KANYA
"Hanya Alisya," ucapnya meletakkan ponselnya kembali lalu melanjutkan makannya.
Untuk beberapa saat aku sempat melongo. Apa dia tidak perlu untuk menjelaskan sesuatu padaku?
"Kamu harusnya ikut renang tadi."
"Kamu nggak berniat telpon balik?" tanyaku masih mencoba ingin tahu.
Naren mengerutkan alisnya. Mengusapnya pelan seperti orang sedang berpikir.
"Nggak perlu sih. Nanti juga bisa."
Aku mengangguk ragu. Baiklah. Mungkin Naren ingin bicara dengan Alisya tanpa gangguanku.
"Aku ganti baju dulu. Kamu tunggu di sini. Kita akan jalan-jalan," katanya bangkit dari duduk.
"Tapi aku--"
Hah! Aku tidak ingin jalan kemana pun. Yang aku inginkan pulang ke rumah. Itu saja.
NAREN
Aku merasa Kanya tidak dalam mood yang bagus. Aku bukannya tidak menyadari, tapi lebih memilih abai saja. Karena biasanya gadis itu akan membaik dengan sendirinya. Aku hanya perlu bersabar dan selalu tetap di sisinya.
Saat aku memaksanya istirahat di resort pun dia masih terus diam. Ada apa dengannya? Sebegitu tidak relanya kah berpisah dengan teman-teman konyolnya itu? Aku tak percaya. Padahal aku pacarnya sendiri.
Atau mungkin ada kata-kataku yang membuatnya sebal? Ah! Tidak biasanya Kanya diam lebih dari sehari.
Aku baru bernapas lega saat Kanya menunjukkan sikap sinisnya lagi. Memang selalu seperti itukan dia memperlakukanku?
Tapi lagi-lagi tanpa aku duga dia seolah menjaga jarak denganku. Di tengah ciuman kami, tiba-tiba saja dia mendorong dadaku kuat. Tidak biasanya dia seperti itu. Ehem! bukannya apa, tapi Kanya selalu bisa menikmati sentuhan yang aku beri. Aku yakin sekali. Jadi diperlakukan seperti itu, aku agak sedikit terkejut.
KANYA
Karena di sini kebanyakan wisata pantai. Aku dan Naren hanya mengunjungi beberapa tempat saja. Kami menuju ke aquarium raksasa di Ocean Kura-Kura Park yang terdapat berbagai macam kura-kura dan penyu. Lalu lanjut menuju ke museum Kartini.
Sebenarnya aku tidak terlalu bersemangat. Tapi Naren terus saja menarik tanganku kesana kemari mengabadikan segala yang menurutnya menarik dengan kamera leica kebanggaannya. Seharian kami mengelilingi kota Jepara dan tidak lupa membeli berbagai macam oleh-oleh yang akan kami bawa pulang ke Jakarta.
Kami kembali ke cottage menjelang sore.
Angin laut berhembus pelan menerpa wajahku. Hanya ada beberapa orang di pantai resort. Karena memang pantai ini tidak dibuka untuk umum jadi kesan sepi dan syahdunya sangat kentara sekali. Aku bisa menikmati senja dengan tenang. Hanya suara deburan ombak sebagai musik alam yang memecah kesunyian.
Aku memejamkan mata, menarik napas perlahan dan menghembuskannya. Berusaha menikmati sore terakhir di sini. Karena besok pagi aku akan kembali ke Jakarta.
Bola merah di ufuk barat perlahan turun ke peraduan. Dari dulu aku memang sudah jatuh cinta dengan senja. Saat masih sekolah menengah atas, tak jarang aku pulang ditemani senja karena menghabiskan sisa hari dengan ekstrakurikuler yang aku sukai, wall climbing. Dan bahkan ini berlanjut sampai menginjakkan kaki di bangku kuliah. Senja di ujung kota ataupun di garis cakrawala laut bagiku sama-sama indah.
"Kamu nggak kedinginan?"
Aku menoleh mendapati suara Naren. Hah, merusak suasana saja.
"Aku cari kemana-mana ternyata di sini. Melihat sunset nggak ngajak-ngajak," ujarnya lagi mengambil tempat di sebelahku.
"Aku pikir kamu capek habis jalan seharian."
"Nggak sih, kan jalannya bareng kamu."
Aku memutar bola mataku. Bicaralah sesuka hatimu selagi bisa. Karena saat aku sudah tidak ingin melanjutkan permainan ini, jangan harap aku bisa membiarkanmu berkata manis lagi di depanku.
