webnovel

Pradhika's Bloody Incident

Pradhika's Triplet yaitu Siji Pradhika, Yuji Pradhika dan Reiji Pradhika mengalami hal buruk saat mereka berupaya mematahkan kutukan yang dialami oleh Reiji. Mereka terjebak di tempat aneh dan mengalami peristiwa yang mengerikan. Tempat itu hanyalah lubang setinggi orang dewasa yang tidak memiliki celah lain untuk keluar. Mereka bertiga harus memutar otak untuk dapat keluar dari tempat aneh itu. *** Lalu, mereka mengalami kejadian aneh yang lainnya karena kedatangan seseorang yang mengaku paman mereka, yang berasal dari Korea Selatan. Lelaki itu adalah saudara kembar non identik Tuan Yudha Pradhika, ayah dari Pradhika's Triplet. Namun, terjadi permasalahan yang rumit di antara dua saudara itu sebelum Tuan Yudha diadopsi oleh keluarga Pradhika dan diboyong ke Indonesia. Siji Pradhika yang sedang mengikuti pertukaran pelajar ke Busan, Korea Selatan, harus bertemu dengan saudara ayahnya itu. Dan kisah berdarah-darah itu pun dimulai. *** "Aku tidak akan puas sebelum menuntut balas pada Yudha dan keturunannya." Seseorang yang bernama Lucca menatap foto-foto Tuan Yudha dan keluarganya yang tertempel di dinding suatu kamar yang gelap. Pandangan mata lelaki itu tertuju pada salah satu foto dari putra kembar Tuan Yudha. "Aku akan memulai balas dendamku pada kamu, Anak Manis," lirihnya sambil menyeringai. Peristiwa rumit semacam apalagi yang akan dihadapi Pradhika's Triplet? Apakah ini ada hubungannya dengan masa kelam ayahnya yang tinggal di panti asuhan? Dan ada misteri juga tentang terbakarnya Panti Asuhan yang menyimpan cerita kelam itu.

Zanaka · Horror
Not enough ratings
220 Chs

Keputusan Siji

"Kalau papa sayang Reiji, kenapa bukan papa saja yang mendonorkan ginjal papa, hah?! Bukankah Reiji juga anaknya papa sendiri? Kenapa harus menyuruh Abang, yang saat itu bahkan baru berusia 15 tahun dan belum tahu rasanya pacaran!!"

Siji menjeda kalimatnya untuk menoleh ke arahku. Aku tahu, pasti saat ini aku terlihat sangat menyedihkan di mata putraku sendiri. Aku meminta hal yang mustahil seperti ini. Mungkin, aku adalah orang tua yang paling dzalim kepada anaknya sendiri.

Aku hanya tertunduk dan tidak bisa menjawab protesan dari Siji lagi. Setelah itu, Siji menghempaskan tangaku yang berada di lengannya. Lalu, Siji pergi begitu saja.

Aku menatap sendu ke arah putra sulungku yang semakin menjauh. Siji berjalan gontai menuju gerbang rumah sakit. Aku tahu pasti dia sangat kecewa, dan mungkin tidak akan kembali ke rumah sakit ini lagi. Aku yang bodoh dan tidak berguna ini telah menyakiti hati anak-anakku dalam waktu yang bersamaan.