webnovel

MENIKAH LAGI

Hujan malam ini semakin deras menerpa kota Jakarta. Di tambah angin yang terus bertiup kencang tiada henti.

Seorang wanita yang bernama Almira Syanaz sedang berbaring ketakutan di dalam selimutnya, sembari menunggu kepulangan suaminya. Namun hingga saat ini, pria yang ia tunggu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya sedikitpun.

Almira semakin resah, jantungnya memompa dengan cepat. Petir yang menggelegar di luar sana tidak mampu menghentikan rasa khawatirnya terhadap keadaan sang suami.

Lama Almira dalam posisi yang seperti itu. Tangannnya sedikit demi sedikit keluar dari selimut untuk meraih ponsel yang ia simpan di atas nakas.

Nomor pertama yang ia hubungi adalah nomor suaminya yang ia tulis 'Hubby' dalam kontaknya. Segera ia mendial nomor telepon tersebut namun tidak ada jawaban di sana. Hanya suara operator yang terus berbicara tanpa henti sejak tadi.

"Mas Khairul kemana yah..." gumam Almira dalam resahnya.

Almira bangkit dari rebahannya, hendak berjalan menuju kamar mandi. Namun suara petir yang kembali menggelegar membuatnya kalut dan kembali memeluk tubuhnya yang sudah terbalut lagi dengan selimut.

"Mas, kamu dimana..." lirih Almira, ketakutan.

Sedangkan di sisi lain, seorang pria sedang mempersiapkan dirinya memakai setelah jas berwarna hitam. Lengkap dengan tuxedo yang menambah rapi dan menawan penampilannya.

Wajah pria itu sedikit murung, matanya terus saja melirik ke arah jendela. Hatinya mengkhawatirkan seorang wanita yang kini sedang berada jauh darinya. Wanitanya, yang ia ketahui sangat takut dengan petir. Tapi ia tidak bisa sama sekali meninggalkan acara pernikahan yang sebentar lagi akan terlaksana.

Tok! Tok! Tok!

Cklek~

"Khairul, kamu sudah siap?" tanya seorang wanita paruh baya pada pria yang resah sejak tadi.

Khairul mengangguk tanpa menjawab apapun.

"Kamu mengkhawatirkan Almira?" tebak sang wanita paruh baya itu. Menautkan kedua alisnya untuk mencari tahu apa yang sedang pria di hadapanya ini pikirkan.

"Iya, Mah. Almira takut petir, dan sekarang ada petir di luar. Dia pasti sedang ketakutan sekarang. Khairul khawatir sekali, Mah," ungkap Khairul, dengan wajah yang resah.

"Hmmm!" sang Mama menggumam. Lalu menatap lekat netra anaknya. "Jadi, kamu ingin membatalkan pernikahan ini?" tanyanya, dengan wajah yang serius.

Khairul terdiam seribu bahasa. Di salah satu sisi, ia tidak mungkin membatalkan pernikahan yang sudah sangat siap saat ini. Namun di sisi yang lain, ia juga kelewat khawatir kepada istrinya yang hanya sendirian di rumah mereka.

"Tidak mungkin bukan, kita membatalkan pernikahan ini hanya karena alasan sepele seperti itu?" ujar sang Mama kembali, menyudutkan rasa takut yang Almira rasakan sebagai sesuatu yang remeh temeh.

Khairul mengepalkan erat tangannya. Matanya memerah karena emosi namun tidak bisa untuk ia luapkan. Sedari awal ia memang di tuntut oleh keluarganya untuk memiliki banyak istri. Sebab itu adalah tuntutan dari nenek moyang mereka turun temurun. Tanpa memikirkan sedikitpun perasaan anak turunannya. Sedari awal, ia memang tidak bisa keluar dari zona ini.

"Maaf, Nyonya, Tuan muda. Bapak penghulu sudah datang. Dan Tuan besar meminta anda berdua untuk segera turun," tutur seorang pelayan, yang baru saja datang menghampiri keduanya.

"Baik, kami akan segera turun," sahut sang Mama. Dan pelayan itupun pergi.

Sedang Khairul masih setia di tempatnya. "Itu bukan alasan sepele, Mah. Istri aku ketakutan di sana. Jadi tolong, Mama pahami hal itu. Tidak semua hal harus Mama anggap remeh dan enteng," desisnya lalu melangkah keluar dari ruangan yang menyesakkan tersebut.

