Helen memuntahkan isi durian didalam perutnya, ia kebanyakan makan durian. Bryan yang ada di sebelahnya menahan rasa bau jijay itu di depannya. Di tekan pundak Helen, benar-benar amsyong padahal Helen tidak pernah memuntahkan durian yang sudah ditelan.
"Apa saya bilang, jangan terlalu banyak makan. Masih mengeyel lagi. Jadi sekarang muntah, kan?" Bryan mengomeli Helen.
Helen tidak peduli omelan Bos sintingnya, yang ia pentingin adalah untuk istirahat. Kepalanya pusing, apalagi lehernya berat seperti beribu-ribu ton di pundaknya.
"Sudah lebih baik?" tanya Bryan. Helen mengangguk kepala pelan.
Helen bersiap untuk kembali ke kantor bersama Bryan, tapi bukannya membuat dirinya membaik, efek matanya berkunang-kunang saking pusingnya kepala dan pandangannya pun gelap gulita seketika.
Bryan sempat menangkap tubuh Helen yang tiba-tiba pingsan itu. Bryan menepuk pipinya untuk membangunkannya. Tidak ada respons terpaksa Bryan mengangkat tubuh Helen dilarikan ke rumah sakit terdekat.
****
Helen membuka kedua matanya, merasa efek sakit kepalanya sudah lebih mendingan saat diangkat tangannya untuk menyentuh keningnya. Yang ia dapat adalah infus di lengannya, lirih sana-sini seperti bukan kamarnya melainkan rumah sakit.
Helen mencoba untuk bangun tepat Bryan keluar dari kamar kecil. Melihat si sekretarisnya sudah sadar. Di bantu untuk posisi duduk.
"Untung tidak kenapa - kenapa. Darah tinggi kamu naik. Kenapa tidak bilang kalau kamu punya darah tinggi, untung masih bisa diselamatkan. Lain kali tidak boleh makan durian lagi," mengomelnya. Helen mengerut kening.
Darah tinggi?
"Tapi, saya tidak punya darah tingg—"
"Lihat darah tinggi kamu 150/110mmHg, mau bilang tidak punya darah tinggi? Setiap manusia itu memiliki, sayang! Sudah dibilangi jangan makan banyak masih sok jagoan tambah dua lagi!" potong Bryan mengomeli lagi,
"Iya Pak Bryan, maafkan saya yang tidak mendengar nasihat, Bapak. Tapi bisa, kan, itu mulutnya di jahit dulu. Jangan sembarangan panggil saya, " sayang" ya! Rasanya saya belum jawab iya atau tidak!" balas Helen nadanya sedikit kesal.
"Terserah saya, mulut saya jug—"
Bryan melebar sempurna kedua matanya, Helen mencium bibir Bryan. Helen menjauhkan wajahnya dari jarak dekat si Bryan. Bryan seperti terhipnotis apa yang dilakukan oleh sekretarisnya.
Helen juga tidak tahu kenapa bisa mencium bibir Bos sintingnya. Ya, mungkin ini jawabannya untuk terima perasaannya. Tapi, masih ada rasa gundah.
"Kamu ..." Bryan jadi gugup keluari kata-kata.
Bryan berdiri kemudian melirih kiri kanan dari luar kamar rawat inapnya. Semua amat, di tutup kembali tidak lupa mengunci, kemudian tutup jendela. Helen sendiri mengerut alis apa yang dilakukan oleh Bos sintingnya sekarang.
"Bapak, sedang apa? kenapa di tutup semua. Nanti dokter mau periksa bagaimana?" Pertanyaan demi Pertanyaan terlontarkan dari mulut Helen.
Tetap Bryan tidak memberi jawaban. Setelah itu lampu kamar rawat pasiennya ikut dipadamkan. Helen sontak terkejut bukan main.
"Pak Bryan! Apa yang kamu laku—"
Detakan jantung mereka berdua terasa berdebar, Bryan sudah menanti-nanti balasan dari pujaan hatinya. Dia tahu bahwa Helen juga memiliki rasa seperti yang dia rasakan sekarang. Kali ini Bryan tidak akan melepaskannya. Ciuman antara saling suka sama lain. Bryan melumat bibir Helen secara lembut.
