webnovel

14

Lagi-lagi aku mendengar hal yang baik tentang lelaki yang selama beberapa waktu ini hadir dalam kehidupanku ini, dan aku yakin si ibu pemilik warung tidak berbohong padaku, karena aku pun telah merasakan kebaikannya.

Hari ini adalah salah satu bukti kebaikannya itu, saat membelaku dan melindungiku dari hal buruk.

Waktu terus berjalan, dan tak terasa hari pertama bekerja telah selesai. Pram muncul didepanku, tepat saat aku akan melangkah keluar.

"Pulang..?" tanyanya. Aku hanya mengangguk.

"Kayaknya ibu kecapekan."

"Iya, kaki ibu pegel banget." Jawabku sambil memegang pinggangnya. Kami sedang dalam perjalanan pulang, menggunakan sepeda motornya.

"hehehehehehe… baru hari pertama lho bu."

"Iya lhooo.. ternyata capek juga. Ibu kira sih mudah aja, eh ternyata capek banget."

Pram hanya tertawa mendengar jawabanku.

"Pram, nanti malam kita makan diluar aja yuk.?" Kataku saat kami telah tiba dirumah.

"Lho, ibu kan udah belanja banyak. Ngapain makan diluar?"

"Ibu capek, rasanya malas banget mau masak."

"Ya udah, nanti malam biar saya aja yang masak. Gak perlu makan diluar bu. Inget, ibu harus berhemat."

"Emang kamu bisa masak??"

"hehehehehe… lihat aja nanti."

Aku sengaja berlama-lama dikamar mandi, memanjakan tubuhku dengan menikmati guyuran air dari shower. Betisku yang terasa capek pun kupijat, sekedar pijatan ringan untuk mengurangi rasa pegal akibat bekerja hari pertama. Dipangkal pahaku, bulu-bulu yang menutupi kemaluanku pun terlihat mulai tumbuh lebat. Aku tidak terbiasa membiarkan kemaluanku tertutupi oleh bulu-bulu seperti itu, sehingga dengan terpaksa, aku harus mencukurnya.

Sentuhan-sentuhan di organ vitalku sendiri lambat laun memicu birahiku. Permukaan bagian bawah yang bersih dan licin karena foam bercampur dengan sabun membuat jemariku semakin intens bergerak. Aku terbuai kenikmatan ciptaanku sendiri!

Telah lama aku merasakan kenikmatan klimaks setelah permainan panas bersama Pram beberapa waktu lalu dirumahku. Sejak berpisah dengan suamiku, praktis baru sekali aku merasakannya, karena aku tidak pernah melakukan masturbasi.

Pikiranku selalu dipenuhi oleh beban hidup yang harus kuhadapi. Aku benar-benar lupa dengan diriku sendiri, benar-benar lupa cara menyenangkan diriku sendiri!

Jariku sibuk merangsang bagian bawahku sendiri, bahkan sesekali kumasukan hingga jauh kedalam, menyentuh titik yang disebut G-Spot demi merasakan kenikmatan dan kepuasan nafsuku. Cairan kenikmatan perlahan mulai keluar dari kemaluanku, bercampur dengan sabun dan foam yang masih menempel disana. Licin, becek, dan sangat basah.

Aku sedang terangsang hebat, dan hampir mencapai klimaks yang kuinginkan. Jemariku semakin liar dan buas mengerjai bagian bawahku sendiri, dan

'Bbbrrrraaakkkkkk'

Samar-samar terdengar suara benda yang jatuh dari luar kamarku.

'Hhuuuuffffffff….'

Nafsuku hilang seketika karena terkejut dengan suara itu. Pikiran buruk segera menghantui, apalagi baru beberapa jam lalu, kejadian tak mengenakkan menimpaku. Mungkin saja kedua mahasiswa yang telah melecehkan aku ingin balas dendam, ingin memperkosaku. Atau mungkin ada perampok atau pencuri.

Aku segera membasuh tubuhku dan buru-buru menutupinya dengan selembar handuk. Jantungku berdebar, berdetak kencang.

Aku mengintip dari celah pintu kamarku namun tak ada seorangpun diluar. Pintu depan telah tertutup dan terkunci sejak sore tadi. Pintu samping, yang berhadapan dengan kamar Pram memang jarang aku kunci jika Pram berada dikost. Posisinya pun sama, tertutup rapat.

Suara yang samar-samar kembali terdengar dari dapur, seperti suara seseorang sedang memotong sesuatu. Dengan perlahan aku menuju kesana, dan mengintip.

