webnovel

Hipotesis

"Ah sial, harusnya aku biarkan saja kalian mati di lantai atas."

***

Dalam keheningan ruangan. Hanya ada satu penerangan cukup untuk menerangi kami, kami duduk melingkar satu sama lain menyimak perkataanku. Menyimak pembicaraan tentang penyerbuan yang akan kami buat sesaat lagi. Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiranku. Jelas ini bukan jebakan yang sama seperti yang sudah kulakukan bersama Rayyan dan Rachel. Aku ingin jebakan ini lebih sempurna di berbagai sisi. Mulai dari tata letak bangunan asrama ini, jumlah orang di menara ini, peralatan apa saja yang kita punya, berapa teman kita yang sudah gugur sebelum pertemuan ini, timing pas dan tentunya jalan keluar yang harus kita amankan terlebih dahulu.

"Pertama-tama gue tanya berapa jumlah kalian saat masuk ke sini? Atau paling nggak di manara ini ada berapa orang? Kita hitung dulu jumlah keseluruhan kita berapa, lalu kita kurangi berapa teman kita yang udah mati. Setelah nemuin jawabannya kita bisa enak leluasa pindah-pindah tempat. Kalau ada orang diluar hitungan jumlah temen-temen kita, orang itu pasti psikopatnya." Kataku menjelaskan.

Mereka mendengarkan perkataanku.

"Kalau jumlah pasti keseluruhan gue gak tahu. Tapi kalau dilihat dari kendaraan yang terparkir, 3 mobil dan 5 motor, kurang lebih 19-20 orang keseluruhannya. Kalau di menara ini ada Sembilan orang termasuk lo. Kausar,Yasmine, Eugine, Tsaqib, Haqi, Ulvan, Zakky." Kata Citra menyeka keringatnya. Matanya tertuju padaku.

Alisku naik, sedikit kaget sebentar. Zakky masih hidup? Oh syukurlah. Aku tidak melihatnya saat berada di sini. Kupikir ia masih di luar sana. Aku harus menyapanya. Batinku.

Aku berdiri setengah badan menghitung keseluruhan orang di hadapanku.

"Kautsar Zakky mana?" tanyaku.

"Mereka di atas, Kautsar gak mau turun ke bawah nggak tau kenapa. Kalau Zakky ia...."

Kalimat Yasmine tertahan sebentar. Seperti ada hal yang ragu untuk ia sampaikan padaku. Kenapa?

"Dia kenapa?" tanyaku penasaran akibat intonasi aneh Yasmine.

Yasmine melirik sekitar, matanya kedap-kedip berputar-putar. Ternyata tidak hanya Yasmine yang berkelakuan demikian. Kuperhatikan yang lainnya juga sama, menundukan kepala memasang wajah risau.

"Ia dikurung sementara ini Bal." jawab Yasmine akhirnya buka mulut.

"Maksud lo?" tanyaku.

"Dia dikurung karena coba mau bunuh kita. Gue nemuin Zakky dalam kondisi pingsan. Pas gue cek ternyata dia masih hidup akhirnya gue bawa ke sini. Kayaknya Zakky habis diserang orang, ada tusukan di perutnya tapi syukurlah nggak kena organ dalam, cuman menyamping alhasil lukanya ringan. Tapi saat siuman lagaknya berubah, parah banget sampai-sampai Yasmine yang disamping Zakky mau ditusuk parang. Beruntung Yasmine teriak dan menghindar lari kebawah." Jelas Eugine.

"Cih!! Orang itu memang gila. Omongannya ngelantur, teriak-teriak nggak jelas bikin semua jadi berantakan. Langsung gue hajar sampe pingsan kaparat itu." Gerutu Tsaqib ia meludah ke samping.

"Tsaqib sempat baku hantam ama Zakky. Suasana panik saat itu, Kausar juga bantu Tsaqib ngelawan Zakky. Alhasil Zakky kalah babak belur. Kita sepakat buat masukin dia ke ruangan atas, untuk sementara Zakky nggak bisa keluar, pintunya kita blokir. Situasinya memanas Bal, mungkin lo bisa ngerti." Tambah Eugine. Ia meremas kedua tangannya. Melihat Yasmine yang sedikit takut karena teringat peristiwa itu Eugine memeluknya, mengusap kepala Yasmine mencoba menenangkan.

