webnovel

Penyesalan Excel

Entah berapa jam Alesha menangis di dalam mobil, saat ia mulai berhenti menangis Abizar memberinya botol air mineral. Gadis itu meraih botol itu dan segera meminumnya. Mungkin setelah lelah menangis saat ini ia merasa haus.

"Apakah sekarang saya bisa mengantarkan kamu pulang?" tanya Abizar yang masih berdiri di samping taxi-nya.

Alesha mengangguk.

"Bisa beritahu aku di mana alamat kamu?" tanya Abizar lagi.

Alesha kemudian memberitahu di mana alamat rumahnya. Abizar kemudian mengantarkan gadis itu sampai di depan rumahnya. Bahkan, ia memastikan bahwa gadis cantik itu tak sedang membohongi dirinya.

Alesha segera masuk ke halaman rumah itu, Abizar turun dari taxi dan memastikan gadis itu masuk ke rumahnya dan ternyata benar, penumpang yang sempat ia anggap gila itu ternyata bukan pasien yang tengah melarikan diri dari rumah sakit jiwa.

Alesha masuk ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Ia bahkan, masih ingin terus menangis walau pun air matanya sudah tak ada lagi untuk ia keluarkan.

Semua undangan yang telah siap dan akan ia bagikan, kini menjadi barang yang begitu ia benci untuk dilihat. Gaun pengantin yang juga telah selesai di pesan membuatnya semakin terluka.

Alesha membawa dua dus berisi undangan pernikahan itu, ia membuka pintu kamar dan berjalan menuju taman samping rumah. Sang mama yang melihat hal itu segera mendatanginya Alesha.

Alesha melempar dua kardus itu ke tanah. Lagi-lagi ia menangis.

"Sha, ada apa?" Wanita bergamis hijau itu mendekati putrinya.

"Aku ingin bakar semua ini, Ma," jawbanya sambil terisak.

"Ada, apa, Sha? Pernikahan kalian kan, sebentar lagi," ucap sang Mama.

"Alesha, jijik dengan Excel," jawabnya sambil terus menangis.

Sang Mama meraih pundak putrinya dan menatap Alesha dengan dalam. "Ada apa, Sha? Katakan," pintanya lembut.

Alesha tak bisa berhenti menangis saat ingin berbicara. Ia benar-benar tak bisa melupakan kejadian yang baru saja ia lihat pagi ini.

"Sha, ada apa, Nak?"

"Excel tidur dengan Kyoona, Ma," jawab Alesha lirih.

"Apa?" Tante Mutiara mama Alesha begitu terkejut mendengar hal itu.

"Alesha gak bisa meneruskan pernikahan ini, Ma," ucapnya lagi.

Sang mama hanya bisa memeluk erat sang putri sembari menenangkannya.

"Non, di depan ada Den Excel," ucap pembantu rumah tangga yang tiba-tiba saja datang.

"Suruh pergi saja, Bi, aku tak ingin menemuinya," ucap Alesha bergetar.

"Baik, Non," ucapnya dan hendak pergi.

"Tunggu, Bi, biar saya saja yang menemui Excel," ucap Mama Alesha.

"Baik, Nyonya."

Tante Mutiara segera menuju ruang tamu, melihat Excel tengah berdiri membelakanginya. Saat mendengar suara langkah kaki Excel berbalik dan menerima tamparan keras dari calon mertuanya.

"Ada apa?!" bentak Tante Mutiara saat Excel terkejut atas tindakannya. "Apakah kamu tidak terima?"

"Ma, aku bisa jelaskan semua ini. Bukan aku yang memulai semua ini, tapi Kyoona," ucap Excel penuh penyesalan.

"Kamu pikir Kyoona akan berhasil mendapatkan apa yang ia mau, jika kamu tidak mau melakukannya?"

"Ma, aku laki-laki, bagaimana aku bisa ... jika ia terus menggodaku."

"Apakah kamu tahu apa artinya kesetiaan? Kesetiaan bukan tidak pernah melihat wanita lain, tetapi ia tetap menjaga hatinya walau banyak yang menawarkan madu."

"Aku tahu, aku salah, Ma. Tapi aku gak ingin pernikahan ini batal, aku benar-benar mencintai Alesha."

"Apa jaminannya jika kamu tetap menikah dengannya dan kamu tidak akan melakukan hal seperti itu?"

"Bunuh aku, Ma. Jika aku melakukan kesalahan yang sama lagi."

"Maaf, tapi Alesha sudah memutuskan keinginannya sendiri. Dia sudah tak ingin menikah denganmu."

