webnovel

Rasa Canggung

"Nggak apa-apa kok," jawab Dimas kemudian.

Asha tidak merespon lagi. Menurutnya, laki-laki yang ada di hadapannya saat ini sangat berbeda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya.

Dimas lebih terlihat canggung dan tidak mengerti dengan situasi. Entah karena memang mereka tidak saling menyukai satu sama lain atau karena alasan lain. Asha tidak tahu.

Tak berselang lama, pelayan mengantarkan pesanan mereka. Semua hidangan yang mereka pesan sudah tersaji dengan rapi di atas meja.

"Ayo, makan!" ucap Dimas.

Asha hanya mengangguk, kemudian mulai menyicipi makanannya.

Tak ada pembicaraan selama mereka menikmati makan siang. Keduanya sama-sama bungkam.

Sejujurnya Asha malas sekali dengan situasi seperti ini. Ia yang terbiasa ceria dan banyak bicara itu tidak bisa didiamkan seperti saat ini.

Tetapi, mau bagaimana lagi. Yang ada di hadapan Asha saat ini sepertinya kulkas dua pintu.

"Kamu tadi sama siapa ke sini?" Tiba-tiba saja Dimas bertanya di sela-sela makan mereka.

"Tadi diantarin sama supir," jawab Asha sambil mengunyah makanannya.

Dimas hanya menganggukkan kepala. Ia sendiri bingung harus membicarakan apa dengan Asha. Karena memang makan siang ini diatur oleh ibunya, bukan keinginannya sendiri.

Maka jadilah situasi ini semakin canggung.

Keduanya kembali sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Mas, aku boleh tanya nggak?" ucap Asha dengan ragu-ragu setelah mereka terdiam dalam waktu yang cukup lama.

Dimas menaikkan sebelah alisnya, memikirkan kira-kira apa yang akan ditanyakan oleh perempuan yang sekarang ada di hadapannya.

"Memangnya kamu mau bertanya apa?" Dimas balik bertanya.

"Boleh nggak?"

Dimas mengangguk pelan.

"Kenapa Mas...." Asha tak melanjutkan ucapannya. Malah ia merasa malu untuk bertanya seperti yang ada dalam pikirannya sekarang.

"Kenapa?" tanya Dimas semakin penasaran.

Asha melipat bibirnya. Pipinya pun terasa panas. Apakah ia merasa malu sehingga membuatnya salah tingkah di depan Dimas?

Asha menggaruk tengkuknya, "Nggak apa-apa sih."

"Tanya aja! Katanya mau nanya?"

Asha menarik napas panjang, jari-jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya.

"Mm, maaf sebelumnya! Kalau pertanyaan aku ini akan menyinggung atau gimana.... Tapi aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma pengen tau aja. Kenapa Mas mau nerima perjodohan ini?" tanya Asha setelah mengumpulkan keberanian cukup lama.

Dimas mengerutkan keningnya, kemudian laki-laki itu menyunggingkan senyuman tipis di wajah tampannya.

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu sih?"

Bukannya menjawab, Dimas malah balik bertanya kepada Asha. Membuat Asha sedikit merasa jengkel dengan sikap laki-laki itu.

"Apa susahnya sih langsung jawab tanpa harus bertanya balik?" Kali ini nada bicara Asha sudah terdengar kesal.

Tanpa sadar, Dimas pun tersenyum melihat ekspresi Asha yang sudah kesal itu. Padahal, Dimas tidak bermaksud untuk membuat perempuan yang akan jadi calon istrinya ini merasa kesal.

"Maaf! Kamu sendiri kenapa mau?"

Asha menggigit gerahamnya karena kali ini ia sudah sangat kesal dengan Dimas. Apa Dimas tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakannya?

"Perasaan tadi saya yang nanya dulu deh!" balas Asha kesal.

"Mm, kenapa ya? Karena ini permintaan orangtua saya. Kamu sendiri gimana?"

Asha hanya mangut-mangut mengerti dengan apa yang baru dikatakan Dimas. Meskipun Asha sama sekali tidak merasa puas dengan jawaban Dimas. Karena jawaban itu terlalu umum menurut Asha.

"Mungkin seperti jawaban Mas, aku juga gitu," sahut Asha datar.

Dimas mengangguk mengerti. Meski mereka sudah saling bertanya seperti itu, tapi rasanya masih terlalu canggung.

