webnovel

Wanita Pembawa Sial

Lampu ruangan operasi telah mati membuat semua pihak keluarga langsung berdiri dari posisinya. Saat pintu ruangan terbuka, memperlihatkan beberapa tenaga kesehatan.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Mayra cepat berjalan menghampiri dokter. Hampir saja ia terjungkal ke depan, untung saja ada suaminya yang berhasil memegangnya.

"Hati-hati Ma," peringatnya yang diabaikan oleh Mayra.

Dokter bernama Rina itu menatap satu persatu keluarga pasiennya. Ia mengembuskan napas sejenak sebelum berucap, "Ada kabar baik dan buruk."

"Kalian mau mendengarkan kabar yang mana dulu?"

Jantung Gelora bertalu-talu kencang seakan ia habis berlari sejauh kilometer.

"Kabar baiknya dulu, Dok," jawab Jacob tak ingin menunggu waktu lama.

"Baiklah," sahut Dokter Rina.

"Tuan Praditya Zerran sudah berhasil melewati masa kritisnya," jelasnya membuat seluruh keluarga lega.

"Tapi...," Dokter Rina kembali menatap mereka tak enak untuk mengatakannya.

"Dia dinyatakan koma," lanjutnya.

Gelora memundurkan langkahnya, menutup mulutnya tak percaya. Suaminya mengalami koma karena dirinya.

"Tidak mungkin Dok," teriaknya histeris menjambak rambutnya sendiri.

"Mbak jangan seperti itu," tegur Jacob menghalangi Gelora yang ingin meninju tembok.

"Mas Radit tidak mungkin koma! Katakan kalau suami saya baik-baik saja Dok, katakan Radit saya tidak mengalami koma." Gelora mengguncangkan tubuh dokter Rina.

PLAKK

Tamparan keras tiba-tiba melayang menyentuh pipi Gelora. Mayra menatapnya tajam, "Semua ini karena kamu! Anak saya harus mengalami penderitaan seperti ini. Kamu wanita pembawa sial!"

Napasnya semakin memburu menatap Gelora, "Dasar wanita pembawa sial! Kamu tahu? Sejak dulu saya tidak pernah merestui pernikahan kamu dengan anak saya. Tetapi, karena anak saya dengan bodohnya mencintai wanita yang mengandung anak dari pria lain. Dia bahkan rela, untuk menjadi ayah dari anak yang bukan darah dagingnya."

"Mayra hentikan," bentak suami. Istrinya itu sudah sangat keterlaluan, mengungkit masalalu yang kelam itu.

"Kamu jangan ikut campur Mas, biarkan aku mengatakan semuanya!" teriak Mayra.

"Bibi, kita sedang berada di rumah sakit. Jadi tolong jangan membuat keributan," ucap Jacob mencoba menjauhkan bibinya dari Gelora.

"Kamu juga diam jacob!" sentak Mayra tajam. Kembali mendekati Gelora.

"Sebelum kamu masuk ke dalam kehidupan anak saya, dia tidak pernah mengalami kesialan seperti ini Gelora. Saya mohon pergi dari kehidupan anak saya. Kembalilah pada keluargamu," mohon Mayra mengatupkan tangan di depan dada.

"Cukup penderitaan yang kamu berikan kepada anak saya ini Gelora, kasihani dia." Lagi-lagi Mayra memohon kepada Gelora.

"Ta–tapi dia adalah suami saya Ibu. Saya tidak bisa meninggalkannya saat kondisinya seperti ini, dia masih membutuhkan saya," ujar Gelora sungguh tak sanggup jika ia harus kehilangan Raditnya.

"Saya bisa merawat anak saya sendiri Gelora," ucap Mayra serak. Sudah cukup putranya berkorban demi seorang wanita.

"Tidak bisa, saya tidak akan meninggalkan suami saya!" ucap Gelora mutlak berhasil memancing kemarahan Mayra lagi.

Brakk

Dengan kasar ia mendorong Gelora hingga menghantam dinding. Semua orang  memekik kaget melihatnya.

"Mayra kamu sudah sangat keterlaluan." Pralex menarik istrinya dengan kasar, sedangkan Jacob membantu Gelora berdiri.

"Keterlaluan bagaimana, Mas! Apa kamu tidak menyadari, sejak kehadiran dia di keluarga Zerra semuanya jadi kacau dan sial," murka Mayra sudah tidak terkendalikan.

"Sejak dia datang ke tengah-tengah keluarga Zerran, dia sudah membawa kesialan untuk Radit Mas!" Mayra berontak dalam kungkungan suaminya.

"Ini ke dua kalinya Radit kecelakaan gara-gara dia! Tapi tak separah dari sekarang," teriak Mayra masih menatap Gelora nyalang. Penuh emosi dan dendam.

"Saya bukan pembawa sial," teriak Gelora juga. Tidak peduli apakah di depannya ini orang tua, dia juga sudah muak dengan perlakuan mertuanya itu.

