webnovel

Dipertemukan Kembali.

Baru kali ini, ada yang mengatakan kalau dia cerewet. Dia justru lebih terkenal pendiam.

Setelah itu, Mila mengkompres beberapa luka memar di lengan Kevin, dan mengolesinya dengan salep yang sudah disiapkan sebelumnya.

"Udah selesai," ujarnya, dengan senyum menawan.

Membuat Kevin hampir, hampir saja terpesona dengan kecantikannya, sebelum dia sadar bahwa mengagumi gadis itu bisa saja menambah masalah dalam hidupnya.

"Ini salepnya nanti diolesin sehari tiga kali ya, Kak, sebelum tidur dan bangun tidur yang paling penting. Ah dan juga, coba Kakak lepas sepatunya."

"Mau ngapain lagi?"

"Lepas aja apa susahnya sih?! Atau mau aku yang lepasin? Tapi nggak jamin kalau aku pelan-pelan ngelepasnya, ya!" Mila sengaja memberi peringatan agar pria itu takut, sudah akan berjongkok di depan Kevin sebelum Kevin lebih dulu melepas sepatunya.

Membuat Mila hanya tersenyum tipis melihatnya.

"Tuh kan, pasti keseleo ini," katanya, saat melihat memar di pergelangan Kevin juga.

"Kakak tahan sakit nggak?" tanya Mila setelahnya.

"Kenapa memang?" Kevin mengerutkan dahi, membuat Mila kembali mendengkus, "Udah jawab aja kenapa sih Kak, tanya mulu dari tadi."

Lah kok jadi dia yang dimarahi? Padahal Kevin hanya bertanya karena itu kaki juga punya dia, bagian dari anggota tubuhnya. Terus apa salahnya kalau dia mau tahu tentang anggota tubuhnya sendiri?

"Mau ngapain sih kamu?"

"Oh!"

Mila mengeluarkan wajah sumringah, dengan tangannya menunjuk tepat di depan wajah Kevin.

"Kenapa?"

"Ciyee yang ngomongnya udah pakai kamu, bukan lo lagi." Kevin bahkan tidak sadar kalau dia baru saja merubah tata bahasanya pada gadis itu.

"Sini kakinya, biar aku pijit, ya!"

"Eh eh, nggak usah!" Kevin buru-buru menarik kakinya yang akan diletakkan pada paha gadis itu.

"Kenapa memang?" tanya Mila bingung.

"Nanti rok seragam lo kotor, kan kaki gue –"

"Aduh Kak, kalau seragamnya kotor juga bisa dicuci kali. Penting kaki Kakak itu harus diurut dulu biar nggak makin parah. Memang Kakak nggak kasihan apa sama orang tua Kakak yang pasti khawatir kalau ngeliat anaknya babak belur begini?"

Sekali lagi. Baru kali ini Kevin menemukan orang yang lebih memperdulikan orang lain daripada dirinya sendiri.

Bahkan Kevin juga tahu bahwa gadis di hadapannya itu pasti akan terkena masalah jika Mischa tahu Mila membantunya.

"Tahan ya Kak, agak sakit sedikit," katanya, seraya pelan-pelan mengurut kaki Kevin.

Sementara Kevin sendiri, dia lebih sibuk memandangi wajah cantik Mila yang berhasil membiusnya, daripada dengan rasa sakit di kakinya.

"Kak?"

"Ya?"

"Nggak sakit memang?"

"Apanya?" Kevin sedari tadi tidak fokus, karena terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri.

"Kakinya, padahal barusan aku benerin loh uratnya. Tapi kok Kakak nggak teriak sih?"

"Memang harus teriak-teriak?"

Mila menggeleng, seraya menatap Kevin dengan heran.

"Beneran nggak kerasa sakit?"

Kevin mengangguk. "Iya."

"ADUH!"

"Katanya nggak sakit tapi ngeluh," cicit gadis itu.

Mohon maaf, gimana tidak mengeluh kalau Mila sengaja menekan pergelangan kaki Kevin yang memar? Kevin benar-benar tidak paham dengan pemikiran gadis cantik di depannya itu.

Hei, apa Kevin baru saja mengakui bahwa Mila itu cantik?

"Pokoknya Kakak harus sering kompres kakinya pakai es ya, biar memarnya cepat hilang. Aku pergi dulu, sudah dijemput soalnya. Bye, Kak!"

Setelah mengatakan itu, Mila segera berlari menjauh dari Kevin yang masih memperhatikannya dari kejauhan.

O0O

Sejak kejadian di mana Kevin dikerjai oleh Mischa dan teman-temannya, Kevin lebih sering memperhatikan Mila. Karena gadis itu juga sering datang ke kelasnya.

Bukan untuk menemuinya, bukan. Tetapi untuk menemui Mischa yang kebetulan juga sekelas dengan Kevin.

Seperti saat ini, gadis itu tengah bersama teman-temannya di kantin. Heboh membicarakan tentang kompetisi dance nasional yang akan diadakan bulan depan.

"Mila, gue yakin kalo lo menang ini, lo pasti makin terkenal!"

"Iya sih, tapi ..."

