webnovel

Sebuah Rahasia

Selesai acara maulid Muhammad SAW, aku dan panitia lainnya membereskan perlengkapan. Semua perlengkapan seperti piring-piring, bunner dan lain-lainnya di simpan dalam gudang masjid.

Kahfi pun turut serta. Kemudian, kami sholat dzuhur berjamaah. Saat kulipat mukena. Kahfi menghampiri.

"Cha, kenapa sih dari tadi diam aja?" Kahfi mulai menyadari perubahan sikapku.

"Gak apa-apa," sahutku mengalihkan pandangan.

Aku tidak mungkin menceritakan apa yang membuatku khawatir. Sungguh, aku khawatir kalau Erin tersinggung.

"Hei, ada apa? Ceritalah Cha!" Kusimpan mukena di lemari masjid. Kahfi mengekor di belakangku.

"Soal Erin," sahutku singkat, merunduk dalam. Memainkan ujung kerudung.

"Ngobrolnya di luar aja. Di sini banyak anak-anak. Takut kedengeran."

Aku pun keluar, mengikuti langkahnya. Kami duduk di depan teras masjid. Tidak enak sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Hanya aku, Kahfi, Idris dan Resti mengetahui perihal kondisi Erin.

"Aku gak enak, tadi kan yang nyuruh Erin datang ke sini aku. Maksudnya biar dia kehibur, tapi, malah …." kalimatku menggantung. Kahfi menarik napas berat.

"Gak perlu ngerasa kaya gitu. Maksud kamu kan baik." Suara Kahfi menenangkanku. Aku megangguk pelan.

"Kahfi, Aku pulang duluan ya? Mau ke rumah Erin." Aku beranjak. Meninggalkan Kahfi yang masih duduk selonjoran. Langkah aku percepat. Tak enak rasanya kalau terjadi kesalahpahaman lebih lama.

"Eh, aku ikut, Cha, tunggu!" Tak gubris panggilan Kahfi. Aku tetap berjalan cepat.

"Cha, tungguin. Cha!" Aku berbalik. Kahfi menghampiri dengan napas yang tak beraturan.

"Gak usah ikut, kamu di sini aja."

"Gak apa-apa kali, aku ikut."

"Terserah deh." Akhirnya aku mengalah. Sekarang bukan waktunya berdebat. Aku tidak mau kalau Erin berpikiran sengaja menyuruh dia datang ke acara tadi supaya mendapat sindiran dari ustad. Tidak sama sekali!

"Eh, Cha, tunggu!" Kahfi terus saja berteriak.

"Kamu tuh kenapa sih? Manggil-manggil mulu?" tanyaku dengan nada sedikit kesal. Bukan tidak senang, hanya momennya kurang tepat. Banyak orang di sini. Aku tidak mau orang lain berpikir yang tidak-tidak tentang kami.

"Bukan gitu, hmmm … itu, Cha." Dari nada bicaranya, Kahfi terdengar ragu mengatakan sesuatu.

"Apaan? Kamu mau bilang apa?"

Halaah, masa iya sih? Dia mau ngungkapin perasaanya lagi di tempat ini.

"Eu … Gimana bilangnya ya?" Kahfi menggaruk-garuk kepala. Masih ragu untuk mengatakannya.

"Bilang aja, Fi. Tentang perasaanmu?" Tebakku percaya diri. Buang jauh-jauh deh urat malu. Habisnya sebal, menghambat waktu. Matanya membulat. Kayaknya sedang malu dia.

"Oh bukan. Urusan itu nanti aja, sekarang gak tepat waktunya. Anu, eu … itu." Pandangan Kahfi mengarah ke bawah. Kalimatnya menggantung lagi.

"Itu, apaan?" Jarinya menunjuk ke bawah. Ke arah kakiku tepatnya.

"Itu, sandal kamu sebelahnya ketuker ama aku."

Hah?!! Astaghfirullah! Asli, malu banget!!!

"Sandal kamu yang ini," katanya, menunjukkan sandal yang sedang dia pakai.

Astaghfirullah ... kenapa aku sampe gak sadar sih? Kalau sandal kami tertukar? Kok bisa-bisanya aku gak ngerasa sandal itu kebesaran? Mungkin karena tadi terburu-buru. Untung tertukarnya dengan Kahfi.

"Maaf, gak tahu." suaraku pura-pura cuek, padahal malu banget.

"Iya, gak apa-apa."

Setelah acara tukar-menukar sandal, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Erin.

****

Tiba di rumah Erin. Aku dan Kahfi mengucap salam. Bu Laksmi menjawab, mempersilakan kami masuk.

Di ruang tamu, Erin sedang menonton tivi.

"Rin …." Aku duduk di sebelahnya. Kahfi memilih duduk di sofa sebelah kanan.

"Ada apa, Cha?" tanyanya, tanpa menatap wajahku.

"Aku minta maaf," kataku tanpa basa-basi.

"Maaf untuk apa?" Pertanyaan Erin terkesan tidak bersahabat.

"Untuk … tadi. Beneran, Rin. Aku gak bermaksud buat …."

"Buat apa??! buat sindirian ustad itu ke aku? Kamu sengaja nyuruh aku ke sana supaya aku merasa tersindir dengan tausiyah ustad? iya?!" Suaranya meninggi. "Sok suci kamu, Cha!"

Astaghfirullah ... kenapa Erin jadi marah begini? sudah aku duga, pasti dia salah paham. Kalau begini, aku jadi menyesal menyuruh dia datang ke acara maulid.

"Lho, kok kamu ngomongnya kaya gitu, Rin?" Aku kaget mendengar ucapannya. Dia berbalik menatapku. Tatapannya seolah menusuk hatiku.