"Lihat 'kan dia sangat tidak sopan berteriak di depan orang tua." Tunjuknya pada Gelora.

"Kenapa harus dia wanita yang Radit sukai," geramnya.

Kepala Gelora pening dan tak lama kemudian tubuh wanita itu ambruk.

"Gelora," teriak Mayra tak percaya.

"Cepat bawah dia ke ruang pemeriksaan," ucap Dokter Rina panik sehingga menyuruh Jacob membopongnya.

"Baik Dok," sahutnya.

Setelah beberapa menit Gelora pingsan. Akhirnya wanita berambut gelombang itu membuka matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya.

"Ssshh," ringisnya pelan memegangi kepalanya, yang berdenyut nyeri.

"Syukurlah kamu sudah sadar," sahut seseorang yang baru saja datang membawah dua kantong kresek.

"Dokter Rina," ucap Gelora berusaha bangun. Melihat hal itu, dengan cepat dokter Rina membantu Gelora bersandar di kepala brangkar, ia juga sudah meletakkan bantal di belakangnya.

"Saya kenapa, Dok?" tanya Gelora.

"Sepertinya kamu harus mengeceknya sendiri, saya bisa mengantar kamu menemui dokter Mita di sini, dokter kandungan." Dokter Rina menatap Gelora lamat. Menyadari perubahan ekspresi wanita itu, jauh lebih tegang dan memucat.

"Aku hamil," gumam Gelora lirih. Tak sadar tangannya mengusap perutnya yang masih datar. Di sana ada malaikat kecilnya dan Pradit, andai suaminya tahu bahwa sekarang keinginannya terkabul oleh Tuhan. Di dalam rahimnya sudah ada benihnya.

"Sebaiknya kamu makan dulu, saya tahu kamu belum makan Gelora. Tidak baik bagi Ibu hamil kelaparan," ucap Dokter itu lagi. Kini ia menyodorkan semangkuk bubur kepada Gelora, bubur yang sudah ia pindahkan ke dalam mangkuk.

"Terima kasih," ucap Gelora penuh haru. Ternyata banyak sekali orang baik yang mengelilinginya.

"Mari makan bersama Dok," ajak Gelora saat Rina ingin pergi.

"Hm baiklah," sahutnya.

Akhirnya mereka berdua makan bersama dalam keadaan hening, tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Beberapa menit kemudian makanan Gelora telah habis, bahkan meminum air hingga tandas. Membuat dokter Rina mengeleng takjub, ternyata si Bumil sangat haus dan kelaparan. Tak lama kemudian dokter Rina telah menghabiskan makanannya juga.

"Bagaimana, apakah mau saya antar?" tanyanya di sela-sela kesibukannya memasukkan sampah ke dalam kresek tadi.

"Tidak perlu Dok, terima kasih," jawab Gelora pelan. Ia tidak ingin berita kehamilannya diketahui mertuanya. Dia juga masih ragu dengan persepsi dokter Rina, yang mengatakan bahwa ia sedang mengandung. Mengingat kandungannya lemah, akibat kecelakaan dua tahun silam.

"Boleh saya bertanya, Dok?" Gelora menatap ragu Rina. Masih terlihat tahu untuk mengutarakan niatnya.

"Bisa?" jawab dokter Rina membalas tatapan Gelora.

"Apakah suami saya akan mengalami koma, dalam jangka waktu yang panjang?" Tak sadar air matanya kembali meluruh, saat mengingat beberapa menit yang lalu suaminya dikatakan koma.

"Saya tidak tahu. Kalau Tuhan berkendak suami kamu dapat segera pulih, oia saya mempunyai rumah sakit rujukan untuk Pradit jika kamu mau," jawab wanita itu panjang lebar.

"Kemungkinan besar suami kamu dapat pulih, karena perlengkapan alat rumah sakitnya yang jauh lebih lengkap dapat menunjang kesembuhan suami kamu," lanjutnya membuat Gelora diam. Ia masih mempunyai harapan untuk suaminya pulih.

"Katakan Dok, di mana rumah sakit itu. Saya akan melakukan apa pun untuk kesembuhan suami saya. Apa pun itu," jawab Gelora mantap.

"Bawah dia ke Singapura," ucap dokter Rina.

"Mengenai biayanya akan lebih mahal dibandingkan di rumah sakit Medika Raya," beritahunya lagi.

Kini Gelora semakin gelisah memikirkan biayanya. Ia mempunyai beberapa tabungan bersama suaminya, namun ia sudah mengambil setengahnya untuk biaya administrasi tadi, saat Radit akan di operasi. Sekarang tabungannya sisa setengahnya. Memang suaminya itu pengacara, tetapi masih tergolong pengacara junior dan gajinya belum seberapa pengacara seniornya. Apakah uangnya itu cukup, entahlah Gelora bingung?

To Be Continue.