Aku paham.

Melihat semua kondisi lama-lama semakin tidak beres aku berinisiatif mengunjungi Zakky setelah ini. Semoga saja ia merasa lebih baik setelah sekian lama tak bertemu denganku. Ada hal lain yang ingin kubicarakan dengannya.

"Apa jangan-jangan sebenarnya Zakky psikopatnya?" tanya Haqi. Semua orang menoleh ke arah Haqi. Pertanyaan langsung pada intinya.

"Bisa jadi. Tapi psikopat yang ketemu ama gue itu perempuan. Tapi bisa jadi juga nggak cuma satu psikopat kan, nggak menutup kemungkinan ada dua sampai tiga psikopat diantara kita." jawabku berpikir.

Semuanya tampak paham. Ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang kami masih belum tahu, sialnya kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa jadi kenyataan.

"Berarti ini semacam rencana pembunuhan kalau psikopatnya lebih dari satu. Masalahnya, apa motif mereka ngelakuin ini semua ? Balas dendam? ke siapa coba? kalaupun balas dendam ke satu orang kenapa yang kena semua orang. Sumpah ini bener-bener gila. Gak masuk akal, ada aja manusia kek gini. Bukan manusia lagi sekarang, tapi hewan!" Tsaqib naik pitam. Mukanya merah padam.

Aku berpikir lagi dan lagi. Mencari setiap jawaban dalam benakku juga pertanyaan-pertanyaan masuk akal mereka. Setiap orang pasti punya alasan melakukan hal apa saja, karena setiap makhluk diciptakan dan hidup dengan alasan tertentu. Hal ini yang memberikan garis tipis membedakan sikap manusia dengan hewan. Manusia psikopat yang mungkin kejiwaannya menjadi alasan melakukan hal semacam binatang, tujuannya tak lain untuk memuaskan nafsu sensasi membunuh. Jika ini memang motif pembunuhan berencana juga ada alasan tersendiri mereka melakukan hal semacam ini. Dendam? Iri? Pembalasan? Jika demikian, apa bedanya mereka dengan binatang? Psikopat dengan nafsu membunuh karena sensasi atau semua ini sudah direncanakan oleh oknum pembunuhan berencana dengan motif tertentu. Sialan.

"Entah itu Psikopat atau bukan, yang jelas tujuan kita sekarang adalah keluar hidup-hidup. Karena dia teman-teman kita mati. Dan cuman dua tugas kita. Bawa keluar teman kita hidup-hidup dan kita balas perbuatan dia."

***

"Ada yang udah bisa hubungi polisi gak?" tanya Yasmine. Di sela waktu berdiskusi.

"Nggak bisa." Kata Ulvan.

"Gue udah cek hp beberapa kali, nihil. Di sini nggak ada signal. Kalaupun ada itu cuman sesaat lalu hilang dan nggak di sembarang tempat." Kata Citra.

Masalah yang rumit. Letak asrama jauh dari kampung sekitar. Jarak asrama ini dengan sekolah juga agak jauh, wajar saja bangunan ini terbengkalai. Jauh dari pemukiman, akses jalan yang terpelosok, susah sinyal. Manteb banget sekarang kita berada di kondisi paling apes.

Aku mengeluarkan ponsel milikku. Melihat pojok kanan atas memang tidak ada tanda-tanda sinyal masuk. Hanya icon signal yang berhias tanda silang. Baterai tinggal 50 %. Aku mengusap mataku, mencoba berpikir lagi.

Tunggu.

Aku teringat sesuatu. Melihat ke arah jam, tertegun sebentar. Benar juga, Meira menghubungiku lewat sms dan panggilan masuk, itu bertepatan pada jam 11.45. Itu tandanya Meira sudah berada di area asrama ini. Saat itu aku tidak fokus melihat jam berapa Meira mengirim pesan karena saat itu aku berada di jalan raya fokus mengemudi. Ku cek lagi riwayat panggilan masuk dan notif sms Meira.

