Gentala’s Pov
Opa meminta kami untuk segera melangsungkan pernikahan, karena Opa merasa waktunya sudah tidak banyak. Beberapa hari terhitung dari pertemuan kami di rumah sakit Opa sudah meminta kami melakukan berbagai persiapan. Sebenarnya kami berdua sama sekali tidak melakukan banyak hal untuk persiapan pernikahan kami, karena semua sudah diserahkan kepada wedding organizer, dan sejujurnya kami pun sama sekali tidak begitu antusias untuk mengurus segala sesuatu mengenai pernikahan ini.
Tiga bulan berjalan setelah permintaan Opa yang disaksikan notaris dan pengacara, kami berada di gedung hotel yang sangat megah. Segalanya serba extra, mulai dari permainan sorot lampu yang membuat seluruh ruang dipenuhi warna kuning yang sesekali berganti warna membuat atmosfir terasa hangat. Berbagai bunga segar memenuhi hampir setiap segi ruang, hidangan makanan yang melimpah, dimana satu sisigedung dikhususkan hanya untuk hidangan penutup, dan juga tamu undangan dari berbagai kalangan mulai dari pejabat, hingga kalangan aristocrat, semua mendapatkan free akomodasi dan transportasi dari manapun bahkan jika antar benua. Aku dengar Opa menghabiskan dana hingga 8 Milliar untuk acara pernikahan kami, sungguh kesia-siaan pikirku.
Aku berdiri di sebelah Joelle yang terlihat sangat cantik malam ini. Dia mengenakan gaun putih yang bertabur brokat bermotif bunga. Setengah punggungnya terbuka menampakkan kulitnya yang putih bersih dan begitu juga dengan bagian dadanya yang separuhnya tertutupi bordir transparan, menunjukkan sebagian belahan dadanya, tapi dengan cara yang indah.
Joelle sebagai seorang yang sudah berkarir di dunia permodelan internasional, melalang buana hampir ke setiap tempat di kota-kota besar di bumi ini. Menghadiri dan mewakili berbagai brand fashion besar selama bertahun-tahun sungguh tidak sukar untuk Joelle menampilkan dirinya semenarik dan seanggun saat ini. Aku memegang tangan Joelle, sembari menatap semua tamu, bersama-sama memasang wajah bahagia kami. Kami berjalan menuju kue pernikahan kami. Kue yang dibuat sangat artisitik, kue ini dikatakan dilukis khusus oleh seorang artist cake kenamaan. Aku takjub ketika berdekatan langsung dengan cake tersebut membayangkan bahwa cake ini dilukis dengan tangan secara penuh, dimana tingginya saja sudah mencapai satu setengah meter, sungguh mahakarya batinku. Semua orang bersuka cita dalam pernikahan kami, tapi kami tidak yakin jika kami sebahagia seperti yang kami tampilkan pada wajah kami.
“You look pretty Joelle”
“Thanks” dia hanya menatapku singkat dengan ujung bibir yang dia tekuk.
Aku memang tidak begitu dekat dengan Joelle, mungkin karena dia selalu memandangku dengan cara yang berbeda. Dia selalu punya banyak sebutan untuk ku, tapi umumnya dia memanggilku sebagai adopted child, aku tidak pernah marah untuk itu, karena aku memang anak panti yang mendapatkan keberuntungan dari belas kasih keluarganya, kakeknya lebih tepatnya.
Perkara adopsi ini bukan suatu hal baru di kalangan para milyarder. Banyak para milyader melakukannya, dan untuk kasus keluarga Sunaryo, dari apa yang aku pahami memang hanya dua orang yang tersisa di keluarga ini. Seorang cucu yang menghabiskan hidupnya hanya untuk berfoya-foya dan menghabiskan uang hasil kerja dan harta keluarganya, dan seorang kakek yang luar biasa pekerja keras, yang masa tuanya berpasrah menghadapi kanker paru-paru stadium Akhir. Sejujurnya keluarga ini memang membutuhkan seseorang yang bersedia membawa namanya. Dan hal itu adalah ketika dimana Opa memutuskan untuk mengadopsiku dan menambahkan nama Sunaryo pada belakang namaku, mendidikku belasan tahun dengan segala sumber yang ada termasuk dengan ilmu dan pengalamannya.
