webnovel

2. Geng Vayrez

Sejujurnya Irena sangat kesal dan ingin menjambak Gabriella. Tapi ia tahan sebab sadar kalau Ben sedang memandangi mereka dari pinggir lapangan. Dirinya tak ingin memamerkan sikap kasar serupa saudara tirinya. "Sial! Kalau bukan karena berharap simpati, gue juga ogah mengalah begini!"

Tapi Ben justru menyaksikan kejadian di lantai dua itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun sosoknya hanya diam saja, sampai ajakan Ellio mengalihkan atensinya.

"Yuk cabut! Tinggalin aja tuh para cecurut di sini," ketua club basket itu pun menepuk sekilas bahunya.

Di sebuah kelas, seorang gadis berambut hitam legam sepinggang pun masuk ke sana sambil menghentak-hentakan kaki. Sosok yang semeja dengannya melirik sambil tersenyum, dan mulai menopang wajah dengan punggung tangan kiri.

"Lagi kesal ya?"

"Itu udah tau!" ketus Gabriella yang langsung mendudukkan tubuhnya dengan kasar ke kursi. "Gila gak sih! Tuh anak pungut makin keterlaluan tau gak! Masa iya pagi-pagi gara-gara dia ama nyokapnya gue digampar! Biru tau gak! Perih nih!" kesalnya. Untung saja bisa ditutupi dengan make up sehingga tidak mencolok bekas kekerasan sang ayah. Kaia yang melihat itu pun menyodorkan sebungkus coklat dari saku. "Apaan sih! Gue gak butuh ini ya, lo ngaco ya!" marahnya namun tetap menerima.

Tapi temannya malah tersenyum karenanya. "Ya sudah. Kalau gitu mau ke UKS gak?"

"Gak usah! Nanti juga hilang sendiri!" sosoknya masih saja membalas ucapan Kaia dengan nada kesal. Untungnya sang sahabat sudah paham bagaimana watak seorang Gabriella yang sedang emosi.

Perhatian cewek dengan rambut kuncir kuda itu tiba-tiba terusik akan panggilan mendadak dari ponselnya.

"Aku angkat dulu ya," perlahan melangkah pergi meninggalkan Gabriella yang masih memandangi punggung sempit temannya. Di luar kelas sambil menatap hamparan halaman sekolah, Kaia pun menjawab telepon dengan suara menekan. "Halo—"

"Halo, Non! Gawat, Non! Tadi rumah sakit telepon, katanya—"

"Ngamuk-ngamuk lagi?" potongnya. Seolah-seolah sosoknya tahu apa yang ingin dikatakan lawan bicara.

"Iya."

"Ya sudah. Kalau mereka telepon lagi bilang aja hubungi nomorku. Kalau gak biar aku sendiri yang berurusan dengan dokternya nanti."

"Baik, Non."

"Ya sudah ya, Bi. Aku tutup dulu," Kaia pun memutus panggilan.

Tampangnya terlihat jengah, namun sedetik kemudian langsung berubah semringah. Tapi begitu berbalik, sorot matanya berpapasan dengan Irena. Saudara tiri Gabriella dari kelas sebelah.

"Dokter?" gumamnya. "Memangnya siapa yang sakit, Kai?" ucapnya tiba-tiba.  

Sepertinya ia sudah mencuri dengar pembicaraan Kaia. Tapi gadis yang ditanya malah tersenyum sambil menyentuh bahu perempuan di depannya.

"Cuma kenalanku kok. Aku ke kelas dulu ya, dadah," tangan kanannya juga melambai dengan anggunnya. Bahkan senyum khas yang tak pernah memudar masih terpatri di bibir ranum Kaia.

Akan tetapi, nuansa aneh justru dipancarkan tangan kirinya. Di mana terkepal sangat erat sampai-sampai ujung kuku melukai telapak tangan. Sepertinya ekspresi Kaia benar-benar tak sejalan dengan gerak tubuhnya. Dan itu tidak disadari lawan bicara.

