webnovel

PILU DALAM PELANGI

Raka adalah seorang indigo. Selain itu dia juga memiliki kehidupan yang cukup kelam. Setelah masa kecil yang terbuang oleh orang tuanya sendiri, masa remajanya ditinggal oleh sang Nenek yang tulus merawatnya. Dan masalah baru yang menanti adalah bagaimana Dia menata hatinya karena sebuah perasaan yang seharusnya tidak pernah ada mulai tumbuh. Bagaimana kehidupan Raka selanjutnya. Silahkan update novel yang dirilis setiap harinya.

Donny_Saputra1995 · Horror
Not enough ratings
6 Chs

Ch 02 : ASRAMA SEKOLAH (01)

Tak terasa matahari sudah begitu terik yang menandakan waktu sudah siang. Aku ingat sebentar lagi masa SMA Ku akan segera dimulai. Setelah lulus SMP, untuk menyiapkan kehidupan SMA Ku, Aku sengaja mencari beasiswa karena Aku ingin membanggakan Almarhumah Nenek dan menunjukkan bahwa Aku mampu menjadi anak yang mandiri. Meskipun masa itu Aku hampir tak memiliki teman, namun Aku adalah anak yang cukup memiliki prestasi akademis. Sesungguhnya hal itu Aku dapat tidaklah mudah. Aku membutuhkan waktu tiga tahun untuk menggapai itu semua.

Karena semangatku ini, akhirnya Aku mendapatkan beasiswa di sebuah sekolah yang paling bergengsi di Kota ini. Letaknya lumayan jauh dari Desa tempatku tinggal. Namun, pihak yayasan sekolah menyediakan asrama bebas biaya bagi Mereka yang ingin tinggal dan nantinya Aku akan tinggal disana agar Aku lebih bisa fokus belajar. Sekolah itu sendiri merupakan sekolah kejuruan yang mana dasar akademis yang diajarkan disana nanti akan difokuskan ke minat keahlian masing- masing siswa dan nantinya Aku akan belajar akademis pariwisata bidang tata boga karena Aku selalu memiliki cita- cita menjadi seorang chef dan memiliki restoranku sendiri.

" Eh... Ka. Sebentar lagi kan sekolah sudah dimulai. Kita mau pindahal kapan ke asrama?", tanya Arga.

Jujur saja, anak yang mampu masuk sekolah itu ada tiga kategori. Mereka yang memiliki otak, Mereka yang memiliki uang dan Mereka yang mempunyai koneksi orang dalam. Aku awalnya bertanya- tanya bagaimana Arga bisa masuk kesana, dan ternyata alasannya adalah kakak sepupunya adalah salah satu guru disana yang sengaja meminta Arga untuk sekolah disana dengan harapan nantinya Dia akan menjadi sukses setelah lulus. Namun terlepas dari semua itu, Aku sangat bersyukur. Dia tak pernah jauh dariku.

" Kayaknya besok Kita gapapa Ar kalo mau berangkat sih. Aku juga sudah menyiapkan keperluanku. Lagian kan seminggu sekali Kita pulang, jadi nggak perlu banyak bawa barang."

" Boleh sih. Nanti Aku kasih kabar sepupuku dulu kalo Kita berangkat besok. Jadi biar dijemput diterminal. Tapi Ka, Kamu tau kabar miring soal SMK Mentari sama asramanya nggak?"

" Enggak tuh. Yang Aku tau sekolah itu cuma Sekolah terbaik yang punya fasilitas yang sangat mendukung buat membentuk karakter siswanya. Udah itu aja."

" Ya ilah Ka. Siapa juga yang nggak tau soal itu. Tapi kata sepupuku nih, sering ada siswa ato siswi yang meninggal disana, entah bunuh diri atau meninggal karena kecelakaan. Dan kebanyakan kejadian itu berlokasi di area asrama."

" Ah biarin aja Ar. Toh kalo misal ada sesuatu lebih baik jangan terlalu banyak ikut campur. Kematian itu takdir, tapi seandainya dibalik kematian itu ada sebuah dosa yang dipanen, yang harus bertanggungjawab kan yang panen."

" Iya juga sih. Ya udah deh Aku balik dulu ya. Mau siap- siap buat berangkat besok sekalian kasih kabar sepupuku."

" Eh bentar, Kamu jangan kabur dulu. Kamu belum kasih tau ambil jurusan apa loh disana, Arga!"

" Udah nanti juga tau sendiri. Aku pulang dulu ya. Dada Raka, jangan cemberut lagi. Nanti manisnya ilang jadi serem."

Dia melangkahkan kakinya menjauh seiring kata- katanya yang dilontarkan membuat telingaku memerah. Hal itu bukanlah lah hal yang baru bagiku. Tapi tetap saja sedikit membuatku sedikit kesal.

" Kamu mau sampai kapan tak mau jujur padaku. Tingkahmu itu sejujurnya membuatku malah lebih takut."