Sebagian dari kalian mungkin bertanya apa yang terjadi kepada kedua orang tua Joelle, lebih tepatnya ayah Joelle yang merupakan anak satu-satunya Opa Baskoro dan Oma Maria. Pertanyaan yang sama pernah aku tanyakan beberapa kali kepada Opa, dan itu adalah satu-satunya pernyataanku yang tidak pernah terjawab oleh Opa secara langsung, “Itu bukan urusanmu Gentala” begitu pasti reaksinya, jika pertanyaanku bermuara kesana. Tapi tentu saja kehilangan anak tunggal dari seorang milyuner besar bukan sesuatu yang bisa ditutup-tutupi, ketika usiaku cukup dan aku mulai kristis untuk segala sesuatunya, aku mulai mencari informasi di internet, dan itu sungguh seperti mejentikkan jari, ketika nama Jeremian Sunaryo muncul dengan berita kematian karena overdosis. Ya, seorang laki-laki tanggung, pekerja keras, sekaligus berwatak keras ditinggal mati oleh anaknya yang semata wayang karena madat. Jeremian Sunaryo meninggalkan seorang gadis cilik berumur 2 tahun dan seorang istri. Malangnya ibu Joelle menyusul ayahnya dengan kasus kematian yang sama hanya selang beberapa minggu, semenjak itu Sunaryo resmi berisikan hanya dua orang.
Mataku kuarahkan kepada semua tamu, dan untuk kesekian kalinya aku menarik nafas dalam, dadaku serasa sesak dan berat. Aku mencari Pey, Andaru dan Mario, aku pikir akan lebih menyenangkan untuk duduk bersama mereka saat ini ketimbang berdua dengan Joelle di depan semua orang dan berpura-pura teresenyum manis. Aku sangat berharap waktu cepat berlalu hari ini.
Malam harinya setelah selesai acara, tubuhku sudah amat sangat lelah, terlebih seharian aku harus berpura-pura tersenyum. Dan sesampai di rumah pun aku masih harus sekamar dengan wanita yang sangat membenciku, walau dia tidak pernah terus terang mengatakannya. Sebelum Opa meminta dia untuk menikah denganku saja, aku tahu dia sudah cukup tidak menyukai diriku, terlebih sekarang. Aku membaringkan tubuhku di sofa kulit mengganti-ganti channel tv, sesekali menarik nafas panjang, berharap aku bisa langsung tertidur di sofa ini. Ditengah usahaku untuk membuatku terlelap, aku melihat seseorang melintas di depanku, aku berusaha membangunkan diri untuk memperjelas pandanganku.
“Kamu mau kemana malam-malam begini dengan pakaian seperti itu?!” aku memicingkan mataku menatap Joelle yang tampaknya bersiap-siap untuk pergi dengan one shoulder crop top dan ripped jeans.
“Eh loe anak adopsi, gak perlu ya ngatur-atur gue!” suara Joelle lantang, hampir setengah berteriak kepadaku. Trust me, jika saja orang lain yang mengatakan itu, aku tidak akan segan menamparnya sekalipun dia wanita.
“Aku janji sama Opa untuk selalu jaga kamu” balasku singkat menahan kesalku.
“Kamu bahkan belum genap 24 jam menjadi suamiku, lalu sekarang berusaha mengaturku. Shut up adopted child. I don’t care about your rules, I am leaving now!” kali ini dia menggunakan jarinya untuk menunjuk-nunjukku, membuatku semakin kesal. Mataku mengikutinya yang beranjak pergi dan hilang dari padangan hingga aku mendengar suara bantingan pintu depan. Fuck!! Batinku, aku sudah cukup lelah dengan hari ini, bagaimana dia masih punya energi sebegitu banyak. Aku berlari ke lantai parkiran bawah, masih dengan kaos dan celana pendek menarik kunci mobil. Tentu saja aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, dia istriku mengawasinya dan memastikan dia aman adalah tanggung jawabku. Betapapun hatiku ingin mengabaikannya.
Aku mengikutinya lebih dari satu jam, dan hampir kehilangannya dua kali. Dia mampir ke area Kemang untuk menjemput temannya. Aku mencoba menjaga jarak dengan mobilnya, Setelah setengah jam berkendara, akhirnya kami sampai dan seperti yang sudah aku perkirakan dia dan temannya sedang menuju sebuah nightclub.
Wanita macam apa sebenarnya yang aku nikahi, tepat ketika malam pernikahannya dia malah memilih pergi ke nightclub. Arrrghh!! aku berharap dia segera kembali ke LA, mengurusi bocah seperti ini hanya membuang-buang waktuku. Aku bersumpah tidak akan pernah menahannya jika dia ingin kembali ke LA. Sial! Harusnya aku bisa bersantai dan tidur saat ini, malangnya aku harus mengawasi seorang bocah perempuan gila.