"Kamu kok masuk rumah gak panggil ibu sih Pram?? Buat ibu takut aja, kirain ada orang jahat masuk kesini."Protesku.

Ia berdiri membelakangiku, karena sedang memotong sayur.

"Maaf bu, Tadi saya udah ketuk pintu, udah panggil-panggil ibu, tapi sepertinya ibu gak denger, karena mungkin lagi mandi."jawabnya.

"Duuhh... maaf ya bu.." sambungnya setelah melihatku, namun segera mengalihkan pandangannya karena aku hanya menutupi tubuhku dengan selembar handuk.

Sebagian gunung kembarku, dan sebagian pahaku terlihat olehnya.

"Oo gitu.. ya udah, ibu pakai pakaian dulu ya."

Aku meninggalkannya dan kembali ke kamar tidurku. Aku sempat melirik ke arah pangkal paha Pram, melihat kemaluannya yang samar-samar tercetak lewat celana pendek yang dikenakannya.

Sambil berpakaian, pikiran kotor pun kembali merasukiku. Mungkin karena tadi aku belum sempat mendapatkan klimaksku, apalagi telah sekian lama sejak aku merasakannya bersama Pram dirumahku.

Aku ingin mengulangi perbuatan itu lagi. Aku ingin merasakan sentuhannya lagi, malam ini!

Namun disisi lain, aku bingung bagaimana cara memenuhi keingianku tersebut. Aku tak mungkin langsung mengatakan padanya, berterus terang bahwa aku ingin bercinta dengannya. Sangat tidak mungkin karena kemungkinan Pram akan menolaknya. Ia bukan tipe laki-laki Seperti itu, setidaknya itulah asumsiku setelah beberapa waktu dekat dengannya.

Sejak permainan panas dirumahku tempo hari, tak pernah sekalipun Pram menyinggung hal tersebut, tak pernah sekalipun kami membicarakannya. Ia pun tak pernah merayuku, atau sekedar mencandaiku dengan hal-hal yang berbau seks. Ia sangat menghormatiku.

Dan kini, didepan cermin dikamar tidurku, aku terjebak kebingungan untuk menemukan cara agar malam ini aku bisa bercinta dengannya.

Sambil memilih pakaian yang akan kukenakan, aku terus terus memikirkan caranya.

Dan..

Mataku tertuju pada selembar daster yang telah lama tak kugunakan karena ukurannya yang kecil, sangat sesak jika kupakai. Hanya seperempat bagian pahaku yang bisa tertutupi olehnya. Itulah pilihanku. Aku akan mencoba menggoda Pram dengan penampilanku. Kuharap aku berhasil.

"Pram, mau masak apa?" tanyaku. Aku berdiri disampingnya.

"Mau masak sayur bening. Ibu suka sayur bening?"

"Iya, ibu suka kok."

Sementara mempersiapkan masakannya, Pram telah merebus air dan telah mendidih.

"Sini.." Pram menarik lenganku, kemudian memaksaku untuk duduk dikursi.

"Kok disuruh duduk sih, ibu kan mau bantu kamu memasak."

Pram hanya menggengkan kepala, tanda ketidaksetujuannya.

"Sekarang ibu duduk. Istirahat. Saya yang masak."

Ia lantas mengambil sebuah ember, mengisinya dengan air. Lalu menuangkan sejumlah garam kedalamnya. Ia meletakkan ember itu tepat didepan kakiku. Sejurus kemudian, ia menuangkan air panas kedalam ember tadi, mengaduknya, lalu mencelupkan jarinya kesana untuk sekedar merasakan suhunya.

"Udah pas."

"Sekarang ibu rendam kakinya dalam ember ini." Perintahnya.

"Ini cara tradisional untuk mengurangi pegel dikaki, bu. Saya diajarin sama orang tua saya." Sambungnya lagi.

Akupun menuruti permintaannya. Peluangku untuk menggoda dirinya tertutup sudah. Pram kembali ke meja dimana bahan masakannya berada. Ia larut dalam kesibukannya sementara aku menikmati waktuku dengan merendamkan kaki didalam seember air hangat. Mati kutu, mati gaya, aku hanya berdiam diri melihat dia sibuk memasak.

Melihat Pram sibuk memasak membuatku sadar, aku terlalu egois hanya untuk kesenangku. Aku memanfaatkan kebaikannya untuk memuaskan hasratku, padahal belum tentu Pram menginginkan hal tersebut.