"Ahahaha.. terima kasih."
***
Awal September terjadi kehebohan di SMA St. Catherine ketika daftar kelas diumumkan dan dua murid pengacau dari kelas F berhasil pindah ke kelas A.
"Astaga.. bagaimana ini bisa terjadi.. aku sudah dua tahun berturut-turut masuk di kelas A... kenapa sekarang harus pindah ke kelas B?" Mary menangis tersedu-sedu saat menatap daftar siswa di papan pengumuman. Nadya yang berdiri di sampingnya tampak kebingungan dan tak tahu bagaimana harus menghibur sahabatnya.
"Apa mungkin anak kelas F memang bisa pindah ke kelas A?"
"Apakah terjadi sesuatu di sekolah? Jangan-jangan orang tua mereka menyuap guru? Setahuku ada enam murid kelas F yang ikut kelas musim panas untuk memperbaiki nilai mereka."
"Tapi bagaimana bisa mereka langsung pindah ke kelas A? Kalau pindahnya ke kelas D atau C masih bisa dimaklumi."
"Ahh.. pasti ada yang tidak beres di sini."
Kasak-kusuk segera terdengar di antara para siswa yang memperhatikan pengumuman nilai dan ranking siswa. Ada dua siswa kelas A yang terlempar dari ranking 30 besar dan terpaksa harus pindah ke kelas B, yaitu Mary dan Leonard. Sementara dua siswa kelas F yang terkenal sebagai pengacau tiba-tiba saja masuk di urutan 29 dan 30, sehingga bisa pindah ke kelas A.
"Ini kan aneh sekali.. bagaimana bisa ini terjadi?" tanya Sandra kepada Bianca yang baru tiba di kelas.
"Apa yang terjadi?" tanya gadis cantik itu.
"Ada murid kelas F yang bisa pindah ke kelas kita. Haoran dan David. Sepagian ini sekolah menjadi heboh karena mereka," kata Sandra.
Bianca mengerutkan keningnya dan menatap temannya keheranan. "Benarkah? Yah.. kita lihat saja nanti, mereka bisa bertahan atau tidak di kelas anak-anak pandai seperti kita ini."
"Yah.. kurasa mereka tidak akan bisa bertahan," kata Sandra mengiyakan. Ia menyipitkan matanya dan menunjuk jepit rambut cantik yang ada di kepala Bianca. "Jepit rambutnya bagus sekali. Kau beli di mana?"
Seketika wajah Bianca tampak menjadi cerah. Ia tersenyum lebar dan menyentuh jepitnya. "Hmm.. ini hadiah dari Allan untukku. Bagus kan? Dia memang punya selera bagus."
"Wahhh.. beruntung sekali!! Jadi.. apa ini artinya kalian sudah...?" Sandra menatap Bianca dengan penuh perhatian. "Bagaimana? Apa kalian sudah resmi pacaran sekarang?"
Bianca hanya tertawa kecil sambil menutup bibirnya dengan punggung tangan, tidak bersedia menjawab.