Dalam alunan kisah cinta, tercipta suatu dunia di mana jarak hanya menjadi latar belakang untuk mempertegas keindahan hubungan kami. Aku, Sarah Rania Nukma, merangkai setiap detiknya sebagai kisah romantis yang tak terlupakan.
Setiap malam, saat layar ponsel menjadi jendela ke dunianya, aroma cinta terasa begitu kental. Panggilan video bukan sekadar tautan elektronik, tetapi pintu menuju dunia di mana senyuman dan tatapan penuh cinta saling bertemu.
Suara Mas Ryan seperti melodi romantis yang mengalun lembut, memeluk hatiku dalam kehangatan tak tergantikan. Ketika dia berkata manja,
"Rindu sekali dengan senyummu, sayang," semesta terasa bergetar dalam harmoni cinta yang tak terukur.
Dalam panggilan video yang penuh warna ini, pertanyaanku menari di udara, "Kapan kamu pulang ke Indonesia, mas?" Mataku terpaku pada layar, penuh harap dan impian akan momen indah di masa depan. Dan aku, dengan hati penuh cinta, menanti jawaban yang membawa janji tak terucap.
Setiap panggilan video adalah perjalanan romantis, melewati lautan rindu dan hujan cinta yang mengalir tanpa henti. Meski terpisah oleh kilometer, kami menjadikan setiap momen sebagai lembaran dalam buku cinta abadi yang kita tulis bersama, mengukir kenangan penuh warna dalam dunia di mana cinta kami tak kenal batas.
Pagi ini, aku terbangun dengan senyuman di wajah. Rindu terbawa oleh semilir angin, dan harapanku terpampang di cakrawala, seperti awal yang baru. Saat itulah, ponselku bergetar, dan panggilan video dari Mas Ryan membuat hatiku berdebar-debar.
"Selamat pagi, sayang," sapanya dengan kebahagiaan yang terpancar dari mata. Mas Ryan tersenyum lebar dari layar, menyambut pagi dengan keceriaan yang menular. Kami berbagi kisah harian, detik demi detik, seolah-olah jarak itu tidak ada.
Dalam percakapan kami, Mas Ryan menggoda dengan lembut, "Apakah kamu sudah merindukanku hari ini, sayang?" Suaranya seperti seruling yang memainkan melodi cinta, dan aku hanya bisa tertawa sambil mengakui kerinduanku yang tumbuh setiap hari.
Pembicaraan pun bergeser ke rencana masa depan, keinginan untuk bersama tanpa rindu yang menghalang. Suara yang penuh harap. Hatiku bergetar, dan aku mengungkapkan kerinduanku untuk memeluknya dalam kehidupan nyata.
Kami merencanakan impian, membangun fondasi untuk momen ketika jarak tak lagi menjadi penghalang. Dalam percakapan yang penuh harapan, kami berdua menyusun rencana untuk masa depan yang penuh kebahagiaan dan cinta yang tak terbatas. Dan di balik layar ponsel, kami merasakan dekatnya saat kita melangkah maju bersama, mengejar impian yang satu sama lain kita bangun.
Setelah pagi tadi diberikan semangat oleh suamiku, aku merasa seperti membawa kekuatan ekstra saat memasuki ruang kelas. "Semangat, sayang," ucapannya seperti merangkulku erat. Kata-kata penuh cinta untuk jiwa yang sedang bersiap untuk menjalani hari yang penuh tantangan.
"Assalamualaikum, sayang. Semangat untuk hari ini. Kamu hari ini ngajar kan ? kamu itu sumber inspirasi banyak orang di sekolah loh. Jangan nggak ngajar ya" sapa Ryan di awal percakapan.
"Terima kasih, Sayangkuh. Pasti dong aku ngajar. Semangatmu itu selalu menjadi cahaya yang membimbing langkahku. Aku juga berharap bisa memberikan yang terbaik untuk murid-muridku hari ini" jawabku dengan senyuman lebar.
"Ingat sayang, setiap kata yang kamu sampaikan memiliki kekuatan untuk merubah hidup seseorang. Kamu adalah sumber inspirasi buat mereka."
"Iya iya, sayang. kamu bawel banget sih. Eh BTW, Rasanya seperti kamu tuh selalu ada di dekat aku dan bersamaku, meski jarak memisahkan. Dan Aku akan selalu merindukan doa-doa dan dukunganmu" ucapku dengan nada manja
"Sayang, jarak hanya fisik, bukan? Hati kita kan tetap satu, dan cinta menjadi energi yang tak terbatas. Percayalah pada dirimu sendiri, sayang dan lihatlah sejauh apa cahayamu bisa menyinari hari-hariku disini." ucapan Ryan ini menambah semangatku hari ini. Air mataku tak terasa menetes, terharu. Mungkin efek rindu yang tak lagi tertahan untuk bertemu.
"Aku akan membawa semangat dan cinta kita ke dalam kelas, dan doa-doamu akan menjadi pilar kekuatan. Aku bersyukur memiliki suami seperti kamu, Mas" Air mataku mengalir perlahan membasahi pipiku.
