32 Part 31 - Wall Climbing

KANYA

"Kanyaaa!"

Kenan berteriak dari lantai bawah. Suasana pagi di sini membuatku ingin tidur lebih lama dari biasanya. Bukannya bangun, aku malah menarik selimut tinggi-tinggi.

"Kanya bangun...!"

Kenan makin berisik. Tapi tetap tidak aku hiraukan. Sampai aku mendengar derap langkah cepat menaiki tangga, aku masih tak peduli. Dan pintu kamar langsung diketuk.

"Kanya, kamu udah bangun belum?"

Aku bangun dengan kesal melirik ke arah pintu.

"Buat apa kita liburan kalo kamu tiduran terus?"

Dengan langkah gontai aku menuju pintu dan membukanya. Kenan berdiri tepat di sana dengan setelan trening lengkap.

"Berisik banget sih, kayak emak-emak."

"Ya Tuhan Kanya, kamu acak-acakan banget. Mending kamu bersih-bersih. Terus ikut aku jogging. Pumpung masih pagi."

"Aku males, Kenan."

"Habis itu kita sarapan, lalu renang."

"Aku nggak mau."

"Kanya." Dia melipat tangan ke depan dada.

"Ya, tunggu lima menit di bawah."

Malas debat, akhirnya aku menutup pintu kamar. Aku menuju wastafel kamar mandi, sikat gigi dan cuci muka.

Lalu berganti kaos dan celana trening panjang, mengucir rambut ala ponytail. Dan bergegas keluar menenteng sepatu kets-ku.

"Dasar kebo, kalo tidur susah dibangunin."

Aku mencibir. "Kebo-kebo gini kamu juga suka."

"Iya, sayangnya cuma bertepuk sebelah tangan."

Aku berdecak. "Kamu mau ajak aku jogging apa curhat?"

"Kalo ngajak pacaran mau?"

"Itu nggak nyambung Kenan." Aku mendelik kesal lalu beranjak ke pintu keluar. "Ya udah aku tinggal aja."

Kenan tertawa sembari menyusulku. "Susah payah aku bangunin kamu, masa kamu biarin aku sendiri,"  katanya saat menjajari langkahku.

"Akhir-akhir ini kamu nyebelin." kami beriringan menuju lift.

"Mungkin aku akan menyenangkan kalo kamu buka hatimu buatku."

Kenan berkata dengan intonasi yang sangat tenang seraya menatap lembut ke arahku.  Aku membalas tatapan itu tanpa ingin merespon ucapannya. Beberapa saat kurasakan keadaan hening, sebelum dentingan  suara pintu lift terbuka, membuat pandangan kami teralihkan.

Ada satu orang yang sudah berada di dalam lift, setidaknya aku lega. Karena aku sempat merasakan kecanggungan tadi. Dan jika itu berlanjut dengan kami yang hanya berdua di dalam lift, rasanya kondisi seperti itu sangat tidak nyaman.

Hotel ini sangat mewah, dibangun di atas tanah yang luas. Cukup jogging di area hotel yang dipenuhi taman saja sudah membuat keringat kami keluar.

Tadinya aku yang malas ber-jogging ria, mendadak bersemangat lagi. Beberapa kali aku melakukan peregangan otot dan lari di tempat.

"Di sini ada wall climbing nggak?"

Kenan tersenyum memandangku. "Kamu akan takjub, Kanya."

"Maksud kamu?"

"Ayo ikut."

Kenan nampak bersemangat mengajakku ke suatu tempat. Dia membawaku ke sebuah cafe yang letaknya masih di lingkungan hotel. Kalau memang dia lapar kenapa tidak makan di restoran hotel saja? Menginap di sini biasanya kan sepaket dengan breakfast. Buang-buang duit saja.

Kenan mendorong pelan pintu itu. Tangannya meraih tanganku agar ikut masuk ke dalamnya.

Begitu memasukinya, dugaanku salah, meskipun tidak salah sepenuhnya. Aku sedikit terkejut karena pemandangan pertama yang aku lihat adalah indoor wall climbing warna warni yang sangat luas. Di depannya memang terdapat cafetaria kecil. Mungkin pengunjung bisa sekalian istirahat di sini setelah latihan. Sebelah sisinya adalah penyewaan  safety tools yang harus digunakan saat menaiki wall.

"Di sini ada tempat kayak gini? Aku perlu coba Kenan." Aku tersenyum senang.

"Harus. Kamu sudah berapa lama nggak main ini?"

"Rasanya lama sekali."

"Aku ambil perlengkapan safety dulu."

Aku membiarkan Kenan menuju outlet penyewaan itu. Sedangkan aku sendiri masih dengan langkah takjub berjalan memasuki area wall climbing. Jarang sekali aku menemukan tempat seperti ini berada di sebuah hotel. Kalau pun ada, tidak dibuat sekhusus ini. Tapi di sini,  aku seolah merasakan pemilik hotel  menyukai olahraga yang sama denganku. Sehingga dibuat tracking khusus seperti ini. Menakjubkan.

