"Argh." Anna meringis kala ia sadarkan diri. Nyeri pada sekujur tubuh miliknya sudah tidak layak lagi untuk diperbincangkan.
Terlebih, sekarang tangannya diikat dengan kencang pada kaki ranjang. Sehingga tali nilon berwarna merah muda itu bisa saja menghentikan aliran darah pada nadi di pergelangan lengannya.
Tergeletak di lantai dingin begitu saja, sampai meringis ketika bangkit dan merasaķan ngilu pada kaki serta panas di area wajah, semuanya bercampur aduk saling berlomba siapa yang bertahan paling lama memberikan rasa sakit pada tubuhnya.
Atensi Anna pun mengamati dengan seksama. Ruangan suram besar yang hanya diisi satu tempat tidur dengan dua nakas portable putih di kedua sisinya. Lemari empat pintu berbahan plywood—juga sofa abu-abu serta meja bundar di dekat jendela.
"Akhirnya, bangun juga." Nathan baru saja keluar dari kamar mandi dengan terbalut handuk berwarna vintage taupe di perpotongan pinggangnya.
Berjalan menuju lemari seraya mengedikan bahu beruap sehabis berendam dengan air panas untuk membersihkan dua jenis darah yang menempel pada tubuh.
"Siapa kau?" tanya Nathan. Matanya menjelajah pada seisi alam lemari. Mencari pakaian yang cocok dikenakan ketika menyiksa wanita kumal di belakangnya nanti.
"Bagaimana kau tahu apa yang aku ucapkan, kau inteligen?" Semua pertanyaan Nathan tidak ada satupun yang dia jawab, Nathan hanya mangut-mangut kemudian dengan santainya memakai kaus oversize wheat secara terang terangan—tanpa canggung dan tidak tahu malu.
Meski wanita tidak terurus itu mencoba menutup mata dengan tenang.Setelah selesai dengan urusannya. Nathan menghampiri wanita ini dan mencengkeram kembali rahang yang bahkan belum mereda sakitnya.
"Jawab, aku—jalang!" Lagi-lagi sentuhan penghantar sengatan itu membuat bulir asin terus saja berjatuhan. Menjijikan dengan semua gambaran mengenai ingatan menyedihkan Nathan. Dia tersenyum miris untuk meledek laki-laki satu ini.
"Lepaskan dulu," tawarnya. Dia menaikan satu alis persis seperti Nathan waktu pertama kali bertemu dengannya. Ini benar-benar membuat Nathan Irendra merasa dongkol.
Sebab, pertama kalinya memberi sebuah kesempatan pada korban. Nathan menggosok tulang hidung, lantas berancang-ancang memberi sebuah tamparan yang lebih kencang dari sebelumnya.
"Aku bisa jadi kartu As mu, Nathan Irendra... " lanjutnya. Tangan Nathan sudah bersiap di udara, menunggu kejutan apa lagi yang akan diberikan wanita tersebut.
"Tiket untukmu menghancurkan tiga orang itu—adalah aku," tambahnya. Berbagai pertanyaan dengan rasa penasaran, membuncah serempak dalam diri Nathan. Wanita ini sepertinya banyak tahu mengenai kepelikan yang sedang terjadi pada kehidupannya.
Dia mengacungkan ikatan tangan tepat didepan wajah miliknya.
Saling tawar menawar dalam sebuah kesepakatan, melepas—atau tidak tahu sama sekali. Ini menyebalkan bagi Nathan Irendra! Karena butuh waktu lama untuk bisa menginterogasi seorang wanita yang selalu dilengkapi dengan sebuah adegan pingsan hingga membuatnya harus menunggu kembali.
Rasa penasaran menggerogoti setiap sel tubuhnya saat ini. Meski sempat berpikir lagipula akan pergi kemana wanita pincang ini jika dia melepaskan ikatannya. Mau dia lari berjam-jam pun. Nathan akan selalu bisa menemukannya hanya dalam hitungan menit.
Ini mengenai sebuah insting tajam miliknya, sering sekali dia membawa Crystal dan alam berlari di hutan lalu menyembunyikan mereka dengan baik jikalau terdesak.
Apa bisa dikatakan bahwa Nathan Irendra merupakan seseorang yang ahli dalam kegelapan. Dia malahan bisa mendengarkan suara berkilo-kilo meter hanya dengan menutup mata sembari fokus saja.
Berakhir untuk pertama kalinya memilih mengalah, Nathan Irendra melepaskan ikatan pada tangan wanita ini. Namun bukannya langsung mengatakan apa yang Nathan pertanyakan.
