Mendengar ucapan Mas Sardi, Suyudi pun langsung merah padam kembali. Ia merasa tersinggung dengan maksud kedatangan Mas Sardi.
"Apa Di? Kamu mau melamar adikku? Kamu anggap apa adekku sampai berani-berani datang ke sini dan melamarnya. Kamu kira adekku itu sama dengan wanita yang kamu cumbui tiga hari di tempat haram itu? Mau sampai mati pun gak bakalan saya restui. Adekku terlalu baik buat orang seperti kamu."
Suyudi mencak-mencak. Ia melepaskan emosinya yang sejak tadi tertahan.
Mendengar kalimat panjang lebar yang diucapkan Suyudi, Mas Sardi pun menjadi merah padam. Jika bukan karena Ia sudah membawa niat baik pasti sudah melayangkan tinju ke arah suyudi. Namun ada Kabul disitu yang sedikit menenangkannya.
"Mas Suyudi. Sampean harus jaga kata-kata sampean. Jangan sampai kata-kata mas ini malah menjadi bumerang untuk sampean sendiri. Sampean kan tidak tahu berita itu benar atau salah. Lagian kami ini datang baik-baik. Kok malah di kira merendahkan. Kalau tidak menerima lamaran Sardi ya sampean tinggal bilang tidak bisa. Jangan ngomong yang macem-macem. Sudah. Ayo pulang Di. Nggak usah ke sini lagi. Entar di kira ngerendahin." Kabul yang semula tenang kini malah tersulut emosi. Ia Pergi begitu saja tanpa salam dari rumah Suyudi. Wito yang masih terkejut pun kemudian mengikuti Kabul.
"Permisi Di." Mas Sardi masih sempat pamit meskipun tidak mendapat respons dari Suyudi.
Mas Sardi mengejar Kabul yang berjalan cepat karena tersulut emosi. Lalu ia menepuk bahunya.
"Hahahha..." Mas Sardi terbahak. Ia tidak menyangka mempunyai teman seloyal Kabul. Padahal ia sendiri menahan diri untuk tahan cacian Suyudi. Tapi malah Kabul yang ambrol pertahanannya.
"Emosi aku Di. Arogan sekali orang itu. Wong adeknya juga bukan bidadari kok."
"Sudah sudah... wajar wong adiknya satu-satunya kok.. wajar."
"Wajar wajar apanya. Enggak memperbolehkan adiknya menikah dengan sembarang orang itu wajar. Tapi kalau maki-maki orang yang datang dengan baik-baik itu kurang ajar." Tukas Kabul menggebu-gebu.
Lalu Kabul pun berhenti dan menoleh pada Sardi.
"Kamu emang udah capek melajang Di? Kok tiba-tiba mau menikah? Berani sekali kamu. Aku aja belum berani."
Mas Sardi tak menjawab pertanyaan Kabul. Ia terus berjalan mendahului Kabul yang kesal karena tidak mendapat jawaban.
Sepulang dari rumah Suyudi, Sardi sebenarnya kecewa dengan hasilnya. Namun Ia cukup terhibur dengan adegan Kabul yang tersulut emosi. Selain lucu, itu adalah aksi heroik seorang Kabul yang selama ini terkenal pendiam.
Mereka berdua pun duduk di teras depan rumah.
Karena cuaca bagus dan masih belum terlalu sore. Kabul memutuskan untuk mampir sebentar. Sambil mendengarkan penjelasan Mas Sardi. Sejak tadi Ia sebenarnya sudah sangat penasaran.
Belum sempat Kabul menanyakan rasa penasarannya kepada Sardi, Ibu pun sudah keburu keluar.
"Bul, di sini kamu? Sudah lama?" Ibu tersenyum ramah pada Kabul.
"Ndakk Bu, baru saja. Baru nganterin Sardi dari...." belum sempat kabul menyelesakkan kalimatnya Sardi sudah memukul pahanya.
"Aduhh..." Kabul pun mengusap-usap pahanya yang terasa panas. Sementara Sardi menatap kabul dengan tatapan penuh arti.
Ibu yang menunggu jawaban Kabul pun menatap tingkah aneh mereka berdua.
"Dari nengok kebun jagung bu... ternyata panennya bagus ya.." Kabul tertawa canggung karena telah membohongi orang tua.
Setelah mendapat jawaban Kabul, Ibu pun berlalu dan masuk rumah.