Tentu Helen juga membalasnya, Helen bisa merasakan detak jantung Bryan sedang berdegup kencang. Hangat dan nyaman untuk dirinya. Di dalam kamar 045 pasien Helen Jovanka Kimberly dengan ruangan tertutup rapat gelap tidak ada yang tahu bahwa mereka sedang melakukan kemesraan di dalam.
****
"Sekarang kamu tidur disini. Jangan mengeyel lagi," perintah Bryan membaringkan tubuh Helen di tempat tidurnya.
Helen sudah dibolehkan pulang, tapi Bryan tidak izinkan Helen tinggal di rumahnya. Bryan mengantarkan Helen tinggal di apartemennya. Agar bisa merawatnya dengan baik. Sekaligus bisa memperhatikan rutinitas sehari-harinya.
"Iya, Pak Bryan. Cerewet banget sih! Belum juga jadi suami. Sudah cerewet minta ampun!" umpat Helen membuat Bryan mendekati wajahnya. Helen terdiam langsung.
"Aku cerewet karena kamu tidak mendengar perkataanku! Jangan ulangi lagi. Sampai diulangi benar-benar kamu bakal habis kubuat! Tidur sana." Diacak rambut Helen.
Bryan keluar dari kamar, lalu Helen menatap langit kamar. Senyum - senyum sendiri, di tarik selimut tebal menutupi wajahnya sedalam-dalamnya. Dia benar-benar malu sekali telah melakukan hal yang begitu bodoh.
Malam telah tiba, Helen turun dari tempat tidurnya. Kedua matanya terarah pada Bryan tengah tertidur di atas sofa sambil televisi masih hidup. Helen masuk kembali dan mengambil selimut untuk menutupi tubuh Bryan.
'Kalau dari dekat kamu itu ganteng tapi nyebelin, apalagi suka banget jahili aku. Tapi, ya berkat kamu juga sih. Sudah buat aku jatuh hati padamu. Ya mudah-mudahan saja sampai jenjang pernikahan. Eh ... tidak deh, tunangan saja dulu.' - kata Helen dalam hati.
****
Pagi cerah, bukan, pagi yang mendung. Cuacanya sedang tidak mendukung. Seperti biasa, kali ini Helen berangkat bersama dengan Bryan. Bisa dipastikan sampai di kantor banyak desas-desus terdengar di telinga Helen nantinya.
"Pak, nanti siang ada rapat dengan Kencana Global jam 10 pagi." Helen memberitahukan jadwal seperti biasa.
Jangan salah hanya karena mereka berdua sudah resmi pacaran tidak akan pengaruh dengan pribadi mereka. Kerja tetap kerja, kalau pasaran, ya, tentu di luar kerja.
Bryan sih tidak terlalu respons, yang dia pikirkan Kencana Global pasti ada Pria culun si tukang rusuh.
"Nanti setelah rapat, kita langsung kembali ke kantor. Makan siang di kantor saja. Tidak perlu di tempat lain," ucap Bryan kemudian, Helen sih senyum tahu kalau Bryan sedang wanti-wanti takut Helen dekat sama Eric.
"Bapak cemburu ya sama Eric. Tenang saja, saya tidak akan dekati dia kok. Eric sekarang lebih fokus sama atasannya," sambung Helen menggoda.
Ciiittt!!
"Aduh! Pak, nyetirnya yang benar dong!" pungkas Helen mengomel
"Benarkah? Sama Indri?" Bryan menatap Helen, Helen sendiri tidak tahu siapa atasan Eric.
"Mungkin, tapi enggak tahu deh. Memangnya Kencana Global itu atasannya cewek?" Helen malah balik bertanya.
"Jelaslah, kamu tidak ingat pertama kali seminar di Kencana Global, yang dekati saya itu Indri. Sahabat saya sendiri, dan saya ikuti kamu terus saat bersama pria culun itu," jawab Bryan keceplosan.
'Oops!'
Bryan terlalu jujur sama Helen tapi tidak apa-apa'lah, yang penting tidak mengkhianati. Hatinya tetap untuk Helen seorang.