Ada yang masih nunggu lanjutan Kanya-Naren?
Maaf ya aku masih fokus ceritaku yang Emergency Marriage, kalau itu udah selesai insyallah baru fokus ke cerita ini.
Jangan lupa ya ramaikan lapak ini. Dengan memasukkan Prince Charming Vs Gula Jawa ke rak buku kamu. Tebar review, PS, dan komennya. Semangat and Happy reading gaes.
_______________________
KANYA
Sosok di hadapanku melangkah maju. Tatapan kami bertemu. Hanya sebentar sebelum aku lihat tatapan itu beralih pada bagian tangan Kenan yang memeluk erat lenganku.
Sadar akan posisiku dan Kenan yang seperti orang berpelukan, aku segera melepaskan diri. Rasa cemas menyergap, ketika Naren menatapku dengan pandangan yang sulit aku mengerti. Iya, dia beneran Naren. Laki-laki itu. Bukan halusinasi atau pun penglihatanku yang salah.
"Na-Naren?" aku sudah seperti kekasih yang kepergok nyeleweng dengan orang lain.
Sepatah kata pun tidak keluar dari bibir Naren. Namun, aku bisa melihat kedua tangan di sisi tubuhnya mengepal erat.
Aku pikir dia akan marah, tapi yang terjadi setelahnya dia melenggang begitu saja melewati aku dan Kenan. Ini sulit dipercaya. Tidak biasanya dia seperti itu. Mungkinkah dia juga sudah lelah menghadapiku? Memikirkan itu, ada sesak yang kemudian muncul.
Aku menundukkan pandang saat Kenan meraih tanganku. Dia sedang memberiku ketenangan, aku tahu maksudnya. Tapi kemudian, kurasakan sebuah tarikan dari sisi tanganku yang lain. Aku kontan menoleh dan mendapati Naren sudah berada dekat denganku.
"Ikut aku."
Bahkan aku belum sempat pamit pada Kenan, Naren menyeretku membuat genggaman tangan Kenan terlepas.
Aku terseok mengikuti langkah lebarnya. Naren, marah. Kukira tadi dia beneran pergi begitu saja. Di sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian, Naren melepas tanganku. Wajahnya memerah meredam emosi. Rahangnya mengeras dengan tatapan tajam yang menghunus.
"Jadi kamu menghindari aku karena berniat kabur sama dia?!" telunjuknya terangkat ke arah posisi terakhir Kenan berada.
"Kanya, aku benar-benar nggak habis pikir. Aku kira kita sudah kembali seperti dulu. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang aku harapkan?" Naren mengusap wajah frustrasi.
Aku kepayahan menelan ludah melihat reaksinya. Dia tampak sangat kecewa padaku.
"Bahkan kamu memblokir semua kontakku, sebegitunya kamu mau menghindariku? Aku pikir kamu sudah memaafkanku dan menerimaku sejak malam itu. Tapi, Ya Tuhan Kanya, kenapa aku masih saja segila ini?"
Dadaku sesak mendengar ucapan putus asa yang terus keluar dari bibirnya. Seperti ada bongkahan batu besar yang menghantam keras di dadaku.
"Apa kamu mencintai dia?" tanyanya dengan mata memerah.
Hening. Mulutku bungkam kendati ingin mengungkapkan segalanya. Yang bisa kulakukan hanya membuang muka menghindari tatapan Naren.
"Kanya, apa kamu mencintai dia?"
Seandainya dia tahu. Bahwa cintaku tidak pernah bergeser sedikit pun darinya.
"Jawab, Kanya!"
Aku terkesiap mendengar suara kerasnya. Narena hampir tidak pernah berteriak padaku.
"Iya! Aku mencintainya! Puas kamu?!" teriakku, menahan buncahan yang siap pecah di dada. Mata Naren melebar seolah tidak percaya apa yang aku ucapkan. "Jadi, mulai sekarang berhenti menggangguku!"
Naren mematung dengan pandangan yang sedikit agak melemah. "Oh, jadi begitu?"
Sebelum Naren mengeluarkan kata-kata lagi yang nanti membuat pertahananku jebol, aku berlari cepat meninggalkannya. Tidak peduli lagi dengan reaksinya.
Mungkin setelah ini semuanya benar-benar berakhir. Naren yang lelah, aku yang ragu. Harusnya aku bahagia melihat wajah kecewanya, harusnya aku puas telah membuatnya terluka. Bukankah seperti itu yang dia lakukan dulu padaku? Impas kan semuanya?
Tapi, kenapa air mataku malah menderas seperti ini? Sekali lagi aku harus jadi manusia cengeng karena laki-laki itu. Aku benci ini.
Aku mengusap air mataku sebelum membuka pintu kamar hotel. Begitu masuk, Kenan yang sedang berada di dapur beranjak ingin menghampiriku.
"Apa semua baik-baik saja?" tanyanya. Aku tidak menjawab, hanya sejenak menatapnya. Lalu, naik ke lantai atas menuju kamarku.
