Tangan Lintang menuntun milik Kemukus untuk mencapai miliknya. Namun, sebelum Kemukus mampu melesakkan bola ke arah gawang pertahanan Lintang, pertahanannya sendiri sudah jebol. "Maaf," bisiknya. Kemukus menunggu reaksi kecewa pada istrinya. Tetapi Lintang tidak kecewa, karena dilihatnya istrinya itu sangat menikmati dan sampai ke puncak rasa orang berolah asmara.
"Terima kasih sayang," bisik Lintang sambil mengecup kening Kemukus yang tergolek. Kemukus merasa dirinya tidak berharga dan berpikir, pasti dirinya akan dibanding-bandingkan dengan keperkasaan dua mantan suami Lintang. Kemukus belum berpikir, bahwa sampai ke puncak asmara yang dialami oleh Lintang adalah sebuah keanehan, yang seharusnya dia waspadai.
Cuti Kemukus sudah habis, dia harus kembali ke Jakarta. Dengan berat hati dia berpamitan kepada istrinya yang tetap masih utuh, belum terbelah. "Seminggu lagi aku akan menyusul Kangmas ke Jakarta. Setelah lukisanku jadi, untuk pameran di Ancol," kata Lintang yang mengantar di Stasiun Tugu, pagi itu. Kemukus akan naik kereta pagi, sore sampai ibu kota dan besok pagi suda ngantor. Ketika kereta yang akan membawa Kemukus datang, mereka berpelukan erat sekali, seakan tidak mau berpisah.
"Kutunggu kedatangan Dinda," bisik Kemukus, di telinga telinga Lintang, sangat dekat sehingga semburan napasnya sangat terasa. Hal itu sangat menaikkan tensi gairah Lintang, sayang itu di stasiun dan mereka harus berpisah. Lintang menatap sampai kereta itu hilang dari pandangan matanya, dan setelah itu beranjak pulang ke rumah dengan mobil mininya yang mewah. Sebagai pelukis yang sudah punya nama, harga lukisannya sangat mahal meski masih di bawah harga lukisan karya Nasirun atau Joko Pekik.
Paginya, setibanya dikantor, teman-temannya menyampaikan ucapan selamat atas pernikahannya. Ya, di antara teman kantor yang datang ke Yogya menghadiri resepsi hanya dua orang, Gatot dan dan Hendrik yang kebetulan saat itu ada acara kantor di Yogya. Memang, pernikahannya digelar bukan pada hari libur, tidak seperti pernikahan masa kini yang mencari praktisnya, kalau tidak hari Sabtu maka hari Minggu. Pernikahannya digelar pada Rabu Paing, sangat itung-itungan Jawa. Dan, yang mencari hari itu bukan mertuanya, melainkan Raden Ngabei Radite, si ketua Selendang Kuning.
"Semoga cepat dapat momongan," ujar Pak Broto, pimpinannya, maksudnya agar segera dikaruniai anak.
"Amin," jawab Kemukus, dengan gembira, mampu menyembunyikan gejolak hatinya. Untunglah, saat dirinya cuti ada yang menghandle pekerjaannya sehingga tidak ada pe-er pekerjaan selama ditinggal cuti. Kemukus membuka laci meja kerjanya, laci yang paling bawah. Begitu menarik laci, dilihatnya ada seekor ular kecil jenis kobra. Secepatnya dia menutup laci lagi dan memanggil sekuriti. Dengan tergopoh-gopoh sekutiri datang dan membuka laci dan mengamankan ular itu.
"Aneh, mengapa bisa ada ular di kantor kita?" kata Pak Broto, tidak percaya. Semua heran, kok bisa kantor di lantai 6 bisa kemasukan ular? "Apakah ada di antara kita yang ingin bermain-main?" Tentu saja ular itu menjadi trending topik seluruh orang kantor, bahkan seluruh gedung. Itu menjadi pekerjaan ekstra bagi para sekuriti untuk melacak kira-kira ular itu masuk ke dalam gedung dari mana, lalu kok bisa masuk laci padahal terkunci selama Kemukus cuti. Itu akan menjadi tidak aneh jika Kemukus pecinta reptil, terutama ular. Tetapi dia bukan orang yang suka memelihara ular, iguana, atau lainnya.
Tentang ular itu, Kemukus akan menelepon Lintang untuk memberitahu, tapi diurungkan. Tidak tega jika sampai istrinya ikut memikirkan kejadian itu. Sepulangnya dari kantor, di kamar apartemennya, Kemukus mulai menelaah keanehan-keanehan yang dialami sejak mulai mengenal Lintang.