Harusnya aku tak boleh memikirkan hal itu di saat seperti ini. Naren benar-benar merusak segalanya. Seandainya saja kejadian di Karimunjawa tidak aku lihat, mungkin aku bisa menikmati liburan ini. Naren memang hanya membuat satu kesalahan. Tapi bagiku itu sangat fatal. Kepercayaanku padanya nyaris tak tersisa.
Aku menoleh menatap wajahnya yang kini hanya bisa aku lihat siluetnya saja. Sial. Bahkan hanya siluetnya dia masih terlihat sangat tampan. Kenapa Tuhan mengirimkan mahluk sempurna sepertinya padaku jika akhirnya hanya membuatku kecewa?
Aku bukan tak tahu saat Naren menggenggam tanganku erat. Gestur yang sudah tak asing lagi bagiku setelah menjalin hubungan dengannya. Awalnya aku sangat risih dengan perlakuannya, apalagi Naren adalah tipe laki-laki yang tidak segan memamerkan perhatiannya di depan umum. Tapi berjalannya waktu, aku sudah terbiasa dengan itu semua. Menggenggam tangan, mengusap rambut atau mengecup kepala sudah menjadi rutinitas Naren setiap kali aku bersamanya. Hangat dan manis. Lalu bisakah aku melalui hari tanpa perlakuan manis Naren?
Hah! Tentu saja bisa. Apa susahnya? Bahkan selain bersikap manis, dia juga bisa bersikap sangat menyebalkan. Sangkin menyebalkannya, kadang aku sampai tidak tahan dengan keberadaan laki-laki itu.
Aku menyentak dengan keras tanganku hingga terlepas dari genggaman Naren. Laki-laki itu terkejut. Aku hendak melangkah pergi saat lenganku berhasil dia tarik lantas kemudian tubuhku dia peluk begitu erat.
"Tolong maafkan aku, aku nggak tau salahku apa. Tapi tolong maafkan aku. Tolong jangan berpikiran untuk meninggalkan aku. Please."
Deg!
Dia tahu apa yang aku pikirkan? Aku sudah berusaha untuk bersikap biasa saja. Tapi Naren seperti bisa membaca hal yang ada dalam otakku.
"Kanya please, don't go anywhere, stay with me." Dia ... memohon.
Tidak, aku tidak boleh luluh. Tapi kenapa dia bertingkah seolah sangat mencintaiku? Apakah dia tipe manusia yang bisa memiliki perasaan dua arah?
Melihatnya seperti ini, hatiku merasa nyeri. Setelah apa yang sudah dia lakukan di belakangku, harusnya aku bisa dengan mudah membencinya. Bukannya aku sudah bertekad akan meninggalkannya segera?
"Naren, lepasin aku. Aku nggak kemana-mana. Kamu ini ngigo atau gimana?"
Dia menggeleng kuat. Dekapannya semakin erat.
"Astaga Naren, kamu bisa membunuhku. Aku sesak napas."
Aku berbicara seolah aku akan terbunuh betulan. Setelahnya dia baru mau mengendurkan pelukannya dan pelan-pelan mengurai.
Aku pura-pura menghembuskan napas lega.
"Apa kamu senang melihatku mati begitu?!"
Dia menatapku sendu mendengar omelanku. Ck, aku benci Naren yang seperti itu. Dia jadi terlihat sangat lemah.
"Berhenti pasang muka memelas seperti itu. Mukamu jadi seperti kucing yang minta perhatian." Aku membuang muka menghindari tatapannya.
"Kamu menyembunyikan sesuatu dariku Kanya. Aku tau kamu pandai bermain peran, tapi kamu nggak bisa membohongiku."
Matahari sudah menghilang beberapa menit yang lalu. Kini yang tinggal hanya kepekatan malam. Lampu-lampu dari arah cottage terlihat begitu terang.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Ayo kita kembali, aku sangat lelah."
"Kanya kamu nggak sedang menghindariku kan?"
"Nggak."
"Kamu menjaga jarak. Bahkan kamu nggak mau aku sentuh."
"Nggak Naren."
"Kanya."
"Aku nggak bohong."
"Kalo gitu biarkan aku tidur denganmu malam ini."
"Kamu gila?! Setan-setan nanti bisa datang berhamburan. Jangan ngaco."
"Memang kita ngapain? Orang cuma tidur. Kamu merem, aku merem. Kalo sama-sama melek baru itu yang bahaya."
Apa?
"Aku nggak mau dengar lelucon garingmu lagi," geramku sewot berbalik arah menuju cottage.
"Kanya! Tunggu!"