webnovel

Once Upon A Time

     Pada zaman dahulu, hiduplah seorang wanita yang cantik. Wanita tersebut berasal dari salah satu keluarga kaum peri*. (*Kaum peri adalah kaum yang memiliki sayap, mempunyai kekuatan khusus, juga memiliki kemampuan regenerasi sel yang hebat.) Wanita tersebut bernama Catherin Braven.

     Di suatu siang yang panas, Catherin, yang sudah basah kuyup karena keringat yang tak hentinya mengalir dari pori - porinya, berjalan menuju sebuah kolam air tawar yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Dia berniat untuk merendam sejenak badannya di sana, sehingga ia dapat melepas kepenatan yang sedang mencoba membunuhnya itu.

     Setelah berjalan beberapa langkah, wanita dengan mata birunya yang indah itu sampai di kolam air tawar tersebut. Ia pun merendam seluruh tubuhnya ke dalam sejuknya air tawar di kolam itu.

     Setelah beberapa saat merendam badan di situ, kini Catherin telah merasa segar dan bugar seperti biasanya. Sebelum datang ke kolam, ia tak lupa membawa pakaian yang akan dikenakannya selepas berendam. Diambilnya pakaian yang baru dan bersih itu dan dengan perlahan - lahan dikenakannya pakaian itu di badannya.

     Kini, ia tampak lebih cantik dari penampilannya sebelumnya. Ia lalu melipat kembali pakaiannya yang telah basah kuyup oleh keringat tadi, lalu mulai beranjak meninggalkan tempat itu.

     Dalam perjalanan pulang, Catherin dikagetkan dengan suara semak - semak yang bergerak - gerak kecil. Dia berusaha keras untuk melihat siapakah gerangan fi balik semak - semak itu. Namun, jarak pandangannya terlalu jauh sehingga membuktikannya untuk melihat dengan jelas ke arah semak belukar. Akhirnya, Catherin memutuskan untuk menjeda perjalanan pulangnya dan pergi ke tempat yang membuatnya penasaran itu.

     Dengan perasaan takut bercampur penasaran, wanita bertubuh ramping itu berjalan perlahan namun pasti mendekati semak itu. Tempat yang hendak mendatanginya itu tidaklah terlalu jauh dari tempat ia berdiri. Dia pun sampai. Dan, wah! Betapa terkejutnya Catherin.

     Di balik semak belukar itu, terdapat seekor kelinci yang sangat cantik. Tubuh kelinci tersebut cukup besar. Bulunya berwarna putih bercampur kuning di bagian ekornya. Namun, yang membuat Catherin tiba - tiba terperanjat kaget adalah karena di bagian kaki belakang kelinci tersebut, tertancap sebuah panah kayu yang tajam. Darah terus mengalir melalui luka akibat tusukan panah tersebut.

     Dengan cepat, Catherin mendekati kelinci itu dan tergeraklah ia oleh rasa belas kasihan. Ia lalu mengambil dengan perlahan - lahan kelinci tersebut dengan tangannya. Lalu dielus - elus kepalanya. Kelinci itu pun terlihat menurut saja dan tidak melakukan sikap perlawanan. Akhirnya, dicabutnya anak panah itu dari kakinya dan dengan bajunya yang kotor, Catherin menutup bekas luka si kelinci manis tersebut.

     Catherin lalu berdiri sambil menggendong kelinci tersebut di lengannya dan berjalan pulang menuju rumahnya. Ketika Catherin sedang berjalan pulang, tiba - tiba muncul seorang pria dari belakangnya. Pria itu bertubuh tegap tinggi, berambut biru yang juga senada dengan warna matanya, dan di tangannya tergenggam sebuah busur panah. Dengan bertelanjang dada, pria itu mendekati Catherin dan dengan napas yang tersengal - sengal, ia memohon agar Catherin bisa berhenti sebentar.

     "Halo, nona cantik," sapa pria tak berbaju itu sambil perlahan - lahan mengatur napasnya agar normal kembali.

    "Jangan menyapa aku seperti itu. Cukup panggil saja namaku," kata Catherin dengan menunjukkan ekspresi wajah jengkel.

     "Baiklah. Kalau begitu maumu," jawab pria itu. "Tapi, bagaimana caranya aku memanggilmu tanpa tahu siapa namamu?"

     "Catherin. Namaku Catherin Braven," jawabnya singkat.

     "Nama yang indah, nona Catherin. Namaku Axelle Arion, biasa dipanggil Axe" ujar si pria memperkenalkan diri.

     "Kalau begitu apa urusanmu denganku? Aku tak punya banyak waktu. Dan sekarang aku sudah harus pulang, atau tidak orangtuaku akan mengkhawatirkan aku. Di samping itu, aku memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah" tegas Catherin kepada Axe.