11.50

Gotcha! Itu tandanya di area asrama ini masih ada tempat yang terjangkau sinyal. Kami bisa memanfaatkan hal ini untuk melapor ke polisi. Paling tidak menghubungi seseorang dan mengabarkan kondisi kita saat ini lagi butuh pertolongan.

"Kalian melakukan ritual pertama kali permainan ini, dimana?" tanyaku

Mereka semua menatapku heran.

"Pintu belakang gedung 10." Jawab Citra.

"Itu dia, tempat itu ada sinyal. Sewaktu Meira menghubungiku dia ngomong kalau udah sampai di dalam kompleks asrama dan mau ngelakuin ritual permainan. Walau suaranya sedikit patah-patah saat menghubungiku itu tandanya tempat itu ada sinyal. Itu udah lebih dari cukup buat kita lapor ke polisi, atau paling nggak hubungi seseorang yang bisa bantu kita. Gimana?" jelasku.

Semua mengangguk pelan, paham akan ideku.

"Bisa, tapi nggak jamin itu aman. Kata lo tadi nggak menutup kemungkinan psikopatnya lebih dari satu."

"Saranku, kita nggak bisa jadiin itu rencana utama kita sih. Tujuan kita sekarang adalah ngebuka gerbang depan dan kabur dari sini. Kita bisa lebih aman dan segera lapor ke polisi." Sahut Haqi.

"Terus gimana nasib teman-teman di luar sana? Yang masih terjebak di sini sementara kita keluar tanpa mereka tahu?" kata Citra.

Mulai ada perdebatan rupanya di sini. Pro dan kontra akan terjadi sekarang. Keadaan seperti ini memanglah wajar, tapi harus segera diselesaikan, apalagi sampai membuat suara gaduh. Tentu sangat berbahaya jika psikopat itu mengetahuinya.

Aku mengerutkan dahi.

"Kalau masalah buka gerbang lumayan merepotkan, psikopat itu udah ngunci rantainya beberapa lapis loh, gembok yang gantung juga sedikit besar. Butuh waktu lama, psikopat itu pasti sadar." Kataku.

"Kalau begitu tinggal kumpul bareng aja. Satu orang motong besi yang lain jaga. Beres kan?" kata Haqi.

Yasmine dan Eugine mengangguk. Sepertinya itu cara masuk akal dalam mengatasi gerbang depan. "Lagian kita punya Tsaqib, psikopat itu pasti mikir dua kali kalau nyerang. Nggak nyerang rugi kesempatan, kalau nyerang malah bonyok seluruh badan. Hahaha." Kekeh Haqi.

"Iya kalau berhasil motong mata rantainya. Kalau nggak gimana? Malah buang-buang waktu qi." Sahut Citra. Mendadak Haqi kikuk. Kita masih belum tau sebesar apa mata rantai di pagar itu. Dan itu masih menjadi rencana yang abu-abu jika dilakukan.

Astaga.

Aku berdehem. Pikiranku masih berputar-putar. Jika mengikuti rencana Haqi lantas bagaimana dengan temen-temen lain? Kurasa kita harus menemukan mereka terlebih dahulu lalu keluar. Setidaknya kita harus tau masih berapa orang yang selamat. Nggak bisa langsung pergi begini.

Hei! Batinku menemukan ide. Sebelum meninggalkan gedung dua, aku sempat melihat beberapa kawat berduri di atas pagar sudah hilang. Cukup ada jarak keluar pagar. Bagus. Bisa kita gunain.

"Masih ada satu cara tanpa buka gebang." Kataku.

"Apa?"

"Lompat lewat pagar. Ada kawat yang hilang di salah satu sisi pagar, tapi sebelumnya kita harus buat jalan kabur. Di gedung dua ada banyak meja dan kursi yang masih bisa digunakan, jarak gedung dua dengan pagar juga relatif dekat. Kita gunain itu. Caranya tinggal susun beberapa meja yang diangkut dari gedung dua. Agak tinggi sampai kira-kira bisa dibuat melompat keluar. Gimana?" jelasku.