"Tapi kenapa?"

Kevin dalam mode menguping, sengaja duduk di belakang Mila dan teman-temannya di kantin.

"Sepatu dance gue rusak, dan gue belum ada duit buat beli."

"Yaelah, lo kayak orang susah aja, sih, Mila! Minta sama bokap lo lah, pasti langsung dibeliin."

"Nah masalahnya, gue udah dikasih uangnya sama bokap!"

"Bagus dong! Jadi tinggal beli, terus masalahnya?"

"Masalahnya, kemarin uangnya udah gue pake buat biaya rumah sakit anak panti yang lagi sakit."

"Anak dari panti asuhan harapan yang sering kita kunjungi itu?"

"Iya," jawab Mila memelas, membuat Kevin jadi tergerak untuk melakukan sesuatu.

"Terus gimana dong?" tanya salah satu temannya lagi.

"Ya nggak taulah, Paul. Gue juga bingung ini!"

"Mau pakai tabungan gue? Eh tapi, tabungan gue udah berkurang karena gue baru beli make up kemarin," kata teman Mila yang Kevin tahu namanya Vega.

Kevin juga mengenalnya, karena Vega adalah anak dari salah satu sahabat ayahnya.

"Yaudah sih, gue nggak perlu ikut kompetisi kali ini nggak papa. Tahun depan aja gue ikut!"

"Tapi Mil, lo kan sudah menyiapkan diri dari bulan-bulan lalu buat kompetisi dance ini. Kan sayang!"

"Udah nggak papa, mungkin takdirnya gue nggak bisa ikut kali ini."

Sekali lagi. Perkataan Mila barusan berhasil membuat Kevin semakin jatuh dalam pesona gadis itu.

"Eh udah bel tuh, masuk kelas yuk!" Setelah kepergian Mila dan teman-temannya, Kevin segera mengeluarkan ponsel, menghubungi sekretaris ayahnya yang biasanya bertugas untuk memenuhi seluruh kebutuhannya.

***

"Vega!"

"Kak Kevin?" Vega terkejut saat melihat seniornya itu memanggilnya.

Padahal cowok itu sendiri yang berkata bahwa mereka harus bersikap seperti orang asing yang tidak saling kenal jika berada di sekolah.

"Ikut gue sebentar!"

"Eh eh, mau kemana Kak?" Vega semakin bingung saat cowok itu menariknya untuk ikut bersamanya di taman belakang sekolah.

"Ini."

Kevin memberikan sebuah kotak padanya, membuat Vega berhasil mengerutkan kening.

"Apa ini?" tanya Vega, sekalipun sudah jelas bahwa isinya pasti sepatu. Terlihat dari kotaknya.

"Gue titip itu buat Mila. Jangan bilang dari gue, bilang aja itu dari lo."

"Hah?" Vega terkejut, sekaligus bingung. Dari mana kakak seniornya tahu soal Mila? Oke, salah pertanyaan! Mila kan terkenal di sekolah ini, jadi siapa yang tidak mengenalnya?

Namun, cukup aneh mendengar cowok introvert seperti Kevin tertarik dengan urusan Mila. Apalagi saat Kevin berkata, "Jangan lupa juga, kalau Mila butuh apa-apa, lo minta aja sama gue!"

Setelah mengatakan itu, Kevin segera melangkahkan kaki pergi sebelum terhenti karena perkataan Vega padanya.

"Sebentar. Kakak barusan nyuruh aku jadi mata-mata sahabat aku sendiri?"

"Bukan mata-mata, tapi spy!"

"Apa bedanya, sih? Sama aja Kak!"

"Yaudah, pokoknya lo harus bantuin gue!"

"Ya tapi – "

Belum sempat dia menyelesaikan perkataan, Kevin lebih dulu memotongnya. "Kalau lo bantuin gue, gue akan penuhin kebutuhan make up lo tiap bulan."

Vega berpikir sejenak. Dia menatap Kevin lalu akhirnya menganggukkan kepala, menyetujui permintaan Kevin padanya.

"Oke, gue cuma perlu ngelaporin kebutuhan Mila ke lo, 'kan?"

"Yups!"

"Tapi nggak bohong 'kan soal make up-nya?"

"Memang gue pernah bohong?"

Vega hanya tertawa setelah itu. "Hehe nggak sih, Kak."

Sejak saat itu, sampai Kevin lulus dari sekolah SMA-nya, dia menjadi penggemar rahasia Mila. Bahkan saat dia sudah tidak berada di SMA itu lagi, Kevin selalu bertanya tentang Mila pada Vega.

Namun sayang, saat Mila lulus SMA, dia tiba-tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Kevin sudah mencoba mencarinya, tetapi tidak juga ditemukan. Bahkan Vega pun, dia tidak tahu di mana Mila. Yang Vega tahu, Mila memiliki masalah keluarga yang membuatnya harus pindah dari rumah lamanya.

Hingga beberapa tahun berlalu, tepatnya setelah sepuluh tahun berlalu ...

Di saat Kevin sudah mulai melupakan gadis yang menjadi cinta pertamanya itu, Kevin justru dipertemukan kembali dengan gadis itu dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.