webnovel

Persahabatan yang Ternoda

Darel Emilio mengalami kesedihan yang mendalam ketika kekasih yang begitu ia cintai memutuskan dirinya. Sang kekasih merasa cemburu pada Larasati yang merupakan sahabat Darel sejak kecil. Darel tidak bisa memilih diantara keduanya dan akhirnya sang kekasih pun memutuskan hubungan mereka. Atas kesedihan yang ia alami, Darel pun menyalahkan sahabatnya yaitu Larasati. Ia merasa, Larasati adalah penyebab semua kekacauan ini. Karena rasa frustasi, Darel pun akhirnya melampiaskan kesedihannya pada Larasati. Ia menodai Larasati, sahabat yang dulu begitu ia sayangi.

Me_Tiuya · Teen
Not enough ratings
1 Chs

Awal Kekesalan

Cuaca hari ini begitu cerah. Langit biru terlihat sangat luas dan jelas. Burung-burung beterbangan tanpa hambatan.

Darel Emilio, pemuda berusia 20 tahun yang begitu tampan dengan tinggi badan 178 cm. Hari ini seperti biasanya, Darel Emilio akan menjemput sahabat baiknya yaitu Larasati. Gadis manis yang lahir empat bulan setelah Darel lahir. Larasati mempunyai tinggi badan sekitar 155 cm. Setiap hari mereka selalu berangkat bersama ke kampus.

Darel menyembulkan kepalanya dari kaca mobil. "Ayo," ucap Darel ketika Larasati baru saja keluar dari dalam rumahnya. Larasati tersenyum pada Darel dengan senyuman secerah mentari pagi ini.

Larasati membuka pintu mobil sport mahal berwarna merah milik Darel. Ia kemudian duduk di samping kemudi. "Nanti jangan menungguku. Aku ada kelas sampai sore," ucap Larasati.

"Aku tidak akan menunggumu. Kau terlalu percaya diri," balas Darel sembari mulai melajukan mobil sport miliknya.

Larasati hanya tersenyum mendengar ledekan sahabat baiknya ini. "Tunggu dulu! Sabuk pengamanku belum terpasang dengan baik."

Darel menghentikan laju mobilnya dan kemudian mulai membantu memasangkan sabuk pengaman pada Larasati. Wajah mereka begitu dekat. Jika mereka sepasang kekasih, mungkin ini akan menjadi adegan romantis bagi mereka berdua. Akan tetapi, bagi mereka berdua ini biasa saja. Tidak ada yang spesial dari kedekatan mereka.

"Kau jerawatan Darel. Hahaha." Larasati tertawa sambil menutup mulutnya ketika melihat pelipis Darel yang berada tepat dihadapannya berjerawat.

Darel kembali meluruskan posisi duduknya setelah selesai memakaikan sabuk pengaman pada Larasati. "Aku tidak perduli. Toh, jerawat sama sekali tidak akan mengurangi kadar ketampananku." Dengan percaya dirinya, Darel menyombongkan diri pada Larasati. Darel sebenarnya bukan orang sombong, hanya saja mereka berdua memang sering berdebat dan tak mau kalah satu sama lain. "Ya ya ya. Aku tahu," ucap Larasati sambil mendesah lelah.

Darel menghentikan mobil sport miliknya di area parkir kampus. "Nanti kau pulang jam berapa?"

"Aku tidak tahu. Mungkin … sekitar jam lima sore."

"Baiklah. Dengan begitu aku akan mudah menjawab jika orang tuamu bertanya."

"Aku sudah bilang pada mereka. Jadi kau tidak usah khawatir."

"Kau pulang bersama kekasihmu?"

"Iya. Tentu saja. Ah … senangnya," ucap Larasati sumringah.

"Ckckck. Hati-hati pada pria. Mereka berbahaya."

"Kau yang harus hati-hati. Jangan sampai merusak kekasihmu. Nanti kau dihajar orangtuanya."

"Ck … turun! Kau betah sekali di mobilku."

Larasati tersenyum. "Kau yang terus mengajakku mengobrol," ucap Larasati sambil membuka pintu mobil untuk keluar. Darel pun akhirnya ikut keluar dari mobil.

Tanpa mereka berdua sadari, tidak jauh dari sana sepasang mata indah sedang memperhatikan mereka berdua. Mata itu menyiratkan kecemburuan yang tidak bisa diungkapkan.

