2 Chapter 02

DE MARTIN MANSION

Berlin, Jerman

09.35

Saat ini Purple sedang berdiri di dekat jendela kaca bermanjakan lalu lalang para pejalan kaki yang sedang memulai aktivitas. Di jam segini biasanya dia juga sudah berada di perusahaan ayah nya, De Martin Company. Akan tetapi, untuk saat ini Purple masih saja berada di Mansion.

Tidak ada yang menarik di bawah sana. Meskipun begitu tatapan manik hazel tetap mengunci ke arah yang sama. Entah apa yang Purple pikirkan, yang jelas pikirannya berpusat pada lelaki yang telah dengan lancangnya menodai hubungan pertunangan dengan tindakan rendahan yaitu perselingkuhan.

"Tak pernah aku sangka bahwa lelaki yang sangat aku percayai bisa meludahi kepercayaanku dengan pengkhianatan." Geramnya dengan kedua tangan mengepal erat membuat darah segar merembas melalui sela-sela jari akibat tertancap kuku sendiri.

Entah sudah berapa lama tenggelam ke dalam lamunan hingga tidak menyadari suara langkah kaki mendekat. Sentuhan lembut pada pundak sebelah kiri itulah yang membawa kesadarannya kembali.

Tersentak? Tentu saja!

Dengan segera menolehkan wajahnya berpadukan dengan seulas senyum yang terkesan dipaksakan ketika beradu tetap dengan Maria.

"Apa yang kau pikirkan? Sedari tadi Mom perhatikan kau terus saja melamun."

Bibir ranum tampak mengulas senyum tipis, sangat tipis hingga Maria saja tidak menyadari bahwa sang putri sedang tersenyum.

"Apakah kau teringat kembali dengan lelaki tidak tahu diri itu, hah?" Tanya Maria bernada sinis.

"Tidak." Singkat, padat, jelas, itulah satu kata yang meluncur dari bibir ranum.

"Jangan bohong!"

Purple merubah posisi dengan menghadap lurus pada Maria. "Dengarkan Purple, Mom. Purple, sama sekali tidak teringat apalagi memikirkan lelaki hina tersebut," ucapnya bersungut-sungut

Bibir mu bisa saja berkata bohong. Akan tetapi, Mom sangat mengenal mu dengan sangat baik. Sorot mata mu mengatakan hal berbeda bahwa kau masih saja memikirkan lelaki tersebut, Purple. Batin Maria geram.

"Kalau begitu apa yang sedang mengganggu pikiran mu? Kenapa kau tampak melamun?" Maria bertanya dengan suara yang sedikit meninggi.

Dan hal itulah yang membuat Purple tersentak. Satu hal yang dia yakini bahwa Maria tahu akan satu hal tentang perasaannya yang hingga saat ini masih saja memikirkan, Douglas.

Tidak suka bermandikan tatapan tajam mematikan yang menyilau dari manik Maria telah merubah posisi Purple dengan menatap lurus ke depan. "Bisakah Mom keluar? Untuk saat ini aku sedang ingin sendiri."

Hembusan nafas lelah tampak mengiringi deru nafas Maria, bersamaan dengan itu direngkuhnya pundak ramping, ditatapnya manik hazel dengan ketajaman penuh. "Dengarkan Mom, Purple. Kau satu-satunya pewaris tunggal dari seluruh kekayaan De Martin jadi, tidak seharusnya kau larut dalam kesedihan akan pengkhianatan, Douglas!"

"Cukup, Mom! Jangan pernah lagi membahas tentangnya apalagi menyebutkan namanya di depanku. Aku tidak sudi mendengarnya." Sinisnya berselimut tatapan penuh luka.

Seandainya saja mendiang Kakak-mu masih hidup, dia pasti akan menggantung hidup-hidup lelaki hina tersebut. Batin Maria.

"Please, Mom. Aku sedang ingin sendiri. Keluarlah!"

Tanpa dapat membantah lagi, akhirnya Maria memilih melenggang keluar kamar dengan membanting keras pintu dibelakangnya.

"Ada apa. Kenapa kau terlihat sangat marah?"

"Tidak ada yang membuatku marah selain sikap keras kepala Putrimu, Purple."

"Memangnya apa yang Putri-ku lakukan? Apakah dia masih mencoba menghubungi, Douglas?"

"Tidak."

"Terus apa?"

Ditatapnya Martin dengan ketajaman penuh. "Aku tidak suka Putri-ku terus menerus memikirkan lelaki hina tersebut!"