"Kamu tuh memang ember bocor enggak bisa jaga rahasia. Dasar.!" Sardi pun langsung mengomeli Kabul yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
"Loh.. kamu yang aneh Sar.. mana aku tahu kalau itu rahasia. Wong kamu dari tadi ditanyain mlintir-mlintir kayak bambu kena angin." Kabul tertawa dengan peribahasa yang Ia buat sendiri.
"Heh. Aku ini baru mau cerita. Kamu nya aja yang enggak sabaran." Tukas Mas Sardi membela dirinya sendiri.
"Jadi gimana ceritanya." Lanjut Kabul yang tidak sabar.
"Sabar to kamu tuh Bul."
Lagi-lagi kabul di semprot oleh Mas Sardi.
Mereka pun merubah posisi duduk. Sehingga saling berhadapan. Sementara Kabul memperhatikan setiap detil yang di ucapkan Wito.
"Begini. Aku mau ikut transmigrasi."
"HAH!" Kabul yang terkejut sontak mendapat sebuah tampol kecil dari jemari Sardi.
"Diem. Jangan keras-keras"
"Iya iya.. memangnya kenapa kamu mau ke sana? Kenapa?" Tiba-tiba kabul dan bersifat kooperatif.
"Ya mau pindah saja. Cari hidup baru. Aku rasa disini sudah enggak ada yang tersisa buat aku."
"Ya tapi kenapa harus transmigrasi jonnn jon... kamu kira gampang itu mulai hidup baru. Di Sumatera lagi. Masih hutan di sana itu. Enggak dipikirin ke situ apa." Kabul ngomel-ngomel lagi.
"Diem dulu kamu." Timpal Mas Sardi.
Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam membawa dua gelas kopi dan singkong rebus dalam satu nampan.
"Wah... ini dia yang bikin melek." Seloroh Kabul membuat Ibu tersenyum dan Mas Sardi sedikit geli melihat tingkah temannya ini.
"Dimakan ya Bul, jangan disisain. Kalau kurang masih banyak di dalem." Timpal Ibu.
"Siap buk.." jawab Kabul sambil mengunyah singkongnya.
Ibu pun kembali ke dalam. Sementara Mas Sardi celingak-celinguk memastikan Ibu sudah masuk ke dalam dan tidak akan mendengar percakapan mereka berdua.
"Kanapa? " melihat gelagat Mas Sardi ,Kabul pun menjadi curiga.
Namun Mas Sardi masih belum menjawab.
"Enggak di izinin ya.?" Ucap Kabul sekali lagi.
Mendengar pertanyaan Kabul, Mas Sardi langsung menatapnnya.
"Kok bisa tahu?" Mas Sardi menatap Kabul intens. Sementara Kabul sibuk mengunyah singkong rebusnya.
"Kamu ini aneh. Orang dulu kamu mau jadi polisi tinggal berangkat saja enggak boleh. Apalagi ini enggak ada tujuannya. Selain melarikan diri kayak pengecut."
Kabul nyerocos sekenanya namun memang benar-benar mengenai hati Mas Sardi
Apa yang di katakan Kabul benar. Simbok pasti berat melepaskan Mas Sardi anak sulungnya untuk merantau ke tanah antah berantah. Karena itu Ia membutuhkan dukungan ayahnya untuk membujuk Simboknya. Sedangkan untuk mendapat dukungan ayahnya. Ia harus menikah terlebih dahulu.
"Masalah Simbok memang rumit Bul. Tapi bapak sudah setuju. Hanya saja aku harus memenuhi syarat. Itu yang susah."
Mata Kabul membelalak. Menyadari ternyata tujuan Mas Sardi mengajaknya untuk ke rumah Asri demi melamarnya adalah untuk memenuhi syarat dari ayahnya. Kejam sekali temannya satu ini. Dia akan menikahi wanita bukan karena mencintainya namun karena ia membutuhkan persetujuan ayahnya untuk berangkat transmigrasi.
"Gila kamu. Jadi kamu mau menikah hanya untuk memenuhi syarat bapakmu itu?"
Mas Sardi mengangguk dan menyesap kopinya pelan.
"EDAN! Enggak punya hati." Ucap Kabul lagi.
"Yang menyukai kamu kan banyak pilih saja salah satu." Usul Kabul memberikan solusi sekalipun Ia geleng kepala dengan tujuan temannya itu.
