KANYA
Aku masih terpaku di tempat. M-E-N-I-K-A-H. Menikah? Aku tidak salah dengarkan? Atau mungkin sebenarnya aku sedang tidur lalu bermimpi yang aneh seperti ini. Naren mengajakku menikah? Yang benar saja.
"Kanya."
Tapi melihat dia memanggil namaku denga menggoyangkan tanganya yang masih tertaut di tanganku, membuatku sadar kalau ini bukan mimpi atau halusinasiku saja. Buru-buru aku melepas tanganku.
"Naren, kayaknya kamu lagi terserang kantuk parah. Mending sekarang kamu pulang aja."
Matanya mengerjap pelan. "kantuk parah apa? Mataku masih seger gini. Atau kamu mungkin yang ngantuk?"
"Ah ya! Aku yang ngantuk. Jadi sekarang kamu pulang oke?"
Dia menggeleng tapi lantas berdiri. Itu membuat aku bernapas lega. Dia menatapku sekali lagi.
"Kanya yang aku katakan tadi itu benar, aku ingin kita menikah."
Aku menelan ludahku dengan susah payah.
"Dari dulu sampe sekarang cuma kamu satu-satunya wanita yang mau aku nikahi."
Sengatan kecil menyerangku kembali. Itu hanya sebuah ucapan Kanya. Tidak seharusnya kamu jadi salah tingkah seperti ini. Lagi pula, aku harus ingat Naren pernah mengkhianatiku.
Aku memalingkan wajah. Ternyata luka itu masih saja bersisa. Dan kadang perasaan seperti ini lah yang membuatku merasa akan lebih baik kalau Naren menjauh saja.
"Aku ngantuk."
Sekarang aku benar-benar tidak ingin melanjutkan percakapan ini.
"Baiklah. Aku pulang. Kamu pergi tidur saja."
Naren beranjak, tangannya terulur hampir menyentuh kepalaku. Namun, dia menariknya kembali.
"Selamat malam."
Dan aku masih saja terpaku di sini saat derum mobilnya pergi meninggalkan pelataran rumahku. Rasanya ada yang salah. Kenapa aku malah menyuruhnya pulang? Harusnya aku ajak saja dia bicara dan menolak ajakkan menikahnya, dengan begitu dia tidak akan repot-repot lagi menemuiku karena sudah aku tolak.
Iya, harusnya seperti itu?
Apa motivku membiarkan tanyanya menggantung? Bahkan untuk menikah saja tidak ada dalam daftar rencanaku. Jika Naren bertanya kembali bagaimana?
***
Wanita di depanku memandangku intens. Selama mengenalnya baru kali pertama aku dibuat serisih ini. Apa yang dia pikirkan dengan menatapku seperti itu?
"Aku nggak nyangka ternyata wanita yang sangat Naren puja adalah kamu."
Nadine tertawa getir saat mengatakan itu. Aku sudah mengecewakannya.
"Mbak aku benar-benar nggak tau kalo laki-laki yang kamu maksud adalah dia. Tapi Mbak, aku sama dia udah lama berakhir."
Nadine menggeleng pelan. "Naren tidak berpikir begitu. Mungkin jarak memisahkan kalian. Tapi sedikit pun dia nggak pernah menghilangkan kamu dari ingatannya. Aku hanya salah seorang saja yang kebetulan belum menyerah untuk bisa bersamanya walaupun sebatas teman. Banyak wanita lain yang menjauh perlahan saat Naren dengan terang-terangan menolaknya."
Itu tidak mungkin. Nadine hanya tidak tahu saja pernah ada wanita lain yang mengisi hati Naren. Namun anehnya aku nggak tahu keberadaannya sekarang.
"Ah! Ada satu lagi."
Mataku sontak memandangnya. Satu lagi?
"Wanita yang aku kenal sangat gigih meminta Naren jadi pacarnya. Tapi dia sudah meninggal dua tahun lalu karena maag akut yang dia derita."
Keningku berkerut halus.