Darel masuk ke dalam kelas. Darel tersenyum. Di dalam sana sudah ada sang kekasih hati yang tengah duduk santai sambil membaca buku. Ia kemudian duduk di samping sang kekasih hati, Vanya Olivia. "Sudah lama?" tanya Darel. Vanya, gadis berperawakan tinggi itu hanya mengangguk tanpa menoleh pada sang kekasih yang duduk di sampingnya. Derel kemudian menempelkan kepalanya di atas meja sambil memperhatikan wajah cantik sanh kekasih yang sedang asyik membaca. Darel rasanya tak pernah bosan memandangi kecantikan sang dewi kampus ini. Selain tinggi dan cantik, Vanya juga merupakan siswi berprestasi di kampusnya. Ia merasa begitu beruntung karena bisa mendapatkan hati Vanya.

Darel dan Vanya telah menjalin kasih sejak semester pertama mereka kuliah. Mereka dipertemukan di kampus ini. Mereka berdua mengambil jurusan yang sama yaitu Ekonomi Internasional. Sementara Larasati, ia mengambil jurusan psikologi.

***

Derel dan Vanya duduk di kursi taman di bawah pohon yang rindang. Angin bertiup sepoi-sepoi mengusik helaian rambut sepunggung milik Vanya. "Kau sangat dekat ya dengan Laras?"

Derel menoleh pada sang kekasih yang sedang menatap lurus ke depan. Darel sedikit mengerutkan keningnya. Ia merasa sedikit aneh dengan pertanyaan Vanya. "Ya. Kau tahu kami berteman sejak kecil."

"Kau sangat menyayanginya?"

"Ya … tentu saja."

"Kalau begitu … kenapa kau malah berpacaran denganku? Kenapa tidak berpacaran saja dengannya?"

"Kau ini bicara apa?"

Vanya menoleh pada sang kekasih yang menatapnya dengan tatapan heran. "Kau menyayanginya dan kau lebih dekat dengannya. Kenapa kau tidak sekalian saja berpacaran dengannya?" Vanya berucap pelan namun penuh penekanan. Terlihat raut emosi yang terpancar di wajahnya.

"Kita sudah ratusan kali membahas ini, Vanya."

"Ya. Dan aku terluka melihat dirimu selalu dekat dengannya." Terlihat air mata mulai menggenang di pelupuk mata Vanya.

"Sayang … kau tahu aku hanya mencintaimu …." Darel mencoba meyakinkan Vanya.

"Tapi aku tidak sanggup jika harus melihatmu terus bersama wanita lain …."

"Kita berdua tidak memiliki hubungan apa-apa. Percayalah …."

"Tidak. Aku ingin hubungan kita berakhir cukup sampai di sini saja."

Darel membulatkan matanya. Ia tahu bahwa Vanya tidak pernah bermain-main dengan perkataannya. Darel tercekat. "Tidak. Aku tidak mau! Aku sangat mencintaimu, Vanya. Aku tidak mau kita putus …."

"Keputusanku sudah bulat dan aku juga sudah menemukan penggantimu." Vanya berucap dengan penuh keyakinan.

Darel tidak mau kehilangan kekasih yang sangat dicintainya. Tidak. Ia tidak mau. Darel menggenggam kedua tangan Vanya dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. "Apa yang harus kulakukan agar kau mau merubah keputusanmu, Sayang …."

Vanya menggeleng. "Aku tidak tahan lagi Darel. Sekarang kau bebas dekat dengan siapapun. Aku tak akan melarang."

Darel menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak akan terlalu dekat dengan Laras mulai sekarang. Aku berjanji."

Vanya kembali menggelengkan kepalanya. "Kau menyayanginya dan akan sulit untuk menjauh darinya."

"Aku menyayanginya seperti keluarga. Tidak lebih. Aku tak pernah mencintainya. Begitupun dia. Dia tidak pernah mencintaiku." Darel berkata sejujur-jujurnya. Namun Vanya kekeh dengan keputusannya.

Vanya tidak ingin berlama-lama lagi di sini. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan Darel dengan sejuta luka di hati.

Darel menatap kepergian Vanya dengan tatapan hampa. Ia merasa kehilangan separuh kebahagiaannya. Akan sulit membuat Vanya kembali padanya. Kecuali jika ada suatu keajaiaban dan Darel yakin itu muatahil. Vanya sangatlah berbeda. Sekali ia mengambil keputusan, maka tidak ada seorang pun yang bisa menggoyahkannya.

Setengah jam berlalu sejak kepergian Vanya dan Darel masih setia duduk di posisinya. Ia merasakan kehampaan yang begitu besar di hatinya.

Darel menatap sekeliling. Netra hitamnya tanpa sengaja menemukan objek yang mampu menarik perhatiannya, yaitu Larasati. Larasati sedang tertawa ceria bersama kedua sahabat perempuannya di kursi taman yang tidak begitu jauh darinya. Dan entah mengapa, hal itu berhasil membuat Darel merasa emosi melihatnya. Ia menatap Larasati dengan sorot mata penuh amarah. Ia mengepalkan tangannya kuat di atas paha sambil menatap lurus ke arah sahabat baiknya.

***