Wanita tersebut malah beranjak penuh kemenangan. Mengambil handuk yang baru saja dia pakai, kemudian bergegas pergi ke kamar mandi dengan cepat.
Cuma Nathan Irendra saja yang melongo dengan tingkah laku seorang tawanan. Bukannya gemetar atau takut—tapi malah seperti menantang adrenalin dengan memancing emosi seorang psikopat. Banyak hal yang Nathan Irendra bisa bilang ini adalah pertama kalinya.
Nathan baru saja akan menyusul ke kamar mandi ketika langkahnya terhentikan dengan panggilan masuk dari Alam. Memberikan informasi mengenai wanita tersebut yang merupakan seorang anak dari pengusaha pabrik parfum.
Ayahnya bernama Josen. Beliau terlilit hutang beberapa milyar kepada ayah Nathan—Crystian dua tahun lalu, kemudian saat ini hutangnya naik menjadi enam kali lipat dari hutang sesungguhnya. Berakhir dengan beliau yang menjual anaknya untuk membayar bunga terlebih dahulu sebanyak lima milyar.
"Kak, kau percaya magis?" tanya Alam disela laporannya. Berhasil membuat Nathan memijat kedua pelipis, sampai tubuhnya terasa berat dan memutuskan untuk duduk di sofa.
Menengadah menatap langit-langit kamar. Sebab, kenapa banyak sekali orang menyinggung magis akhir-akhir ini? Di jaman serba modern dan canggih, mana ada hal seperti itu.
"Hanya orang gila yang percaya," celetuk Nathan.
"Kau benar," timpalnya. Dia juga tidak percaya dengan hasil yang Ia dapat saat ini, sebab Ayah wanita tersebut 'Josen'—menjual anaknya pada ayah Nathan, bukan sebagai budak ataupun jalang. Melainkan sebagai seorang cenayang.
Nathan terkekeh pelan seraya mengangguk geli dengan penuturan Alam. Tidak ada laporan yang lebih mendetail perihal perkara ini, namun Ayah Nathan Irendra benar-benar menginginkan wanita tersebut.
Malahan Crystian sampai menyewa serdadu TNI AD cuma untuk menjelajah hutan papua sebagai alasan anak tirinya hilang.
Kemudian setelah mendapatkan wanita ini, para pengawal Cristian membawa dia dari Pusat Kesenjataan Kavaleri Kodiklat TNI AD yang ada di jalan ciremai. Lima mobil dikerahkan untuk mengawal keberangkatannya menuju rumah. Kemudian semuanya dikepung oleh pengawal Nathan—sampai berakhir di sini.
Klap! Akhirnya knop pintu kamar mandi terbuka. Nathan memperhatikannya dengan seksama seraya mendengarkan Alam. Sebab bukan hanya soal wanita saja Alam memberinya laporan. Tapi mengenai rencana selanjutnya untuk mengambil alih kembali barang yang sudah dicuri ketiga monster gila saingan Nathan tersebut.
'Dimana fokusmu Nathan!' batin Nathan berkoar agar laki-laki ini berfokus kembali. Dia terlalu mengamati wanita yang saat ini mengobrak abrik lemari bajunya. Dengan lancang mengambil selembar kaus ivory panjang, sisir serta kotak obat.
Setelah memastikan tidak ada lagi barang yang dibutuhkan. Ia pun kembali ke dalam kamar mandi. Tingkah berani dan menantang itu sukses membuat Nathan Irendra terkekeh.
"Ah, akan kupotong lenganmu nanti."
"Apa? Siapa—aku?" sontak Alam yang berada di seberang sana terkejut.
"Bukan, lanjutkan saja," sergah Nathan. Dalam perbincangannya dengan Alam malam ini, ada beberapa laporan yang membuat telinganya memanas, ada juga beberapa laporan yang membuatnya senang.
Termasuk laporan mengenai Zoger company karena akibat campur tangannya seorang Alam, perusahaan itu naik lagi dua persen dengan saham yang terus melonjak naik setiap bulannya.
Kemudian Crystal Irendra sedang dalam tahap pemahaman untuk memegang divisi humas, dia yang nantinya akan mengontrol keuangan di sana.
"Pastikan Zoger selalu bersih." akhir kata dari Nathan untuk Alam. Perusahaannya tidak boleh ada sangkut paut dengan mafia, obat–obatan atau terlibat dengan transaksi persenjataan. meskipun Zoger berkembang pesat jauh dari perusahaan lainnya. Itu karena hasil kerja keras Nathan dalam soal membangun serta mengelola.