"Namanya Alisya, dia juga kuliah di Harvard bersama kami. Aku mengenalnya di sana."
Mataku melebar kaget. Alisya? Sudah meninggal? Aku tahu dia penyebab hubunganku dengan Naren retak. Tapi mendengar dia sudah meninggal sedikit membuatku pilu. Dia masih sangat muda.
"Apa kamu mengenalnya?"
"Iya. Bukannya dia itu memang sudah berpacaran dengan Naren?"
"Setahuku sih nggak. Tapi perjuangannya mendapatkan Naren aku akui luar biasa. Sayangnya, Naren sama sekali nggak tersentuh. Padahal dia sangat cantikkan?"
Aku menarik gelas panjang mendekat. Mengaduk isinya sebelum memyeruput pelan. Naren tidak pernah berpacaran lagi setelah putus denganku. Apa aku harus bahagia mendengar kabar ini?
Tanganku bergerak gelisah. Awalnya aku pikir pertemuanku dengan Nadine akan membahas soal pekerjaan, tidak tahunya dia penasaran dengan masa lalu Naren, aku.
"Apa kamu masih mencintai Naren?" Nadine bertanya dengan nada pelan. Terkesan hati-hati.
Ini adalah pertanyaan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku kembali menyeruput minumanku. Aku harus menjawab apa? Dari tatapan matanya aku tahu Nadine ingin jawaban yang membuat hatinya lega. Dia mencintai Naren. Tidak mungkin aku menjawab hal yang akan menyakiti hatinya. Sebisa mungkin aku harus menjaga perasaan nya.
Tapi hey, hatiku sendiri menanyakan hal serupa dengan yang Nadine tanyakan. Apa aku masih mencintai laki-laki itu?
"Naren masa laluku Mbak," jawabku akhirnya.
"Lalu? Apa itu menutup kemungkinan kamu masih tetap mencintainya?"
"Aku rasa perasaan itu udah nggak ada."
Entah mengapa hatiku berat mengatakan itu.
"Apa kamu yakin? Seandainya Naren minta balikkan sama kamu, apa kamu akan menolaknya?"
Aku semakin tidak nyaman. Nadine seolah menekanku dengan pertanyaan itu. Namun tak urung itu membuatku mengangguk pelan.
"Kenapa? Apa karena Kenan?"
"Kenan? Ah nggak. Kenan teman saja."
"Tapi yang aku liat dia nggak menganggapmu begitu."
Sebenarnya aku tidak terlalu suka berbagi privasiku pada orang lain. Jujur aku merasa risih dengan segala pertanyaan yang Nadine lempar. Mungkin aku tidak perlu memberitahu apapun tentang Kenan.
Aku bernapas lega saat dering ponsel menyela obrolan kami.
"Mbak, maaf aku angkat ini dulu ya."
Nadine mengangguk. Aku segera menyingkir dari hadapannya. Panggilan dari Kenan.
"Ya halo?"
"Kamu dimana? Rumah sepi."
"Oh aku lagi sama Nadine di luar. Ini aku mau pulang. Mau nunggu?"
"Baiklah. Nggak pake lama loh."
"Aku usahakan."
Begitu sambungan terputus aku kembali ke meja.
"Mbak, maaf. Aku kayaknya harus segera balik. Kenan udah nungguin."
"Oh,oke. Kalo gitu kita nanti ngobrol lagi."
"Minumannya bi--"
"Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu."
"Terima kasih ya Mbak. Kalo, gitu aku pamit ya."
Aku buru-buru keluar dari cafe begitu Nadine mengangguk. Sedikit merasa lega karena bisa lolos dari segala pertanyaan Nadine yang bisa jadi tidak akan berhenti jika aku tidak pergi.
Aku langsung pulang ke rumah, dan menemukan Kenan sedang duduk di teras. Aku pikir dia sendiri saja, tapi aku salah. Selain dia mataku menangkap sosok Naren di sana.
