webnovel

Permainan cinta (Annabela)

Balas dendam adalah tujuan utama Annabela saat ini. Rasa kecewa dan  sakit hati yang dialaminya tidak akan bisa terobati begitu saja. Annabela sangat membenci  Axton. Laki-laki yang  sudah membuat hatinya hancur. Axton tidak datang di saat acara lamaran yang sudah ia janjikan. Axton adalah laki-laki yang sudah menghancurkan harapan Annabela. Laki-laki yang sudah menabur garam diatas luka. Laki-laki yang sudah membuat hati Annabela seperti disayat-sayat oleh tusukan ribuan pedang. Hingga saat ini Annabela tinggal dipusat kota Jakarta. Ia merubah penampilannya menjadi lebih cantik dan lebih berkelas. Pada hari yang tidak disangka, Annabela bertemu sama laki-laki yang bernama Brandon Carlos, laki-laki yang terkenal sombong dan selalu menganggap dirinya paling sempurna. Brandon Carlos adalah laki-laki yang memiliki wajah tampan, cerdas dan kaya raya. Tapi, satu kekurangannya, ia belum pernah jatuh cinta. Karena sikapnya yang terlalu dingin dan mendomisi membuat semua wanita yang mendekatinya mundur sebelum melangkah. Hingga saat ini usia Brandon sudah 34 tahun, ia bahkan belum kepikiran untuk menikah. Siapa sangka pertemuannya dengan Annabela membuat dunia Brandon terasa berbeda. Brandon jatuh cinta sama Annabela pada pandangan pertama. Brandon seperti orang gila, ia tidak bisa tidur dengan tenang. Wajah Annabela selalu terbayang-bayang. Brandon memutuskan untuk mencari tahu tentang Annabela. Ia akan melakukan segala cara agar Annabela menjadi miliknya. Akankah Annabela bisa membalaskan dendamnya,? Dan bagaimana juga dengan Brandon Carlos? Apakah dia mampu meluluhkan hati Annabela?? ................................................................................ Temukan jawabannya dengan mengikuti setiap bab di novel ini. Kalau kalian suka, jangan lupa dukung novel ini dengan memberi Power Stone sebanyak-banyaknya. Dan tulis pendapat kalian di kolom review dan kolom komentar agar saya bisa memperbaiki yang salah. Satu Power Stone dan komentar atau review daru kalian adalah penyemangat saya untuk menulis. Happy Reading!

Linayanti · Urban
Not enough ratings
41 Chs

Ketika Papi Jesika marah

"Sayang apakah Mami sama Papi kamu tidak akan curiga?" Tanya Mex, jantung Mex masih berdebar dengan kencang.

"Tidak sayang, kamu tenang Saja. Pokoknya kita harus terlihat rilex didepan mereka. Seolah-olah tidak terjadi sesuatu"

"Ya tapi aku masih deg-degan"

"Sama Mex, aku juga merasa begitu. Sebaiknya kamu tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan pelan-pelan" Saking luluhnya sama Mex, membuat Jesika seperti gadis bodoh.

Mex melakukan apa yang di sarankan oleh Jesika. Beberapa kali Mex menarik napasnya sampai ia merasa tenang.

Di luar halaman rumah Jesika.

Mami dan Papi Jesika baru keluar dari dalam mobilnya. Mereka membawa beberapa paper bag.

"Papi tolong bantu Mami membawa ini. Soalnya tangan Mami penuh" Ucap Mami Jesika sambil memberikan beberapa paper bag itu kepada suaminya. Ia kemudian menutup pintu mobilnya.

"Ya mami sini biar Papi bantu" lanjut suaminya sambil mengambil barang itu dari tangan istrinya.

Ketika mau masuk ke dalam, Papi dan Mami Jesika baru sadar kalau ada mobil yang parkir di halaman rumahnya.

Mami Jesika mencolek suaminya "Papi itu mobil siapa?" Tanya Mami Jesika dengan ekspresi penasaran, ia menunjuk ke arah mobil merah menyala "Perasaan Neron tidak pernah menggunakan mobil seperti itu" lanjutnya lagi.

Papi Jesika menoleh "Mami benar, Papi juga tidak tahu itu mobil Siapa?" Lanjutnya lagi dengan heran.

Sedangkan Mami Jesika berpikir kalau mobil yang ada dihalaman rumahnya itu adalah mobil Neron "Atau mungkin Neron membeli mobil baru?"

Papi Jesika terdiam Memperhatikan mobil itu, kalau dilihat dari modifikasinya mobil itu tidak cocok untuk karakter Neron. Mobil merah yang terparkir dihalaman rumahnya itu cocok untuk laki-laki yang bisa di bilang nakal.

Papi Jesika menggelengkan kepalanya "Sepertinya itu bukan milik Neron Mami, karena Papi tahu sendiri bagaimana karakter Neron"

"Lalu kalau bukan punya Neron Siapa lagi? Yang kita tahu Jesika hanya dekat sama Neron" Mami Jesika semakin tambah penasaran.

"Daripada kita penasaran sebaiknya kita masuk untuk melihat siapa yang ada didalam"

"Ok Papi"

Ruang tamu.

Sesampainya di ruang tamu, Papi dan Mami Jesika melihat putri kesayangannya duduk bersama Mex. Laki-laki asing Dimata kedua orang tuanya.

Mami menarik lengan baju Papi Jesika dengan kuat "Papi siapa itu yang duduk bersama Jesika?" Tanya Mami Jesika dengan perasaan tidak enak.

"Papi juga tidak tahu mami, karena Papi baru pertama kali melihat laki-laki itu" Jawab Papi Jesika.