"Tunggu!" cegat Irena sehingga langkah gadis itu terpaksa berhenti. "Lo—"

"Hm?" dia memiringkan wajah menunggu lanjutan.

"Pulang sekolah nanti, lo bisa temenin gue gak Kai?"

Gadis itu terdiam mendengar ajakan barusan. Walau guratan ramah masih melekat di muka, tapi siapa yang tahu makna terpendam di dalamnya. Belum sempat menjawab gangguan justru hadir di antara mereka.

"Apa-apaan nih!" sela Gabriella tiba-tiba. Dia muncul di sana lalu menarik lengan Kaia agar berdiri di belakangnya. Terlihat wajah tak suka pada sosok di depan mata. "Ngapain lo ajak-ajak temen gue?! Mending lo jauh-jauh deh, bisa-bisa Kai ketiban sial gara-gara lo tau gak!"

Guratan kesal pun langsung terpampang di wajah Irena. Siapa yang tidak sakit hati jika dilabrak seperti barusan.

"Brengsek! Jaga bicara lo ya, gue gak ada urusan sama lo!" geramnya dengan suara meninggi. Sungguh ia benar-benar emosi sampai-sampai wajah kuning langsat tanpa cela milik Irena berubah merah padam.

Terlihat urat-urat di kening juga lehernya ikut menegang.

"Apa lo bilang!"

"Udah, El. Stop! Guru udah datang. Kita ke kelas aja ya? Please ..." bujuk Kaia dengan maksud melerai mereka. Apalagi ketiganya menjadi tontonan anak-anak sekitar, sambil mencibir drama yang memang sering terjadi antara Gabriella dan Irena.

Sudah menjadi rahasia umum jika keduanya bersaudara. Walau hanya status tiri tapi sampai kapan pun Gabriella takkan pernah menerimanya.

"Cih!" Gabriella pun menurut walau tangannya menarik kasar lengan Kaia agar ikut bersamanya.

Sekilas Kaia menoleh ke belakang dan menampilkan wajah tak enak hati pada Irena. Tentunya gadis itu paham apa maksudnya, kalau ekspresi tersebut pertanda minta maaf.

Kaia Vay Availendra.

Di balik sosoknya yang menenangkan, dirinya juga hangat dan menyamankan. Tak peduli siapa pun di depan mata, perlakuannya selalu ramah pada mereka.

Bahkan coklat atau permen yang sering tersedia di saku pasti dibagi-bagikan pada setiap lawan bicara. Karena itulah Irena yang tak akur dengan Gabriella menjadi nyaman berhadapan dengannya. Sebab Kaia benar-benar sosok netral di mata.

Walau nyatanya banyak kaum hawa membenci dirinya, apalagi ikatannya dengan sang sahabat juga pertemanan mereka bersama para mostwanted geng Vayrez SMA Astoris Panama mengundang cemburu dan murka.

"Lo ngapain sih bicara sama dia! Lo kan tau kalau gue itu gak suka!"

"Kan dia yang duluan, El," gadis itu membela diri.

"Tetap aja gue tuh gak suka! Lo itu sahabat gue kan jadi jangan dekat-dekat sama dia!"

Kaia menghela napas pelan lalu mengusap lembut kepala Gabriella. "Iya-iya. Aku gak akan deket-deket kok sama dia. Jangan ngambek lagi, oke?" sekarang dirinya malah menyodorkan permen pada teman sebangkunya.

Gabriella pun mendengus sebal, tapi tangannya tetap menerima pemberian itu. Pelajaran pertama di kelasnya pun dimulai dengan materi matematika walau gurunya tadi datang agak terlambat.

Di SMA Astoris Panama terdapat tiga kantin. Salah satunya tak jauh dari bangunan ruang guru, dan tentunya para pengajar sering makan ke sana. Tapi murid kelas 1 dan 2 lebih suka ke kantin area tengah.

Di mana para mostwanted banyak berkumpul di dalamnya termasuk primadona sekolah mereka. Tak ayal kantin itu menjadi ladang cuci mata bagi setiap pengunjungnya.