     "Aku datang kepadamu untuk mengambil kelinci itu!" tandas Axe dengan nada memerintah.

     "Tak bisa begitu!" ujar Catherin yang tak mau melepaskan kelinci itu. "Kelinci ini telah mengalami luka yang sangat parah, dan dengan susah payah aku telah menyelamatkan dia dari maut. Lalu, dengan enak kau datang dan ingin mengambilnya dari padaku? Tak bisa!" sekali lagi Catherin menolak permintaan pria yang baru ditemuinya itu.

     "Tapi itu adalah hasil buruanku. Aku telah seharian berburu, dan kelinci itu adalah satu - satunya hasil tangkapan dari perburuanku sepanjang seharian penuh ini. Aku tidak bisa membiarkan kamu membawanya pulang!" Axe pun tak mau kalah memberikan perlawanan.

     "Jika aku kembalikan kelinci ini kepadamu, akan kamu apakan hewan malang ini selanjutnya?" tanya Catherin dengan cepat dan dengan ekspresi penuh kegusaran.

     "Sudah pasti akan aku jadikan kelinci itu sebagai santapan malam ku. Sejak pagi aku belum makan apa - apa, Catherin."

     "Tak akan aku biarkan hewan yang telah kamu lukai ini masuk ke dalam perut mu itu! Tak sudi!" kata Catherin sambil meludah ke tanah.

     "Kalau begitu, apakah kamu akan memberikan makanan untuk aku makan nanti malam?" tanya Axe, penasaran dengan jawaban Catherin.

     "Aku punya solusi untuk masalah itu."

     Catherin lalu terdiam sejenak. Begitu pun dengan Axe yang ikut terdiam. Selama beberapa lama, kedua orang tersebut sama sekali tak berbicara apa pun. Yang mereka lakukan hanyalah terdiam seribu bahasa. Axelle yang semakin tak sabaran tiba - tiba menunjukkan wajah geram. Matanya melotot lebar ke arah wanita yang sedang berdiri seperti patung di hadapannya itu. Dengan cepat, Catherin menangkap sinyal ketidaksabaran yang diberikan oleh Axelle. Akhirnya muncullah sebuah ide di kepala wanita kaum peri itu.

     "Aku dapat memberi makanan dan minuman yang dapat membuatmu kenyang untuk malam ini, bahkan mungkin bisa untuk membuatmu tak makan lagi selama seminggu. Tapi..." kata Catherin memberikan sebuah penawaran, namun dengan cepat dipotong oleh Axe.

     "Tapi apa, apa syaratnya? Cepat katakan kepadaku!" ujar Axe yang sudah mulai bosan.

     "Kamu harus merelakan kelinci ini untuk dibawa pulang olehku."

     "Kalau itu saja, maka akan dipatuhi syaratnya. Kamu boleh membawa pulang kelinci itu bersamamu. Tapi sebelum itu, makanan dan minuman yang dijanjikan olehmu kepadaku harus ada di hadapanku dahulu. Baru setelah itu, kamu boleh pulang." kata Axe, kini telah memberi sebuah syarat baru kepada Catherin.

     "Itu merupakan hal yang mudah. Tak sulit."

     Catherin lalu mencabut sehelai rambutnya, lalu menyerahkan sehelai rambutnya kepada Axe seraya berkata, "Bawa pulang rambut ini ke rumahmu. Setelah sampai di rumah, letakanlah rambutku ini di atas meja makanmu. Masuklah ke dalam kamar tidurmu, lalu sebutkan namaku sebanyak tiga kali. Setelah itu, kembali dan lihatlah apa yang ada di atas meja makanmu."

     "Aku tak percaya omonganmu! Omong kosong apa ini?" bentak Axe kepada Catherin.

     "Percayalah kepadaku. Kalau kamu masih tak percaya apa yang aku katakan, pulang lah dan lakukanlah apa yang telah aku instruksikan kepadamu tadi."

     "Kalau begitu maumu, akan kuturuti. Tapi, jangan sampai apa yang kamu katakan adalah sebuah kebohongan belaka. Aku akan mencarimu dan membawamu ke rumahku. Akan ku jadikan kau sebagai istriku. Janji?" kata Axelle, membuat sebuah perjanjian.

     "Tak akan aku ingkari perjanjian ini. Aku akan tetap menepati janjimu padamu. Aku akan tetap bersedia menikah dan menjadi istrimu, jika janjiku padamu tak kutepati," balas Catherin kepada Axelle.

     Kedua orang itu lalu saling mengaitkan kelingking mereka dan setelah itu mereka pun pulang ke rumah mereka masing - masing.