Bryan sekarang berada di apartemen Indri, ya ... sahabat intimnya kali ini Bryan tidak sedang ingin berhubungan, ia ingin curhat kepada Indri. Mungkin Indri bisa membantunya, walaupun Indri masih ada rasa pada Bryan.
Siapa yang tidak terlalu memikat hati Bryan, kaya raya, mapan, segalanya dia punya. Tapi, hanya satu Indri tidak suka dikekang, apalagi Bryan terlalu protektif dan juga sangat posesif. Indri lebih suka kebebasan.
"Tumben datang ke sini? kemana saja kamu beberapa hari ini?" Indri bertanya sepertinya cara bicaranya sedikit menyindir.
Bryan tetap tidak akan mudah tersinggung. Persahabatan sudah lama. Tentu tidak akan mudah tersinggung dengan ucapan Indri.
"Aku ingin curhat sama kamu," jawab Bryan mencomot satu batang cokelat dibungkusan pada meja tersebut.
"Curhat apa? Soal pekerjaan, atau soal tunangan manja kamu?" tanya Indri seperti tahu saja isi kepala Bryan.
"Bukan,"
"Lalu?"
"Soal hati, perasaan dan cinta." Bryan menatap Indri sejenak lalu mengalihkan pandangan pada bungkusan cokelat.
Indri mengerut alis berlipat-lipat, Indri ingin tertawa namun diurungkannya mungkin Bryan sedang serius tidak dalam bercanda.
"Apa kamu lagi jatuh cinta sama seseorang?" tebak Indri seperti tahu jiwanya saja.
"Iya, bisa jadi."
Indri diam sesaat, sambil memikirkan mulai sejak kapan Bryan jatuh cinta, pada Friska? Tidak mungkin, lalu dengan siapa? Pertanyaan demi pertanyaan dari Indri terus berputar-putar.
"Biar aku tebak, kamu suka sama sekretaris yang kerja di tempatmu?" Bryan melirih Indri tajam dan senyum.
Tak!
"Sudah pasti, apa yang kamu suka dari dia? Coba kamu sebutkan semuanya!" lanjut Indri menunggu semua yang ada di kepala Bryan saat ini.
Bryan menarik napas dalam-dalam kemudian di hembuskan perlahan. "Aku suka dia saat sedang marah padaku, apalagi dia suka membantah apa yang aku perintahkan, kadang dia suka kesal saat aku memotong pembicaraannya, dia punya talenta yang tidak dimiliki wanita mana pun. Bahkan aku tidak suka makan sayur hijau jadi suka. Pokoknya setiap ada didekatnya aku selalu bikin dia jengkel. Tak ada dia sepertinya hampa," ucap Bryan mengeluarkan semua unek-unek di dalam dirinya.
"Lalu reaksi dia bagaimana saat kamu selalu lakukan seperti itu?"
"Ekspresi sulit ditebak, setiap aku cium bibirnya dia diam, pokoknya setiap aku ungkap perasaan padanya dia tidak pernah menujukan ekspresi gugup atau apalah! Aku pusing." Bryan Frustrasi.
"Berarti dia cewek tidak peka dong?" sambung Indri
"Jadi aku harus bagaimana? Apa aku langsung temui orang tuanya saja?"
"Eh ... jangan! Itu terlalu cepat, bisa-bisa dia yang tidak terima perasaanmu kalau kamu langsung temui orang tuanya. Berusaha dulu, apa yang dia suka, atau yang dia tidak suka. Biasa cewek begitu. Berjuang dulu," seru Indri
"Tapi, ingat otak mesum kamu dikurangi, jangan langsung sosor cium dia terus. Bisa-bisa dia mati berdiri," tambahnya lagi.
Bryan pun menuruti apa yang dikatakan Indri masuk akal juga. Tidak sia-sia curhat sama sahabatnya.
****
Helen tidak bisa tidur, bagaimana mau tidur bayangan Bos sintingnya terus muncul di kepalanya. Helen menutup mukanya pakai guling, rasanya ia ingin bersemedi bersihkan diri.
"Aaarrgh! Kenapa sih bayangi dia mulu! Ya Tuhan singkirkan pria sinting itu dari hadapanku! Aku ingin tidur Tuhan, Please ... singkirkan bayangan wajahnya! Amiin...."
Helen baru akan tidur, ponsel miliknya bergetar di samping bantalnya. Helen menggeram Bos sinting calling....
"Kenapa sih, selalu ganggu tidur aku! Karma apa yang kuperbuat dimasa lampau!" mengomel Helen memarahi ponselnya yang masih bergetar.
"Ya, Halo!" sambutnya tetap tidak berubah, nada ketus.
"Buka pintunya."
"Hah?"
Helen lihat jam di atas meja lampu samping tempat tidur 23:00 malam. Gila malam begini ngapain lagi dia ke rumahku?? - gerutu Helen dalam hati. Turun dari tempat tidur, Bryan sudah berteder ditepi pintu berantakan banget. Helen sendiri tidak tahu kenapa dia berantakan begini.
Bugh!
Bryan menyandarkan di bahu Helen. Helen sendiri terkejut bukan main. "Hei, Pak! Bangun!" Helen memukul pundak Bryan tetap tidak ada respons.
"Pak! Berat nih?" Helen masih bersuara. Bryan menjauhi tubuhnya dari tubuh Helen. Helen sendiri makin bingung sama Bryan.
Bryan masuk ke dalam, Helen ya ... mengedik bahu. Tutup kembali daun pintu. Bryan duduk di sofa, sepertinya Bryan benar frustrasi banget. Orang tuanya minta dirinya segera menikah dengan Friska. Padahal Bryan tidak ingin cepat menikah dia lagi berjuang cintanya untuk si sekretarisnya.
Saat pulang dari apartemen Indri, Bryan mendapat telepon dari Ayahnya. Ayahnya meminta Bryan pulang ke rumah. Setelah berada di keluarga terhormat, Ayahnya meminta kepastian terhadap Friska, kapan rencana menikah. Bryan menjawab kalau dirinya tidak ada rasa dengan Friska. Bryan hanya menganggap Friska itu adik tidak lebih. Bukannya didukung oleh Ayahnya malahan mendapat amarah dari beliau.
Sekarang Bryan larinya di sini, ke rumah Helen, Bryan tidak pulang ke apartemen, karena bisa jadi Friska bakalan datang ke apartemennya bermanja-manja. Lelah Bryan, bisa-bisa Bryan benci sikap Friska. Helen tidak peduli, dia mau tidur. Biarkan saja dia di sana merenungkan nasib.
"Helen!" panggilnya. Helen menoleh, "Ya, ada apa lagi, Pak? Butuh sesuatu? Lapar?" pertanyaan bertubi-tubi.
"Iya, saya lapar. Masaki ya?" cengirnya. Helen menghela napas kembali ke dapur memasak di tengah malam.
Tak lama kemudian, selesai mi goreng. Helen tidak makan untuk malam. Karena dia ingin tidur, tidur nyenyak.
"Ini, setelah makan, letakkan saja piringnya di sana. Biar besok saya cuci! Tidak ada lagi, kan. Saya mau tidu—"
"Temani saya makan, saya ingin curhat sama kamu," potong Bryan.
Sebenarnya Helen malas temani, ia yakin besok terlambat masuk kerja. Helen duduk di sebelahnya sambil peluk bantal sofa. Menunggu Bryan selesai makan, rasa kantuk di mata Helen sudah tidak bisa diajak kompromi. Ia terpejam, tidak menunggu Bryan lagi.