Mataku terpejam. Ini tidak akan baik. Aku pikir selepas dari Nadine, aku bisa bernapas sedikit lega. Tapi nyatanya? Ini jauh lebih sulit. Menghadapi mereka berdua itu sangat melelahkan. Apa aku kabur saja sebelum mereka menyadari keberadaanku? Ah iya, aku rasa itu ide terbaik.
Baru saja aku memutar badan suara seseorang yang sangat familiar berseru memanggilku. Suara pemilik rumah. Gagal sudah rencanaku.
Aku nyengir mendapati wanita bertubuh tambun yang kini berada di hadapanku.
"Mbak Kanya mau kemana? Itu loh ditungguin sama dua laki-laki ganteng. Luar biasa sekali mereka. Kenal dimana sih Mbak? Apalagi yang pake topi itu Mbak, waduh cakepnya ngalahin artis luar negeri."
Aku meringis. Yang dimaksud adalah Naren.
"Mereka teman-temanku dari jakarta Bu."
"Owalah, pantes saja gayanya keren begitu."
Apanya yang keren. Perasaan mereka biasa-biasa aja.
"Yo wes sana, jangan bikin mereka lama menunggu loh Mbak. Sayang kalo dianggurin. Saya pamit dulu ya."
Aku mengangguk. Lantas beralih menoleh pada kedua sosok manusia yang sekarang tengah memandangiku heran.
NAREN
Harus sekali ya aku bertemu dengannya di sini? Di rumah kontrakan Kanya. Dia benar-benar ancaman buatku. Untuk apa dia datang kalau tidak untuk mendekati Kanya? Jangan harap keinginannya bisa terwujud selama aku masih hidup.
Aku menatap kesal pada sosok laki-laki yang sedang duduk di teras depan rumah ini. Dia tersenyum sok ramah seperti biasanya.
"Gue pikir lo udah balik ke Jakarta?" tanyanya begitu aku keluar dari mobil.
"Kenapa? Ngarep banget gue cepet balik."
Dia tertawa sok akrab. "Nggak juga sih. Kali aja Kanya malah seneng ketemu lo lagi."
Seneng? Kalau memang iya, tidak mungkin Kanya masih menjaga jarak denganku. Dan itu aku yakin salah satu alasannya karena manusia satu ini.
"Kanya nggak ada?"
"Seperti yang lo liat. Nih gue lagi nunggu dia balik."
Aku sebenarnya males berlama-lama karena ada dia. Tapi aku juga tak sudi membiarkan Kanya berdua saja dengannya nanti.
Sampai aku mendengar seseorang yang memanggil nama Kanya, aku menoleh. Aku melihat seorang ibu sedang berbicara dengan Kanya. Aku tidak terlalu jelas mereka membicarakan apa. Tapi raut Kanya seperti merasa tidak nyaman dibuatnya.
Setelah ibu itu berlalu, Kanya berjalan pelan mendekat. Ada senyum yang terkesan dia paksa.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku.
"Memangnya aku kenapa?"
"Aku kira kamu bermasalah dengan ibu tadi."
"Nggak ada."
"Nadine nggak kamu ajak ke sini?" suara Kenan membuatku menoleh. Maksudnya apa?
"Kamu habis bertemu Nadine?"
Kanya tidak menjawab pertanyaanku. Muka enggannya nampak jelas terlihat. Dia lebih memilih bergerak menuju pintu rumahnya.
Perasaanku mengatakan telah terjadi sesuatu. Setelah kejadian di restoran tempo hari, aku tidak yakin jika Nadine bertemu dengan Kanya hanya membahas soal pekerjaan. Nadine itu tipe wanita yang serba ingin tahu. Semoga saja Nadine tidak berbuat sesuatu yang membuat Kanya merasa tidak nyaman. Apalagi sampai membuat Kanya ilfil padaku.
PS. Yang kangen Prince jangan lupa dukungannya ya gaes. Yang belum masuk ke Rak hayo masukin. Yang belum review mangga ditunggu bintang limanya.
see you soon.