Biarkan tangan adik–adiknya selalu bersih tanpa bercak dan noda apapun. Saudaranya harus bisa hidup normal dan tenang setelah dia menghancurkan ketiga orang ini. Mereka merupakan biang dari semua ketakutan dan siksaan—akar dari semua dera dan derita.
Suara knop pintu mulai terdengar diputar lagi dari arah dalam kamar mandi. Memunculkan presensi wanita yang dia tunggu. Perlu dua jam hanya untuk melakukan ritual bersih-bersih serta mengobati luka.
Cara berjalannya pun tidak terlalu pincang setelah diperban seadanya. Dia akhirnya duduk di pinggiran kasur membelakangi Nathan. Membuka nakas, kemudian mengambil sebilah pisau.
Nathan mendengkus sebal sebab kelancangan yang satu ini juga akan Nathan Irendra perhitungkan saat membunuhnya nanti.
"Dimana ini?" tanyanya membuka pembicaraan. Dengan sangat terpaksa, Nathan harus menghampirinya untuk mencengkram rahang yang akan menguras emosi.
Memperhatikan aktivitas jemari lentiknya sibuk berjelajah di surai panjang yang Nathan Irendra perkirakan sudah menghabiskan sebotol shampo miliknya.
Hingga setelah yakin serta sesuai dengan kepanjangan yang diinginkan, wanita itu memotong kasar rambutnya dengan pisau Nathan Irendra.
Sampailah dengan menyisakan rambut basah berwarna bark sepunggung atau lebih tepatnya setelah ditelisik dengan cermat berubah menjadi coklat latte terang.
"Lilac, bagian barat," sahut Nathan. Ia ikut duduk di sebelahnya. Memiringkan kepala untuk melihat wajah wanita yang sibuk bergumam setelah menyimpan pisau di atas nakas. Nathan sungguh sangat lengah kala memperhatikan wanita tersebut.
"Memperhitungkan jarak untuk berlari?" tanya Nathan.
"Ya," jawabnya tanpa ragu. Nathan tersenyum miris untuk jawaban konyol tersebut, lari kemana memangnya? Karena sebentar lagi wanita ini tidak akan punya kaki untuk bisa berjalan.
"Anna, namaku Anna," ucapnya.
Nathan terpaku saat Anna tiba-tiba saja menatapnya. Dia tenggelam dalam manik indah penggoda sejuta umat laki-laki. Sampai membuat Nathan Irendra kaku apalagi ketikaMn mengulas senyuman penuh pesona.
Jauh dibanding sebelumnya. Wajah lusuh, kumal—penuh peluh dan noda. Berbeda dengan Anna yang saat ini bersih berseri serta beraroma sabun lavender miliknya.
"Kau percaya Tuhan?" tanya Anna.
"Tidak." Nathan memalingkan wajahnya. Menatap daun pintu sebagai pengalihan, meski pada akhirnya dia mematri atensinya kembali pada Anna yang masih menatapnya. Manik Nathan benar-benar tertarik kuat pada pusat tata surya, tidak mau lepas dari iris coklat wanita bernama 'Anna' ini sekarang.
"Magis?"
"Tidak."
"Kutunjukan sebuah magis," ucapnya. Anna lekas berdiri dihadapan Nathan. Dengan lancang naik ke pangkuannya tanpa ada sebuah tolakan. Malahan Nathan Irendra terdiam ketika Anna mengusap leher belakangnya.
Membiarkan Anna mendominasi serta memanipulasi. Napas yang beradu kontras pun nampak membuat Anna menjadi ragu.
"Ini magismu... Menggoda?" tanya Nathan. Atensi mereka terus saja saling beradu meski sudah sangat berdekatan. Anna mengusap rahang tegasnya dengan gemulai sampai bergilir mengusap bibir Nathan Irendra.
"Bukan, tapi yang ini," jelas Anna. Ia dengan cepat menyatukan bibirnya pada Nathan Irendra. Memegang kedua rahang pria ini, hingga membuatnya saling ber kecup—termasuk Nathan yang mengikuti permainan pun ikut terjerumus dalam hasrat yang Anna pancing.
Membuat pria itu lengah serta ikut menghisap bibir Annastasia hingga tanpa sadar, cahaya seperti asap berwarna kuning keluar dari mulut Natham, terus terhisap masuk ke dalam tubuh Anna tatkala pria tersebut mengusap pahanya.
Semakin terdominasi dan tertarik kuat.
To Be Continued...