"Karena nggak ada tangga ya. Hmm." Kata Ulvan.

"Kalau hati-hati nggak berisik masing-masing dari kita bisa angkat satu meja, itu udah lebih dari cukup."

Mereka menganggukkan kepala.

"Sembilan orang di bangunan ini. Total tersisa sepuluh atau sebelas orang yang masih di luar sana. Selanjutnya kita saling tuker informasi siapa aja yang kalian tau udah tewas sebelum ke sini. Karena nanti saat mulai rencana, kita enak bisa nentuin harus menyisir gedung mana terlebih dahulu buat nemuin mereka." Jelasku.

"Saat ini yang kutahu hanyalah Rayyan, Akmal di gedung dua dan Rachel yang sudah meninggal. Menurut informasi Eugine, Adlan, Abid dan Kholqi juga udah meninggal di gedung sepuluh. Total enam orang kita udah tahu. Sisa empat sampai lima orang lagi yang masih belum tau keberadaannya."

Aku harus memulai pembicaraan sensitif. Mau nggak mau ngomongin orang meninggal rada nggak enak kalau kita sendiri yang memulainya.

"Emang harus Bal? Ini sangat sensitif menurutku." tanya Haqi.

Mengapa Haqi menanyakan hal itu? sudah sewajarnya kan kita harus tau sama lain. Aku mulai heran mendengar ucapan Haqi barusan. Menatap wajah Tsaqib yang tak acuh akan arah pembicaraan ini membuatku menggenggam tangan dengan erat. Membuatku berpikir, apakah sejak awal setelah mendengar informasi dariku pikiran mereka hanyalah soal dirinya sendiri. Bagaimana caranya diri sendiri selamat, yang lain terserah.

Citra melihatku dan menyentuh genggaman tanganku.

Citra tau kalau saat ini aku tengah marah tapi dipendam.

"Haq. Kita masuk bareng ke sini, kita juga harus keluar bareng dari sini." Kata Citra tegas.

Semua terdiam. Sifat asli seseorang akan terlihat jelas ketika mereka diambang kematian.

Beberapa detik selanjutnya, muncul seseorang dari atas memandangi kami yang duduk di bawah. Dengan lantang dia ngomong.

"Kenapa nggak kita bunuh aja psikopatnya?"

Deg!

Kenapa orang ini datang mangacau lagi.

Secara kuantitas memang kami unggul. Tapi kuyakin psikopat juga memikirkan hal ini sebelumnya bisa terjadi. Dan selanjutnya pasti akan jadi lebih buruk kalau kita ikuti rencana Kautsar. Psikopat itu pasti punya rencana sewaktu-waktu ia dikeroyok seperti ini.

***

Di ruangan gelap gedung dua, Rayyan terbangun dari pingsannya. Ia batuk beberapa kali hingga berhasil membangunkan Akmal yang tengah bersandar. Akmal tertidur di ruangan depan menjaga pintu masuk ruangan. Rayyan mengernyitkan matanya, memandangi sekitar dengan pelan-pelan. Luka di punggung dan kepala terbalut kain putih dengan noda merah darah membuatnya kesakitan saat bergerak.

"Bal! Iqbal!" Rayyan kaget karena langsung teringat Iqbal.

Grrrk!!

Ada bunyi. Sesuatu mendekat.

"Siapa di sana?"

Akmal menyalakan lilin bangun hendak menyapa Rayyan. Rayyan yang melihat Akmal berjalan ke arahnya kaget bukan kepalang, pasalnya lilin yang dipegang Akmal menampilkan wajah bonyoknya akibat ulah Iqbal.

"Anjing! Mau apa lo sekarang?" Jerit Rayyan.

"Diem bego. Iqbal bakal balik. Lo nggak usah teriak-teriak."

Rayyan diam. Menatap wajah Akmal dengan geram. Rayyan nggak bisa memaafkan kesalahan yang dibuat Akmal sewaktu mereka datang ke sini.

"Kenapa? Lo marah?! Mau bonyokin gue juga? kayak Iqbal tadi? Hah." Sergah Akmal.