Aku langsung ke kamar mandi dan menyalakan shower. Mengguyur tubuhku yang terasa memanas dengan air dingin. Menyamarkan tangis yang masih saja menganak sungai.
Satu jam lebih aku baru keluar dari kamar mandi. Tubuhku agak sedikit menggigil setelahnya. Mengenakan pakaian hangat, aku menyurukan diri ke dalam selimut. Mencoba untuk memejamkan mata.
Lima menit, sepuluh menit, sampai tiga puluh menit mataku masih enggan terpejam. Akhirnya, aku bangkit menyingkap selimut dan beranjak menuju jendela kaca besar tepat di samping tempat tidur. Di kamar ini tidak ada balkon seperti ruangan di bawah. Tapi dengan kaca tinggi ini, aku bisa melihat bukit Panderman dengan jelas.
Suara ketukan pintu terdengar, disusul suara Kenan yang memanggil namaku. Selama beberapa detik aku biarkan saja. Hingga pintu itu terbuka, dan kudengar langkah kaki mendekat.
"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Kenan di belakangku. Untuk beberapa saat aku masih diam. Pikiranku masih belum lepas dari kejadian beberapa jam lalu. Meskipun tidak yakin, aku berharap keputusanku itu benar.
"Semua sudah berakhir," ucapku masih menatap lurus ke arah bukit Panderman yang berdiri anggun di depan sana.
"Apa maksud kamu?"
"Sudah aku akhiri semua."
Kurasakan Kenan mendekat. "Kanya, kamu harus jelasin soal kejadian di depan pintu lift tadi. Jangan bikin Naren salah paham."
Aku menggeleng. Sudahlah, biarkan saja semuanya seperti ini.
"Aku sudah bilang kan, jangan melakukan hal yang nantinya bisa bikin kamu menyesal."
"Dia juga mungkin sudah lelah. Jadi, biar aja kayak gini. Habis ini, aku akan hidup normal kayak biasanya."
"Kanya, buka pikiran kamu. Seribu kali kamu menolakku, aku nggak masalah. Tapi kalo kamu menolak kebahagiaanmu sendiri, apa kamu yakin hidupmu akan baik-baik aja? Kanya, turunkan sedikiiit saja ego kamu. Itu nggak akan buat kamu merugi.
Aku nggak masalah, Kanya. Asal kamu bahagia. Jangan siksa hati kamu sendiri. Selesaikan masalah kalian dengan pikiran dingin."
Aku menghela napas panjang. Awalnya aku mencoba menerima kehadirannya kembali. Tapi ketakutan itu lagi-lagi datang, apalagi sekarang Om Damian tidak sehangat dulu padaku. Dulu, aku sudah kenyang dengan segala cemoohan orang-orang karena memiliki Naren. Aku yang tak layak untuknya, segala kekuranganku yang nampak di mata mereka. Aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Karena penerimaan keluarga Naren padaku sangat hangat. Tapi sekarang? Aku kehilangan itu semua. Sorot mata tidak suka yang Om Damian tunjukkan, masih sangat aku ingat jelas.
"Kanya."
Kenan meletakkan tangannya di atas kepalaku. Tubuhnya yang tinggi membuatku terpaksa mendongak untuk melihatnya.
"Sekali lagi, tanya sama hatimu. Apa kamu masih menginginkannya berada di sisimu? Apa kamu masih butuh dia? Apa kamu masih mau memberikan kesempatan padanya lagi? Setelah tau jawabannya, bicarakan. Jangan kabur-kaburan terus. Kamu udah dewasa, menyelesaikan masalah juga harus dengan cara dewasa."
Kenan terkadang memang seperti Mas Bagas. Meskipun kadang menyebalkan, tapi dia bisa diandalkan saat aku sedang terpuruk. Mungkin karena ini juga yang membuatku nyaman dengannya hanya sebagai teman atau kakak saja.
Setelah mengucapkan itu, dia meninggalkan kamarku. Membiarkan aku sendiri. Mau tidak mau, aku mulai memikirkan apa yang Kenan katakan barusan.
***
Aku keluar dari kamar saat sore menjelang. Kenan, aku tidak tahu keberadaannya sekarang. Siang tadi, dia pamit keluar. Maka di sinilah aku, duduk di salah satu kursi restoran yang kalau sore tiba memiliki pemandangan yang menakjubkan. Dari sini, aku bisa menikmati matahari terbenam. Di temani secangkir teh hangat dan kudapan, cukup membuat pikiranku sedikit tenang.
Semilir angin pegunungan sore berhembus lembut membelai kulitku. Tempat ini sepertinya memang sengaja dirancang untuk bisa menenangkan hati setiap orang yang berkunjung dan menginap.
Pandanganku lurus menatap ke view megah tepat di hadapanku, hingga aku tidak menyadari ada seseorang yang tengah berdiri memperhatikanku dari pagar pembatas, tidak jauh dari tempatku duduk.