Khairul melangkah menuju lantai satu rumah ini. Di mana seluruh keluarga besarnya dan juga seluruh keluarga besar pengantin wanita menunggu.

"Ah, calon pengantin prianya sudah datang," sambut seorang pria paruh baya, yang sepertinya adalah Ayah dari Khairul.

Khairul tersenyum menanggapi sambutan dari orang-orang di sekitarnya. Ia melirikkan matanya sedikit ke arah calon istrinya. Lalu kembali menunduk. Tidak ada hal yang bisa membuatnya tertarik pada wanita itu. Namun, mau tidak mau ia harus tetap menjalankan pernikahan ini.

"Pengantin prianya silakan duduk di hadapan penghulu," ujar seorang saksi pernikahan.

Khairul pun duduk di sana. Kemudian ia di minta untuk memgulurkan tanganya agar di jabat oleh penghulu tersebut.

Akad nikah pun segera di langsungkan. Khairul mengucapkannya dengan lantang setelah dua kali pengulangan. Sebab sejak tadi, nama Almira Syanaz yang terus saja keluar dari lisannya.

Takkk!

Suara gelas terjatuh dan pecah tepat di hadapan Almira. Hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Seakan telah terjadi sesuatu yang buruk.

Almira terus saja melantunkan istigfar. Berharap hatinya menjadi tenang. Ia pun jongkok untuk memungut gelas yang pecah berserakan di lantai. Namun, satu keping kaca kecil menggores tangannya.

"Ouch!"

Hati Almira kembali khawatir. Ia bergegas bangkit dari duduknya untuk mengambil air wudhu dan melaksakan shalat sunnah. Semoga saja, hatinya menjadi sedikit tenang.

Almira shalat dengan khusyuk. Mendoakan keselamatan suaminya. Sedang di waktu yang bersamaan, Khairul sedang berada di kamar pengantin bersama istri barunya.

"Mas Khairul, mau makan?" tanya wanita itu dengan lembut.

Bukannya merasa tersanjung atas kelembutan wanita itu, Khairul malah teringat akan istrinya.

"Almira sedang apa yah di rumah?" batin Khairul, gelisah. Tanpa sedikitpun memandang ke arah wanita tersebut.

"Mas..." panggilnya lagi, membuyarkan lamunan Khairul akan pikirannya yang terus tertuju pada Almira.

"Ah, iya!" sahut Khairul gelagapan.

Wanita itu tersenyum dengan manis.

"Apa Mas kelelahan karena acara hari ini?" tanyanya dengan santun.

"Ah tidak. Aku hanya sedang banyak pikiran," tukas Khairul mencoba mengalihkan pikirannya.

"Apa karena memikirkan mbak Almira?" tebak wanita itu.

Khairul menilik dan mengamati netra wanita itu dengan lekat. Hanya satu pertanyaan yang ada dalam pikirannya saat ini, yaitu dimana istri keduanya ini tahu tentang Almira?

Seperti sudah memahami maksud ekspresi dari pria yang baru saja menjadi suaminya. Wanita itu pun berkata.

"Aku mengetahuinya sejak sebelum kita menikah, Mas. Orang tua aku dan orang tua Mas yang memberitahukannya padaku."

Khairul mengernyitkan dahinya bingung. Jika memang wanita ini mengetahui hal itu, kenapa dia mau menerima pernikahan ini? Tapi bukannya bertanya, Khairul malah membuka pembicaraan yang lain.

"Kamu mandilah dulu. Pasti sejak tadi kamu merasa tidak enak dengan pakaian itu."

Wanita itu tersenyum manis. Kemudian mengangguk. Lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Khairul memandang mengikuti langkah kaki istrinya yang baru saja masuk ke dalam bilik mandi. Lalu ia bangkit dan keluar sejenak dari ruangan itu.

"Cari apa, Mas?" tanya seorang gadis muda, mengagetkan Khairul.

"Jian, bisa pinjam ponsel kamu enggak? Mas mau telpon istri Mas. Dia pasti sedang khawatir sekarang," ujar Khairul, penuh harap. Semoga saja, adiknya ini bisa memahami kekhawatiran dirinya.

Adik Khairul yang bernama Jian ini, memperhatikan ekspresi sedih kakaknya. Dan hampir saja ia mengeluarkan benda berbentuk segi empat itu, namun suara seorang pria mengintrupsi aksi keduanya.

"Khairul, lupakan Almira malam ini dan layani Zara, istrimu barumu. Dan ini malam pertama kalian."