Excel menarik sudut bibirnya dan tersenyum sinis. "Kalau gitu, buat dia tetap menikah denganku."

"Apakah kamu gila? Alesha sudah jijik denganmu!"

"Apa pun itu, aku tetap ingin pernikahan ini terjadi. Atau kalau tidak, akan ada dua hal yang akan Mama sesali seumur hidup Mama."

Ucapan Excel membuat wanita itu terdiam. Ia tahu benar bahwa pemuda satu ini tak akan pernah membuang kalimat yang sia-sia.

'Sial! Kenapa Excel bisa memiliki kartu AS-ku,' batinnya kesal.

Excel melangkah masuk mencari keberadaan Alesha saat ini. Saat ia melihat kepulan asap di taman samping rumah ia segera ke sana.

Benar saja Alesha tengah berdiri di hadapan undangan yang kini telah terbakar. Excel menarik tangan Alesha.

"Apa yang kamu lakukan, hah?!"

Alesha menoleh dan melihat Excel. Menarik tangannya dan berkata, "Membakar sesuatu yang sudah tak berguna lagi."

Excel menatap tajam wajah Alesha.

"Apa pun yang terjadi aku akan tetap menikah denganmu!" tegasnya memperlihatkan rahangnya yang kokoh.

"Melihatmu saja aku sudah merasa jijik, apalagi harus menikah dan menjadi istrimu. Lebih baik aku mati!"

Excel membekap mulut Alesha dengan kasar. "Jika kamu tak menikah denganku, maka kamu tahu apa yang bisa aku lakukan pada keluargamu, bukan?!"

Alesha menginjak kaki Excel dengan kuat dan berteriak. "Lakukan saja apa yang kamu mau tapi, aku tetap tidak ingin menikah denganmu!"

"Kamu?!" Excel meninggikan suaranya. Namun, perlahan-lahan ia menekuk lututnya.

Laki-laki itu kini menangis di hadapan Alesha. Ia tahu benar bahwa dirinya tak akan sanggup kehilangan gadis sebaik Alesha. Excel benar-benar sangat mencintai calon istrinya itu.

***

Sementara itu Abizar yang telah kembali ke rumah setelah mengembalikan taxi. Merasa harus menemui gadis itu lagi untuk mengembalikan ponselnya.

Tanpa Alesha sadari, ia telah meninggalkan ponselnya di kursi taxi. Membuat Abizar semakin merasa kasihan jika mengingat sepasang mata sedih yang selalu menangis.

Abizar menekan tombol samping ponsel Alesha. Wallpaper sang gadis dan seorang pria tengah duduk berdua sembari memamerkan cincin membuat Abizar berasumsi bahwa itu adalah pasangan sang gadis.

Lagi-lagi Abizar tak mengerti kenapa ia terus saja mengingat kejadian tadi. Saat dirinya jatuh bersama dan mata mereka saling bertemu satu sama lain.

"Astaufirullah," ucapnya beristighfar. "Jauhkan hamba dari bisikan-bisikan syetan ya, Allah."

Saat Abizar tengah berusaha menenangkan diri, ponsel gadis itu berdering membuatnya terkejut dan hampir saja ponsel itu terlempar.

My Mom. Nama yang tertera di layar ponsel. Abizar dengan cepat mengangkat panggilan masuk itu.

"Hallo." Suara Alesha terdengar.

"Assalammualaikum," ucap Abizar dengan berdebar.

'Eh ... kenapa mendengar suaranya aku berdebar-debar seperti ini?' batinnya bingung.

"Eh, iya, Assalammualaikum," ucap Alesha.

"Waalaikumsalam."

"Ini, Pak sopir taxi yang tadi 'kan?" tanya Alesha lagi.

"Kok, tahu?" tanya Abizar tersenyum.

"Kan, suaranya sama. Oh, ya, Pak bisa antarkan ponsel saya ini ke alamat yang tadi gak?" tanya Alesha.

"Ini rencananya mau diantarin, Mba. Tapi saya saat ini sudah pulang ke rumah."

"Kalau gitu berikan saja alamatnya, saya yang akan ambil."

Abizar merasa gugup. Aneh, padahal sang gadis hanya meminta alamat untuk mengambil hapenya bukan untuk menemuinya.

"Baiklah, akan aku SMS ke nomor ini, ya," ucap Abizar.

"Terima kasih banyak, Pak."

Entahlah Abizar merasa aneh dengan dirinya sendiri. Gadis itu membuatnya memiliki debaran tersendiri yang sudah lama tak lagi ia rasakan.

TBC.