Mendengar perkataan Akmal Rayyan semakin kesal saja. Mengingat hubungan keduanya dulu saat SMA tidak begitu dekat bahkan seperti orang asing. Hatinya panas walau sekedar memandang wajah Akmal.

Rayyan menggigit bibir. Tangannya tergenggam erat udah siap nabok.

"Diam, dan selesaikan masalah. Bukan malah memperpanjang masalah." Batin Rayyan.

Ia mengurungkan niat tersebut.

Akmal balik, kembali ke depan. Tanpa berkata-kata.

"Iqbal ke mana?" tanya Rayyan.

"Nyusul yang lain dengan rencana gilannya, nanti bakal balik ke sini. Tungguin aja." Jawab Akmal.

Iqbal memegangi kepalanya yang sakit. Kenapa Akmal nggak ikut. Mungkin itu yang tengah dipikirkan saat ini.

"Lo kenapa nggak ikut?"

"Bukan urusan lo." Jawab Akmal ketus.

Sebelum Akmal hendak duduk kembali ada suara orang mengetuk pintu masuk. Akmal menoleh ke arah pintu. Memperhatikan sebentar. Tumpukan bangku kursi yang disusunnya tidak bergetar sama sekali. Tidak ada dorongan dari luar.

"Ada orang di luar?" tanya Rayyan.

Akmal tidak menjawab. Apa itu psikopatnya? Akmal masih belum tahu sepenuhnya. Tapi dengan jelas suara ketukan satu kali itu terdengar tidak asing dengan perintahnya pada Iqbal sebelum meninggalkan tempat ini.

"Iqbal kah?" gumam Akmal.

Ia bangun lagi, memeriksa lewat lubang kecil pintu, memang betul ada seseorang. Ia berdiri di depan pintu tanpa mengetuk lagi. Karena di luar gelap Akmal beranggapan kalau itu adalah Iqbal. Siapa lagi yang mengetuk pintu satu kali sesuai pesan yang ia sampaikan kalau bukan Iqbal.

Akmal mulai menyingkirkan satu persatu meja kursi yang menghalangi pintu. Hingga tersisa berberapa meja kursi yang menghadang, pintu itu didobrak dengan paksa seperti ada orang yang mendorong keras sekali. Dari balik sela pintu yang terbuka akibat dorongan itu terlihat kalau orang tersebut bukan Iqbal, tapi seorang perempuan dengan wajah penuh darah tersenyum ke arah Akmal. Senyumnya lebar hingga tampak gigi depannya seakan mengatakan kalau ia adalah mangsa berikutnya.

Joe!!

Akmal mendorong lagi meja yang tergeser secepat mungkin. Tapi karena tubuhnya yang lelah dan terluka mendorong beberapa meja terasa sangat menyiksa sekali. Pandangannya yang pusing lagi memar juga membuat Akmal merintih kesakitan.

Suara tawa dari luar.

Keadaan semakin mencekam. Tegang sekaligus berbahaya.

"Yan!!!" teriak Akmal memanggil Rayyan. Berharap bisa membantunya mendorong menutup pintu kembali.

Tidak ada jawaban.

"Yan!!!Bantu!!" Teriak Akmal sekali lagi bersamaan dengan dorongan keras. Rayyan keluar dengan menenteng balok kayu. Ia berjalan keluar ruangan dengan wajah datar. Akmal melihat Rayyan dengan heran.

BRAK!!

Dengan sekuat tenaga Rayyan langsung menghantamkan balok kayu pada Akmal tepat mengenai kepalanya. Saking kerasnya tubuh hingga membuat Akmal roboh seketika, tidak kuat menahan hantaman kayu tersebut. Darah keluar, kepala Akmal bocor. Pintu masuk terbuka, perempuan itu melihat Akmal dan Rayyan dengan senyum kemenangan.

"Bajingan." Kata Akmal. Sedetik kemudian, tanpa ampun Rayyan menghantam balok kayu berkali-kali ke wajah Akmal tanpa belas kasihan.

"Xixixi" kekeh Rayyan di atas wajah Akmal yang sudah hancur berantakan. "Mampus."

***