Aku meraba setiap tonjolan batu buatan warna warni yang menempel di dinding. Rasa rindu tiba-tiba menyeruak di dada.

Satu kaki aku naikan pada batu tonjolan paling bawah. Disusul kaki lainnya saat tanganku mulai bertumpu pada batu di atasnya yang bisa aku jangkau dengan tangan. Baru dua kali pijakan, Kenan datang menyuruhku turun.

"Kamu udah kayak cicak aja langsung nempel begitu."

"Nggak ada perumpamaan lain yang lebih keren dikit? Masa cicak?" protesku saat kembali ke lantai. Kenan menyerahkan Harness dan sepatu panjat.

"Mau kamu?"

"Spiderman,  eh bukan spiderwoman."

"Itu terlalu keren."

Aku mencebik, mengikutinya memakai sepatu.

"Ini keren Kenan. Apa karena ada tempat ini juga kamu milih kita menginap di sini?"

"Salah satunya."

Aku tersenyum senang. Kenan selalu bisa membuatku bahagia dengan caranya sendiri. Kadang aku tidak sepaham dengan pemikiran Naren yang menganggap kebaikan Kenan itu hanya modus dari laki-laki itu untuk bisa memilikiku.

Siapa orang di dunia ini yang tidak ingin memiliki seseorang yang dicintai? Jangan munafik. Keinginan itu pasti ada pada setiap orang. Hanya saja tidak semua keinginan itu terwujud. Tidak semua harapan menjelma jadi kenyataan. Sampai detik ini perasaanku pada Kenan belum bisa berkembang, stagnan hanya perasaan sayang seorang sahabat.

Aku sudah selesai memakai harness, kemudian Kenan membantuku menyambungkan tali karmantel dengan carabiner. Sebenarnya aku bisa melakukannya sendiri. Tapi tangan Kenan terburu meraih benda itu.

"Kamu sudah siap?" tanya Kenan memandangku setelah dia menyambungkan talinya sendiri.

"Sudah dong."

"Okeh, kita liat siapa yg lebih dulu nyampe puncak."

Aku tersenyum sinis meremehkan Kenan. "Apa pernah kamu mengalahkan aku?"

"Aku tau kamu pendaki yang handal, apalagi cuma soal panjat dinding. Hal yang sangat sepele buat kamu. Tapi apa kamu lupa? Sudah berapa lama kamu udah nggak panjat dinding lagi, heh?"

"Nggak usah banyak omong. Kita buktikan aja," ujarku mengangkat sedikit ujung bibirku.

Aku tidak lupa cara memanjat meskipun sudah lama tidak melakukan latihan. Kenan meragukanku. Okeh, biar dia lihat sendiri.

Aku mulai memanjat. Tidak ada kata perlahan di sini. Gerakanku masih secepat dulu. Medali dan piala yang berjejer rapi di rumah tidak ada artinya apa-apa kalau kemampuan memanjatku payah.

Tak lama aku dengar teriakan Kenan.

"Up!"

Wait, aku tidak salah dengar kan? Kenan berhasil menyentuh puncak lebih dulu. Aku mendongak, Kenan sudah akan melakukan rappeling saat aku mempercepat gerakanku. Tapi sial, kaki kiriku meleset dan aku menabrak dinding sebelum terhempas, menggantung dan berputar-putar di atas tali. Sial. Aku kalah telak dan berhasil membuat Kenan terbahak.

Sesampainya di bawah,  Kenan mengacak rambutku.

"Makanya jangan sombong," ujarnya gemas.

Aku menghempaskan tangannya dengan kesal. Menang dia sekarang.

"Oke, aku akui kekalahanku. Tapi lain kali Kanya nggak akan ngebiarin siapa pun menang melawannya."

Kenan tersenyum mengejek. "Aku tunggu waktu itu,"  katanya menatapku lurus.

Sejenak pandangan kami beradu. Tatapan Kenan berubah sendu. Entahlah, ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup di dadaku.

Tangan Kenan terulur hendak menyentuhku, namun terlihat ragu. Dia menggantungkan tangannya di udara sejenak, sebelum akhirnya mengusap pipiku pelan.

Aku terkejut dan jantungku berdetak cepat saat telapak jemarinya mengusap lembut kulitku. Rasanya sangat berbeda. Ini bukanlah jenis perasaan yang sama aku rasakan terhadap Naren. Entahlah.

______________________

Sampai di sini dulu yah, tunggu next part ya gaess...

jangan lupa ramaikan.

Salam sayang,

Yuli_F_Riyadi

avataravatar
Next chapter