Dimas dan Asha sudah selesai makan siang. Jam pun sudah menunjukkan pukul dua siang. Sudah waktunya Dimas kembali ke kantor.

"Ayo! Saya akan antar kamu," ucap Dimas saat dirinya dan Asha keluar dari restoran.

"Nggak perlu, Mas! Aku bisa naik taksi kok," tolak Asha dengan lembut. Karena ia tidak mau merepotkan Dimas. Selain itu, mereka berdua masih sama-sama canggung.

"Masa kamu pulang pakai taksi. Ntar apa yang dibilang sama orangtua kamu. Bisa-bisa mereka marah sama saya."

Sebagai seorang laki-laki, tentu saja Dimas ingin bertanggungjawab sepenuhnya. Tidak mungkin ia membiarkan Asha pulang sendirian setelah bertemu dengannya.

Selain rasa tanggungjawab, Anya juga akan memarahinya jika tahu kalau Dimas membiarkan Asha pulang sendiri.

"Saya antar ya?"

Asha menghela napas, lalu menganggukkan kepalanya.

Di parkiran, Angga dengan setia menunggu Dimas. Begitu Dimas dan Asha sampai di sana, Angga menyadari kalau ternyata yang makan siang dengan Dimas itu seorang perempuan yang sangat cantik. Awalnya Angga hanya mengira kalau Dimas makan siang dengan temannya. Tetapi, setelah melihat perempuan yang bersama dengan Dimas, Angga merasa pantas saja Anya begitu memaksanya untuk memastikan kalau Dimas benar-benar menghadiri makan siang itu.

Angga yang menyadari tugasnya, langsung membukakan pintu untuk kedua orang itu.

"Ngga, antar Asha dulu ya!" ucap Dimas saat mereka sudah di dalam mobil.

"Baik, Pak."

Angga pun melajukan mobil itu meninggalkan restoran menuju rumah Asha yang sudah diberitahu oleh Dimas alamatnya.

Sepanjang perjalanan pulang, Asha dan Dimas sama-sama memilih diam. Meskipun mereka duduk bersebelahan di jok belakang.

Sepertinya keduanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Asha memilih untuk menikmati pemandangan jalanan di luar sana yang tengah terik itu. Sementara Dimas, sepertinya laki-laki itu juga melakukan hal yang sama.

Sehingga pemandangan itu membuat Angga heran dan bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya.

"Perempuan cantik itu siapanya Pak Dimas soh?" batin Angga sesekali mencuri pandang lewat kaca spion.

Setelah setengah jam berkendara, mobil Dimas sudah sampai di depan rumah Asha. Rumah itu tak kalah mewah dengan rumah Dimas.

"Mampir dulu, Mas?" tawar Asha basa-basi.

Dimas menggelengkan kepala, "Lain kali saja. Saya harus balik ke kantor lagi," sahut Dimas menolak.

Asha mengerti. Mengantarnya pulang saja mungkin sudah menyita waktu Dimas. Ia bisa memahami itu.

Lagipula, Asha hanya berbasa-basi. Tidak sepenuhnya benar-benar menginginkan Dimas untuk mampir. Bisa-bisa Elen semakin menyukai laki-laki itu.

"Terima kasih udah nganterin pulang. Aku turun dulu," pamit Asha, kemudian turun dari mobil Dimas. Asha juga berterima kasih kepada Angga.

"Sama-sama."

Asha menunggu mobil Dimas pergi. Setelah tak lagi melihat mobil tersebut, Asha baru melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya.

Saat melewati ruang tamu, ternyata Elen sudah menunggunya di sana.

"Eh, udah pulang? Gimana makan siangnya?" tanya Elen penuh rasa antusias.

"Nggak apa-apa, Ma. Aku kenyang kok. Makanannya juga enak," jawab Asha asal.

Gadis itu menghempaskan tubuhnya di sofa sembari memejamkan mata.

"Bukan gitu maksud Mama, Sha! Kamu nggak bisa serius dikit ya?" ujar Elen jengkel.

Asha hanya membalasnya dengan tertawa hingga membuat Elen semakin terlihat kesal dengan anaknya itu.

"Aku mau istirahat ke kamar dulu, Ma. Bye!" Asha langsung beranjak dari sana tanpa menunggu respon Elen.