Kembali Ku tutup pintu dan kulangkahkan kakiku memasuki kamar untuk mengecek kembali barang yang nantinya akan Aku bawa. Tak berapa lama, tercium aroma wangi bunga sedap malam yang begitu kuat. Aku sangat mengenal tanda ini. Beberapa detik kemudian muncul sosok wanita cantik berdiri dihadapan jendela kamar datang dengan senyuman berpakaian kebaya yang sangat indah melirik ke arahku. Namanya Nyi Arum. Jin wanita yang menunggu salah satu pilar rumah ini. Sesuai namanya, ketika dia datang atau berada di sekitar sini pasti akan tercium aroma harum bunga.

" Nyai dari mana kok datang dari jendela?"

" Kenapa, Le? Kaget?"

" Enggak Nyi. Nyai kan kalo dateng pasti ada wangi- wangian yang duluan kecium. Nggak kayak Ki Maung. Dateng aja langkah kakinya nggak ada suara."

Dengan senyuman yang sangat indah dia melangkahkan kaki menemaniku duduk ditepian kasur.

" Kamu mau kemana kok berkemas?"

" Oh.. Sebentar lagi sekolah akan dimulai Nyi. Karena jaraknya sangat jauh, jadi aku memutuskan untuk tinggal di asrama sekolah. Nanti setiap hari sabtu Aku akan pulang."

" Akhirnya Kamu sudah bisa tersenyum. Kamu yang rajin ya sekolahnya. Biar Kami yang menjaga rumah ini. Kamu akan bersekolah dimana Raka?"

" Di SMK Mentari Nyai. Seharusnya nyai tau. Sekolahnya tak jauh dari monumen kota ini."

Aku menatap dalam wajah terkejut makhluk yang berada disampingku itu. Mimik wajahnya berubah dari senyuman yang merekah seketika berubah menjadi wajah yang mengkhawatirkan suatu hal.

" Nyai kenapa?", tanyaku.

" Saya baik- baik saja. Oh iya, ini. Bawalah."

Sebuah kalung dengan liontin batu berwarna merah yang begitu cantik diberikannya padaku. Matakupun kembali menatap Nyi Arum penuh pertanyaan. Tanpa menunggu lama, Nyi Arum pun menjawab semua pertanyaanku.

" Itu kalung pemanggil. Jika suatu saat nanti Kamu menghadapi sesuatu yang tak mampu Kamu hadapi, Kalung itu akan membawa Kami ketempat Kamu berada. Kami akan datang membantumu. Sebelumnya, berikan setetes darahmu sebagai tanda ikatan. Agar kalung itu dapat kembali kesisimu jika Kamu lupa membawanya."

" Memangnya ada apa Nyai? Apakah ini berhubungan dengan cerita miring soal sekolah itu?"

" Itu bukanlah dari ceritanya. Tapi tanahnya. Ada banyak hal tabu di tanah itu. Sebisa mungkin hindarilah masalah. Saya hanya bisa berpesan itu saja."

" Baik Nyai. Terima kasih atas peringatannya."

Seketika sosok itupun pergi meninggalkanku sendirian. Dari perkataan makhluk gaib saja Aku tak merasakan adanya kebohongan, Aku pun berpikir cerita itu pasti ada penyebabnya. Tak selang berapa lama, Aku kembali dikagetkan dengan sosok lain yang datang tanpa suara. Sosok itu berbentuk ular putih dengan mata merah serta sebuah cincin emas terpasang diekornya. Dia hanya diam melilitkan tubuh memperhatikan pembicaraanku dengan Nyi Arum sedari tadi. Selain bentuk ini, dia juga sering memakai wujud manusia pria remaja dengan pakaian casual kekinian. Namanya Seno.

" Haduh... Sejak kapan Kamu melilitkan badan disitu? Bikin orang jantungan aja. Nggak Kamu nggak Ki Maung bikin kaget aja kerjaannya."

" Heleh, mana nggak jantungankan? Nyawa Kamu itu masih panjang Raka. Hahahaha"

Diapun berubah kebentuk manusianya dan puas tertawa melihatku sangat terkejut menyadari kehadirannya.

" Aku sedari tadi disana bahkan sebelum Nyi Arum datang. Kamu saja tak mengetahuinya. Hanya sibuk dengan kegiatanmu saja."

" Biar saja. Emangnya Kamu mau ngapain?"

" Eh beneran Kamu mau sekolah ditempat angker itu?"

" Angker gimana? itu sekolah bagus buat manusia. Kita kan beda alam. Selagi tidak mengganggu kan mana mungkin mereka terusik. Toh itu sekolah kan udah berdiri lama."

" Buat kamu tidak ada istilah angkernya, Aku lupa. Iya juga sih. Toh kan setiap waktu tertentu akan ada yang ditunjuk sebagai tumbal. Aku ikut Kamu saja ya, mungkin ada hal menarik yang akan terjadi nanti disana menjadi hiburanku."

" Nggak bisa. Nanti yang ada ganggu ketenangan orang."

" Ayolah Raka. Boleh ya? Kan yang bisa melihatku cuma Kamu."

" Maka dari itu. Dah Aku mau ke warung dulu beli bahan makanan buat nanti malem sekalian mau nyekar. Kamu Jaga rumah saja."

" Yah Raka..."

Kakiku pun melangkah tegas meninggalkan siluman itu sendirian. Seperti ini lah kehidupan ku. Ketika Aku berada dekat manusia, Mereka tak akan kuperdulikan. Hanya ketika Aku sendirian saja, Mereka Aku anggap ada.