"Asal kamu tau ya, kamu itu anak hasil nikah mut'ah, Icha! Dahulu, ibumu juga pernah nikah mut'ah alias nikah kontrak, Icha!"

Bagai tersambar petir di siang hari aku mendengar ucapan Erin. Aku anak hasil nikah mut'ah? Apakah benar? Kalau benar, kenapa Ibu tidak pernah bercerita?

"Erin, kamu jangan bicara sembarangan!" Kahfi berusaha membelaku. Tubuhku seketika lemas.

"Kamu jangan ikut campur!! Aku tahu, sekarang kamu lagi deketin Icha. Tapi aku yakin, Icha cuma jadi pelampiasan aja, setelah kamu tahu tentang penyakitku. Iya kan? Laki-laki munafik!!" Tidak hanya aku yang menjadi pelampiasan amarah Erin. Kahfi pun turut serta dimarahi wanita yang telah lama menjadi sahabatku.

Seketika, bibirku terasa kelu. Dadaku bergemuruh. Tak percaya , Erin berbicara seperti itu. Dia seolah sengaja membuatku sakit hati. Dan Kahfi? Apakah benar, aku hanya dijadikan pelampiasannya saja setelah dia mengetahui Erin mengidap penyakit HIV?

"Eh, tolong dijaga mulutnya. Aku gak pernah punya niat ngejadiin Icha sebagai pelampiasan!! Dulu aku memang pernah suka sama kamu, tapi semenjak kamu menolak cintaku, perasaanku padamu udah hilang!!"

Erin mendecih. Sorot matanya seperti tertanam kebencian.

Aku memejamkan kedua mata. Kepalaku mendadak pening. Menarik napas panjang. Menguatkan diri untuk bertanya tentang yang dilontarkan oleh Erin.

"Maksud kamu apa, Rin? Bilang aku anak hasil nikah mut'ah?" tanyaku mengalihkan pembicaraan soal perasaan Kahfi.

Erin menyandarkan tubuhnya. Dia menghela napas.

"Serius, kamu pengen tahu kebenarannya?" Pertanyaannya hanya kujawab dengan anggukkan kepala.

"Jadi, dulu waktu Ibu kamu jadi TKW di Taiwan, pernah menikah dengan TKI asal Sumenep. Pernikahan itu hanya berlangsung selama di sana saja. Nah, pas pulang ke sini, ternyata, Ibumu sedang mengandung. Kalau gak salah, baru tiga bulanan deh. Pak Bambang yang selama ini kau anggap bapakmu itu, marah dong. Orang baru pulang semingguan, masa udah hamil." Erin terkekeh, mataku memanas. Wanita yang duduk di sampingku seolah sedang mengejek. Buliran air mata, tak mampu lagi kubendung.

"Di situlah ibumu mengakui. Kalau di luar negeri sana melakukan kawin kontrak. Mungkin, gak kuat kali nahan hasrat biologisnya." Lagi, Erin terkekeh. Seolah mengejek garis hidupku.

Mata aku kembali pejamkan.

"Cukup, Erin!" Hardik Kahfi, suaranya terdengar sangat kesal. Sejujurnya aku sangat malu mendengar kenyataan ini. Apalagi Kahfi pun mendengarnya. Aku yakin, Kahfi semakin tidak menyukaiku karena mendnegar fakta kalau aku anak hasil dari nikah mut'ah.

"Biar!! lanjutkan, Rin." Kepalaku berdenyut. Pening. Air mata tak juga berhenti.

"Yaaa, terus kamu lahir. Itulah, Cha, alasan Pak Bambang sangat tidak menyukaimu. Dulu, kan kamu sering bertanya-tanya. Kenapa, Ayah kamu begitu jahat. Suatu hari aku nanya pada ibumu. Terus ibumu, cerita deh!" paparnya tanpa beban.

Kututup wajahku dengan telapak tangan. Tak dapat lagi aku menahan Isak tangis. Ya Allah ….

"Eh, kok nangis? Harusnya kamu berterima kasih, Cha. Oh iya, sebenarnya lagi nih ya, pelaku penculikan itu Pak Bambang, Dia itu bukannya sudah mati karena kecelakaan tapi masih hidup. Sekarang Pak Bambang lagi di penjara karena kasus penculikan kamu. Gak tau deh sekarang sudah bebas apa belum. Dia dipenjara karena ketahuan udah nyulik kamu. Tujuan awalnya pengen bunuh kamu, tapi menurut pengakuannya. Dia gak tega, makanya cuma mengurung kamu di gudang itu."

Air mataku langsung membuncah.

Aku gak sanggup ya Allah, kenapa kenyataan ini begitu pahit?

Erin memegang pundakku.

"Sabar, Cha … Harusnya kamu bersyukur, enggak jadi dibunuh. Kalau saat itu kamu mati, gak akan bisa ngejek aku seperti sekarang, kan?" Aku kibaskan tangannya. Berdiri. Menatapnya tajam.

Tak habis pikir dengan ucapannya barusan. Mana bisa dia berpikir aku mengejeknya?

Oh Ya Allah, sungguh hanya Engkau yang dapat membolak- balikan hati.

"Jahat sekali pikiranmu, Rin. Aku tidak seperti itu. Justru aku sangat peduli dengan keadaanmu!!" suaraku di tengah isak tangis.

"Sudah, Cha … Erin tolong hargai perasaan Icha. Hentikan cerita bohongmu."

"Hei, siapa yang bohong? Ini kenyataannya Fi. Walaupun aku udah kotor, tapi mana mungkin aku jago ngarang cerita kaya gitu." Elak Erin menatap Kahfi.

"Iya, Rin. Aku sangat berterima kasih. Aku pamit dulu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."