Ya, dia ingat pada suatu malam ketika dirinya menginap di rumah Lintang, sebulan sebelum pernikahannya. Itu pertama kalai dia menginap di rumah Lintang. Itu seharusnya tabu. Tapi saat itu ketika dirinya bertamu di rumah Lintang, hujan lebat tidak kunjung berhenti sehingga dia tidak bisa kembali ke hotel. Orangtua Lintang memintanya untuk menginap, ya, karena mereka sangat percaya kepada Kemukus, dan dia sebentar lagi menjadi menantunya karena pinangan sudah dilakukan oleh orangtua Kemukus.
Tengah malam, saat dia terbangun dan duduk di pembaringan, tampak seberkas sinar dari arah barat, yang menembus tembok yang menghantam tubuhnya, dia tersentak dan hampir terpental. Warna sinar itu merah kehitaman, bukan sinar yang jernih. Dadanya sempat sesak karenanya. "Apa yang terjadi?" desisnya. Tetapi dia merahasiakan kejadian itu, termasuk kepada Lintang.
Kemukus tidak bisa tidur lagi, bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya. Apakah yang dialaminya itu nyata, atau hanya perasaannya saja, atau itu hanya mimpi. Mimpi? Rasanya bukan, dia sudah terbangun walau saat itu belum terjaga sepenuhnya. Saat itu sampai pagi dia tidak bisa memejamkan mata lagi untuk tidur.
"Bagaimana tidurnya, nyenyak Nak Kemukus?" tanya calon ibu mertuanya.
"Ya Bu, sangat nyenyak," jawabnya. Tapi apakah calon ibu mertuanya itu percaya, karena matanya tampak merah dan kusut karena kurang tidur. Dia segera memalingkan muka agar matanya tidak terdeteksi kalau tampang orang ngantuk.
Kemukus hendak minta pamit, tapi dicegah agar makan pagi dulu. Lintang dengan manja memintanya agar sarapan dulu. "Makan pagi dulu, Kangmas, nanti kelaparan di jalan." Kemukus makan pagi bersama Lintang dan kedua calon mertuanya. Lintang anak tunggal. Anak orang kaya. Raden Mas Sundoro juragan sapi dan pemasok daging sapi terbesar di kota gudeg.
Setelah selesai sarapan dan tinggal berdua di meja makan, Kemukus berbisik, "Apa nggak jadi omongan tetangga kenginapan saya di rumah ini ini?"
"Semua sudah tahu kalau kita calon suami istri," jawab Lintang dengan manja. Calon istrinya sangat cantik walau tapa poles lipstik. Memamg pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Tanpa mandi dulu, Kemukus pamit kembali ke Hotel Ambarukmo, tempat dia menginap selama di Yogya. Ya, dia sedang meniti karir di perusahaan minyak nasional.
Dia alumni Fakultas Filsafat UGM. Lho kok bisa berkarir di Pertamina? Itu berkah dirinya yang saat kuliah jadi aktivis kampus. Dia dulu sering mengadakan seminar dan memanggil menteri-menteri sebagai nara sumber. Dia agak telat lulus karena banyak terlibat aksi mahasiswa, turun ke jalan untuk demontrasi menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil. Kelebihan jadi aktivis kampus, meski IPK rendah tapi dikenal banyak pejabat. Nah, itulah yang menyelamatkannya setelah lulus kuliah. Setelah mengundang seminar seorang menteri, dia sangat akrab dengan si pejabat. Begitu lulus dia menelepon si menteri kalau dirinya ada di ibu kota untuk cari kerja.
"Kamu ke sini!" pinta si menteri. Tanpa pikir panjang Kemukus langsung datang padanya. Bukan ke kantor, tetapi di rumah dinas sang menteri. "Mengapa kamu baru mengabari kelulusanmu sekarang, tidak dari kemarin-kemarin?'"
"Baru seminggu saya diwisuda, Pak. Hampir jadi mahasiawa abadi," jawab Kemukus. Si menteri tertawa. Pembicaraan menjadi meriah karena Kemukus pandai bicara. Diajak ngomong ngalor ngidul, baik masalah politik, pendidikan, bahkan rembugan tentang tuyul akan nyambung, refensi di otaknya sangat banyak karena dia memang kutu buku. Semua buku dilalapnya sejak kecil. malahan, sebelum dewasa, dia sudah menyelinap masuk ke kamar orangtuanya dan diam-diam membaca novel-novel dewasa yang membuatnya gemetaran dan tidak bisa tidur karena memendam rasa ngilu dan anu di bagian bawah perutnya.