Dan di salah satu meja, anak-anak geng Vayrez mulai berdatangan. Jam istirahat jelas-jelas saat yang paling dinantikan untuk memanjakan cacing-cacing di perut mereka.

Geng good looking yang membuat para siswi tidak malu-malu curi-curi pandang atau cari perhatian. Bahkan sering menyelipkan surat cinta juga kado di loker atau laci meja. Vayrez terdiri dari enam anggota dan ketuanya tak lain ialah sahabat sekaligus pujaan hati Gabriella Leona Ahmadia.

Ben Emanuel Alkarki.

Anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia bukanlah pendiri geng Vayrez walau menjabat sebagai ketua, tapi visualnya yang maskulin juga menggoda tak ayal membuat para kaum hawa rela menguntit dirinya ke mana saja.

Tapi sayang si tampan dengan roti sobek yang sempurna ini sudah memiliki tunangan bernama Adria Mychella. Perjodohan dari sang nenek dan kakek bahkan ketika sosoknya masih belum jebol ke dunia.

Kedua, Alen Maravel.

Pemalas luar biasa. Isi tasnya hanya dua buku saja, tapi level otaknya sungguh luar binasa. Bahkan tanpa memerhatikan guru ia seolah tahu dengan materi yang diajarkan mereka. Mungkin istilah jenius memang pantas disandang Alen walau tak pernah juara.

Namun siapa pun tahu kalau dirinya punya pesona yang sangat khas. Walau tatapannya terlihat tengil jika bercanda tapi sangat tajam layaknya bad boy seandainya tidak bersuara. Comma hair sekaligus tinggi 181 cm juga menjadi daya tariknya.

Ellio Aliando Oktorio.

Ganteng? Tentu saja. Bahkan jabatannya sebagai wakil ketua Vayrez dan ketua klub basket membuatnya berada di urutan pertama sebagai salah satu mostwanted paling diburu di SMA.

Tapi sayang rumor kalau sosoknya seorang gay juga merajalela. Terlebih foto Ellio sedang memeluk seorang laki-laki dengan mesra juga trending di Astoris Panama. Dan jangan lupakan rendahnya toleransi akan lelucon sehingga apa pun yang tak konyol bisa membuatnya tertawa.

Oscar Fujioka.

Si ketua OSIS berkacamata. Selalu rapi dan tegas tapi kalau di luar sekolah istilah murid teladan jelas tak pantas disandangnya. Tindikan di kedua telinga serta hobi menjilat pada guru-guru membuat banyak murid cowok jengkel dengannya.

Bahkan teman-temannya juga heran kenapa Oscar bisa terpilih sebagai ketua OSIS di SMP dan SMA. Mengingat di luar visual soft boy miliknya yang dipuja, nyatanya anak itu merupakan remaja dengan otak paling kotor di geng Vayrez.

Edgar Daniello.

Paling hobi berambut sebahu, dan julukan cowok cantik selalu melekat di mata kaum hawa. Berada di urutan terpendek yang sama dengan Oscar di mana tingginya hanya sekitar 171 cm saja.

Jangan lupakan juga fakta sosoknya yang sangat cerewet dan menyebalkan, sehingga siapa pun tertantang untuk berdebat dan emosi melawannya.

Roma Ferdinand.

Si ganteng dingin sekaligus tiang listrik di geng Vayrez. Padahal tingginya cuma beda 2 cm dari Alen tapi entah kenapa teman-temannya sangat suka menistakan Roma. Kalau sosoknya sudah bersuara, jika tidak menusuk ke tulang paling-paling membungkam mulut sekitarnya.

Dan sayangnya setampan apa pun mereka, kelimanya jomblo selain Ben yang sudah memiliki tunangan.

Entah karena terlalu pemilih dalam hal wanita, anak-anak geng Vayrez hanya dekat dengan Kaia juga Gabriella yang menjadi teman perempuannya. Tak heran jika banyak cewek di SMA Astoris Panama membenci keduanya.