"Emangnya aku seneng punya istri kayak kamu" tanya Ryan sambil bercanda, membuat aku bergumam heran 'hah'. Air mataku berhenti sejenak.
"aku nggak cuman seneng, tapi bahagia, bersyukur, Dan aku berterimakasih pada Allah bisa memiliki istri kuat dan sholehah kayak kamu. Insyaallah Doa kita adalah pelindung yang tidak tergantikan" ucapnya menenangkan aku.
"MasyaAllah Terima kasih, suamiku sayang. Doa-doamu adalah pelipur rindu yang membawa kedekatan meski jarak memisahkan. Aku mencintaimu dengan cintanya Allah padaku. Karena cintanya Allah takkan hilang untuk hambanya. Begitupula cintaku padamu, sayang" ucapku sambil mengusap air mata yang semakin deras mengalir.
"Aku juga mencintaimu, sayang. Udah nangisnya ah. Emangnya Istriku secengeng ini ya. Kan kita sama-sama mau membangun kebahagiaan, kita ini satu tim kan ?. Semangat dong, istriku. Aku akan selalu bangga padamu" ucap Mas Ryan
"Aku akan berjuang dengan sepenuh hati Mas, dan setiap langkahku adalah bentuk syukur atas karunia yang kita miliki."
Aku pamit sama Mas Ryan, karena harus buru-buru ke sekolah. Telepon video pagi ini pun berakhir. Semangatku sudah terisi untuk menjalani pagi menyalurkan ilmu pengetahuan kepada murid-murid di sekolah.
****
Dengan setiap langkah, aku merasakan dukungan suamiku yang mengalir bersama darahku. Meskipun tidak secara fisik hadir di ruang kelas, namun cintanya menjadi sumber kekuatan yang menghangatkan setiap sudut hatiku. Saat bel berbunyi, aku membawa semangat itu ke dalam kelas, sebagai guru yang tidak hanya membimbing dengan pengetahuan, tetapi juga dengan cinta dan inspirasi.
Di hadapan murid-muridku, aku membagikan semangat yang aku dapatkan dari suamiku pagi tadi. "Hari ini kita akan menjelajahi dunia ilmu pengetahuan dengan semangat dan keingintahuan yang tinggi," ujarku dengan penuh semangat. Setiap kata yang terucap adalah serpihan semangat yang ingin aku bagi dengan mereka.
Seiring berjalannya waktu, aku melihat keberanian dan antusiasme tumbuh di wajah-wajah mereka. Suamiku, walaupun jauh, seakan hadir di setiap senyuman dan keberhasilan yang mereka raih. Hari ini, aku tidak hanya menjadi guru, tetapi juga pembawa semangat dari cinta yang mengalir di luar batas ruang kelas ini.
Hari ini begitu ceria bagiku. Murid-murid di kelas juga belajar dengan asyik dan antusias. Menambah semangatku untuk menyalurkan ilmu pada mereka.
****
Sahabatku, Alya, perempuan yang selalu menjadi tempat bersandar dan pendengar setia. Hari ini, dia menghampiriku di kantor guru saat aku duduk sendirian, memandang foto Mas Ryan yang ku jadikan wallpaper handphoneku.
"Hai, Bestie ! Rupanya lagi melow nih. Mas Ryan gimana, nih?" tanya Alya tiba-tiba mengagetkan aku.
"Haha, iya nih, lagi melow-melow sendiri. Mas Ryan sih oke, selalu bikin hari-hari jadi lebih berwarna" jawabku menyembunyikan rasa rindu.
"Wih, bikin iri nih sejoli. Cerita dong, gimana kalian bisa tetap mesra-mesraan dalam jarak kayak gini ?" tanya Alya sambil menyenggol lenganku.
"Oh, kita sih santai aja, Al. Setiap video call itu kayak waktunya bebas leluasa buat curhat, ketawa, dan kadang-kadang baperan"
"Wuih, curhatan sampe baperan juga? Asik juga ya jadi istri jaman now. Kalo aku di posisi kamu, mana bisa ditinggal kayak gitu. Pokoknya aku mau ikut kemana-mana Suamiku pergi" jawab Alya cetus.
"Iya dong, makanya kalo lagi rindu, kita gombalan sana-sini biar suasana makin asyik. Sok sok-an mau nikah, nyuci baju aja masih dicuciin Emak" jawabku meledeknya. Alya pun memukul lenganku.
"Aw, sakit Alya." gantian aku mencubit tangannya.
"Eh, cerita kalian tuh kayak dalam film-film LDR-an gitu tau gak sih, beneran. Semoga cepet bisa ketemuan lagi ya, sobat" ucap Alya sambil merangkulku dari samping.
"Amin, thanks ya Asiah! Btw, ada teh. Haus ni liatin foto suami terus?" tanyaku sambil melepas rangkulannya.
"Asiah Asiah. Emangnya aku istrinya Fir'aun. Ada dong, nih! Teh hangat buat menemani curtah-curtah kita. Cheers!"
"Curhat kali, curtah-curtah apaan" Alya mengeluarkan cemilan dari laci mejanya ditaruh di depan mejaku.
****