Mereka berdua berdiri ditengah pintu, Jesika dan Mex sedang asyik bercanda. Tanpa sengaja Mex melihat kedua orang tua Jesika sedang menatap dirinya. Mex langsung menjauhkan badannya dari dekat Jesika.

"Sayang kamu kenapa menjauh?" Tanya Jesika dengan genit.

Mex mengedipkan matanya, tetapi Jesika tidak mengerti. Mex berbisik kepada Jesika dengan suara lumayan jelas "Lihat ada Papi dan Mami kamu" Ucapnya.

Jesika terkejut, ia langsung melihat ke arah kanan. Jesika langsung bangun, memeperlihatakan wajahnya yang polos dan sikapnya yang polos.

"Mami ... Papi!! Sapa Jesika sambil menyatukan kedua tangannya. Ia kemudian mendekat dan mengambil tangan Mami dan Papinya. Lalu Jesika mencium punggung tangan Mami dan Papi.

Sedangkan Mex menundukkan wajahnya, ia sangat ketakutan bertemu sama kedua orang tua Jesika. Papi dan Mami Jesika duduk berhadapan dengan Mex. Mereka meletakkan paper bag yang di tenteng tadi tepat di atas meja.

"Jesika sejak kapan kamu berani membawa laki-laki masuk tanpa keberadaan Papi dan Mami?" Tanya Papi Jesika dengan suara lantang.

Karena karakter Papi Jesika sangat tegas, Jesika sangat ketakutan, ia tidak berani melihat wajah Papi dan Mami yang ada didepannya.

"Jesika Jawab pertanyaan Papi kamu, Jangan sampai kamu membuat Papi marah" Bujuk Mami Jesika.

Jesika tidak bisa diam, ia melirik Mex yang seperti kerupuk layu. Mental Mex ternyata tidak ada, ia terlihat Maco hanya didepan Jesika saja.

"Eummm ... Maafkan Jesika papi. Tapi kami tidak ngapa-ngapain" Jawab Jesika keceplosan.

"Papi tidak bertanya tentang kamu ngapain Jesika. Apakah kamu mengerti atau tidak dengan pertanyaan Papi yang tadi. Kenapa kamu membawa laki-laki ini masuk ke rumah?"

Jesika semakin tegang, wajahnya seketika pucat. Ia terus saja memainkan jari-jemarinya "Eummm ... Jesika tidak enak jika mengajak teman Jesika duduk di luar, rasanya tidak sopan papi".

Dari perkataan Jesika yang tadi sudah tidak masuk dalam alasan. Papi Jesika sangat kecewa sama Putri kesayangannya. Ia kemudian melihat Mex.

"Dan kamu ..." tunjuk Papi Jesika "Sebaiknya kamu pulang sekarang" Papi Jesika mengusir Mex secara tidak hormat.

"Papi kenapa mengusir teman Jesika? Apa salahnya cobak?"

"Jesika Sejak kapan kamu berani memberontak terhadap Papi?"

"Papi ini jahat, Mex kamu tidak usah mendengarkan apa kata Papi yang tadi. Dia hanya salah bicara" Jesika justru menenangkan Mex sambil memegang tangan Mex.

Melihat sikap putrinya itu membuat kedua bola mata papinya menyala seperti kobaran api.

"Sebaiknya saya pulang dulu Jesika. Saya akan kembali jika amarah Papi kamu sudah reda"

"Tapi Mex?"

"Tidak apa-apa Jesika" Mex kemudian melepaskan tangan Jesika, sebelum pergi keluar. Mex berpamitan dulu kepada Papi dan Mami Jesika.

Mex mengulurkan tangannya, tetapi Papi Jesika sama sekali tidak mau memberikan tangannya. Ia justru membuang acuh wajahnya.

"Maafkan saya jika kehadiran saya sudah membuat anda kecewa Tuan" Ucap Mex, ia lanjut berpamitan kepada Mami Jesika "Tante saya permisi dulu" Ucap Mex sambil mencium punggung tangan Mami Jesika.

Mami Jesika sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun, ia membiarkan Mex pergi begitu saja. Melihat Mex berjalan menuju pintu luar membuat Jesika murka terhadap kedua orang tuanya.

Ia memanggil Mex dengan suara keras "Mex tunggu!!" Jesika berlari mengejar Mex.

"Jesika mau kemana kamu?" Tanya Papi Jesika.

Tapi Jesika sama sekali tidak memperdulikan Papinya. Ia terus mengejar Mex sampai luar.

"Lihat Putri kamu sekarang sudah berani. Pasti gara-gara laki-laki yang tadi itu" Gumamnya penuh emosi. Papi Jesika capek menahan emosinya, ia mengelus dadanya agar bisa lebih tenang.

"Papi yang sabar, Jangan terlalu emosi seperti itu. Kita tidak boleh terlalu keras kepada Jesika, tidak apa-apa dia membawa teman laki-lakinya masuk, asalkan mereka tidak melakukan hal yang menyimpang. Karena kalau Mami lihat, mereka masih terlalu polos"

"Kalau Jesika tidak di tegaskan dari sekarang, takutnya nanti dia semakin berani. Mami jangan pernah membela Jesika didepan Papi, karena papi tidak suka itu"

"Mami bukannya membela Jesika papi, hanya saja Mami Kasihan sama Papi. Ingat kata dokter, kesehatan Papi itu jauh lebih penting. Jadi Papi jangan terlalu banyak berpikir, mengenai masalah Jesika yang tadi, biar Mami yang menasehati dia"

"Arghhh ... Anak itu benar-benar membuat Papi naik darah. Sudah jelas sekali, laki-laki yang tadi itu tidak baik"