"Kamu benar yang menyukai saya banyak. Tapi karena masalah kemarin itu, ku kira pamor saya sudah luntur." Jawab Mas Sardi.
"Ya sudah pasang susuk saja." Mas Sardi yang menyesap kopinya hampir saja tersedak oleh ucapan sembarang temannya itu.
"Kamu yang gila Bul. Bukan aku. Dasar semprul kamu memang."
"Lah terus bagaimana. Kamu lihat Si Suyudi tadi? Kamu pikir semuanya enggak bakal sama?"
Mendengar penuturan Kabul membuat Mas Sardi menyadari. Bahwa dirinya sekarang memanglah sudah di cap buruk di mata orang desa. Dia yang tidak punya kesempatan untuk membersihkan namanya telanjur buruk di mata semua orang kecuali keluarganya dan temannya ini. Kabul.
"Permisi mas..." Masih asik bercengkrama dengan kabul tiba-tiba suara seorang gadis datang dari arah belakang Mas Sardi. Tepatnya di depan pintu masuk rumah.
Kabul sudah tersenyum sejak tadi. Sepertinya Ia terpana dengan gadis ini.
"Eh dek Ranti" Ranti hanya tersenyum menimpali sapaan Kabul.
Mas Sardi pun membalikkan badan. Ia melihat Rantimembawa sebuah ceting berisi jagung. Mas Sardk tahu, karena ini bukan pertama kalinya. Kalau diingat-ingat, akhir-akhir ini Ranti memang sering sekali datang ke rumah.
"Dek Ranti. Bawa jagung ya.." Mas Sardi pun beranjak dan mengambil ceting yanh Ranti bawa.
"Iya mas, ini hasil panen pagi ini, sudah di preteli." Jawab Ranti dengan sopan.
"Yasudah ini saya bawa masuk ya. Mau ketemu Simbok dulu?
Ranti menggeleng.
"Ndak mas, saya pamit dulu. Soalnya sudah sore."
Mendengar penuturan Ranti, Mas Sardi pun mempersilakan.
"Oh yasudah kalau begitu. Terima kasih ya. Akan saya sampaikan kepada Simbok"
"Iya mas. Sama-sama." Jawab Ranti sambil lalu.
Rantibp pun berlalu pergi.
"Sering ke sini ya?" kabul menimpali setelah kepergian Ranti.
"Iya akhir-akhir ini. Mungkin karena musimnya panen. Bapaknya dia kan kerja sama bapakku." Kabul hanya mengangguk-angguk.
"Kenapa enggak sama dia saja." Seloroh Kabul asal bicara sambil memisahkan singkong dari serat tengahnya.
Sardi hanya diam. Dari semua wanita, Sardi memang tidak pernah menuliskan nama Ranti. Selain karena Mas Sardi tahu Ranti tidak punya perasaan padanya. Sardi tahu bahwa Ranti itu gadis baik-baik yang akan terlalu kasihan menerima niat Sardi untuk mempersuntingnya.
"Ah.. tidak lah Bul. Saya sudah mempersiapkan enam nama. Si Asri sudah gugur. Berati tinggal lima lagi. Saya cuma punya waktu sampai akhir bulan ini. Karena minggu depannya sudah pemberangkatan. Masalahnya lima orang ini saya tidak tahu akan responsnya bagaimana. Saya hanya yakin sama perasan mereka kepada saya. Mereka yang saya nilai paling tulus sama saya. Tidak tahu kalau orang tua mereka modelnya seperti Suyudi"
Tutur Sardi pada Kabul yang memperhatikannya sejak tadi.
"Lalu rencana kamu apa?"
"Ya kamu." Mendengar dirinya ditunjuk membuat kabul memundurkan badannya. Dan memasang wajah pura-pura polosnya.
"Kenapa saya? Mau nikah sama saya?" Sardi terbahak-bahak mendengar temannya ini salah tangkap maksud dari rencananya.
"Edan po!. Tobat.. tobat... punya teman model kamu." Kabul semakin bingung dan wajahnya semakin kocak saja.
"Ya kamu bukan untuk saya nikahi. Untuk saya jadikan perantara. Antara aku dan orang tua mereka."
"Oh..." Kabul pun ber-oh ria mengetahui tugasnya kali ini.
Namun satu nama yang kini terpikirkan oleh Sardi. Yaitu Ranti. Apakah mungkin Ia bisa dijadikan salah satu kandidat calon istrinya?seandainya mungkin. Apakah Dia mau menerimanya?