Martin tampak menghembus nafas berat yang dia buang secara perlahan. "Menurut ku hal itu sangat wajar. Purple, butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Melupakan hubungan pertunangan, terlebih diwarnai dengan perselingkuhan bukan hal mudah. Aku cukup mengerti bagaimana perasaan Purple saat ini. Bersabarlah, Putri kita membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkan luka di hatinya."

"Terus mau sampai kapan, hah?" Bentaknya tanpa sadar.

Diusapnya lengan istri tercinta dengan penuh kelembutan. "Bersabarlah."

"Kau tidak pernah mengerti bagaimana perasaan seorang Ibu. Kau selalu saja bilang sabar, sabar, sabar dan sabar." Bentaknya dengan suara meninggi hingga suara bentakannya terdengar memekak telinga.

Martin tampak mengusap kasar wajahnya. Dasar wanita. Ini salah, itu salah. Kau dan Purple ini tidak ada bedanya, sama-sama keras kepala. Makinya dalam hati.

Tidak mau semakin terseret ke dalam perbincangan yang akan meruncing pada perdebatan sengit. Dia pun segera beranjak dari duduknya. Seketika itu juga dihujani pertanyaan bernada sinis. "Mau ke mana kau?"

Yang ditanya tampak menolehkan wajahnya sekilas. "Ke kamar."

Tak berselang lama setelahnya, Martin kembali dengan kunci mobil di tangan. "Aku mau pergi sebentar." Mencium sekilas kening Maria.

"Mau ke mana?"

"Ketemu teman lama setelah itu langsung ke kantor."

"Siapa teman lama mu itu? Katakan!"

Langkah tegas terhenti, bersamaan dengan itu menolehkan wajahnya. "Apa harus segala sesuatunya aku katakan padamu, hah?"

"Tentu saja! Aku ini Istri-mu jangan kau lupakan itu." Bentak Maria.

"Jika kau memang tidak percaya padaku. Lebih baik ikut saja denganku. Ayo!" Mengulurkan sebelah tangan supaya segera disambut oleh istri tercinta. Sayangnya, istri nya tersebut tidak juga beranjak dari duduknya kecuali melemparinya dengan tatapan tajam mematikan.

Disuguhi akan sikap Maria telah membuat Martin geram. Meskipun begitu langkah kaki tetap mendekat ke arah istri tercinta. "Apakah kau tidak mau ikut denganku? Hari ini aku ada janji temu dengan, Mark."

"Ada urusan apa kau masih bertemu dengannya?"

"Jangan kau lupakan satu hal bahwa di antara cucu kesayangan kita - Clark De Martin - ada aku dan Mark. Sudahlah, lupakan akan kejadian yang lalu-lalu. Bagaimana pun juga kita sama-sama kehilangan. Kita kehilangan Putra, sedangkan mereka kehilangan seorang Putri."

Maria tampak melemparkan tatapan terluka. "Sangat mudah bagimu berbicara. Sedangkan kau tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang Putra kesayangan. Aku merasa sangat terpukul, sementara keluarga Mark terus menerus menyalahkanku bahkan selama bertahun-tahun lamanya."

Martin langsung membanting kunci mobil ke lantai. "Bukan hanya kau yang kehilangan dan terpukul. Aku juga merasakan hal yang sama. Carlos, Putra-ku! Putra kebangganku." Bentaknya sembari mengusap kasar wajahnya ketika dihadapkan pada kenangan mengerikan di masa lalu.

Tidak mau berdebat dengan Martin, dia langsung melenggang dari sana menuju kamarnya, tak lupa membanting pintunya dengan sangat keras sehingga menimbulkan suara dentuman.

Sementara itu, di lantai bawah Martin menggeram kesal disuguhi sikap istri tercinta yang menurutnya sangat keras kepala dan juga arogansi.

"Kau tak ada bedanya dengan Putri kita, Purple. Kalian berdua para wanita selalu semaunya sendiri, ribet, menyusahkan!" Geramnya.

Ingin rasanya meluapkan amarah atas rasa sakit yang membelenggu. Akan tetapi, Martin mencoba bersabar. Bagaimana pun juga dia tidak mau semakin menambahkan luka dan memperkeruh keadaan.

Ditatapnya langit-langit ruangan. Tanpa dapat tertepis pikirannya melayang jauh berpusat pada kejadian buruk di masa lalu. Rasa kehilangan akan Putra kesayangan kembali menyayat jiwa.

🍁🍁🍁

Next chapter ...

avataravatar
Next chapter