webnovel

Perjanjian Ketiga

Perjanjian Ketiga adalah cerita fiksi horor berlatar belakang tradisi masyarakat Jawa. Bercerita tentang sebuah perjanjian kuno dan keramat di balik tradisi bancakan dan sesajen. Perjanjian yang dilakukan oleh Simbok atau Mbok Sum dengan baurekso Wewe Gombel ini telah mengorbankan istri pertama dan anak pertama Ndoro Sastro. Siapakah Mbok Sum? Akankah terjadi korban selanjutnya pada perjanjian yang ketiga ini? Bersiaplah jika kamu adalah anak pertama atau cucu pertama dalam keluargamu. Karena perjanjian ini selalu mengorbankan 'yang pertama' ....

bomowica · Horror
Not enough ratings
26 Chs

Dokter Sepuh

Selang beberapa hari kemudian, Wibi dan Ratri mendatangi rumah Dokter Sepuh untuk memeriksakan kandungan Ratri. Mereka berharap pada Gusti Alloh akan memberikan keajaiban dibalik kasus yang menimpa kandungan Ratri.

Semilir angin berembus pelan memasuki ruang tunggu tanpa pendingin udara di rumah pribadi Dokter Sepuh. Tidak ada rasa gerah dan gelisah dalam hati Wibi dan Ratri. Mungkin ini pertanda baik atau hanya pengaruh sugesti dari Dokter Sepuh tersebut? Wibi pun tidak tahu.

Dinding-dinding tembok berwarna putih bersih itu memberikan rasa nyaman pada mereka. Wibi dan Ratri merasa santai dan dapat duduk tenang di ruang tunggu yang relatif sempit itu. Tak lama kemudian mereka dipersilakan masuk ke ruang periksa.

"Ada keluhan apa, Bu?" tanya Dokter Sepuh dengan suara agak berat. Terlihat senyuman menghiasi wajah tuanya dan rambut yang sudah memutih semua. Wibi pun menceritakan kasus kehamilan yang tidak berkembang di kandungan istrinya. Dokter Sepuh mendengarnya sambil mengangguk-angguk.

"Mari, Bu, saya periksa," kata dokter sepuh. Dengan dibantu seorang perawat, Ratri berbaring di tempat tidur periksa. Sementara sang dokter menyiapkan alat USG-nya. Terlihat mata sang dokter memperhatikan layar monitor USG dengan cermat dan menekan-nekan tombolnya. Muncul sebuah foto rontgen USG calon bayi Ratri.

"Hmm ... ini memang kecil sekali bentuknya. Sepertinya baru berusia dua belas minggu. Jadi memang masih kecil," ulas Dokter Sepuh sambil memperhatikan foto rontgen tersebut.

"Tapi menurut perhitungan kami sudah lewat tiga bulan, Dok," kata Ratri.

"Mungkin ibu salah hitung. Tapi tidak apa-apa. Kita lihat perkembangan selanjutnya. Masih bisa diobati," kata Dokter Sepuh sambil menulis sebuah resep obat. Lega rasanya hati mereka berdua mendengar kata-kata Dokter Sepuh tersebut. Ratri bagai tersugesti dengan kata-kata tersebut dan kembali bersemangat.

Mereka kembali ke rumah dengan perasaan tenang dan menjalani kehidupan mereka dengan normal seperti pasangan suami istri lainnya tanpa beban. Sejenak mereka dapat melupakan tentang lelembut, tentang pantangan, maupun tentang tradisi leluhur yang terasa merepotkan.

Dan kejadian yang dialami oleh Ratri adalah kejadian medis yang dapat diatasi dengan tindakan medis pula. Begitu kesimpulan Wibi terhadap kasus yang menimpa Ratri, istri tercintanya, meskipun telah dianggap melanggar pantangan bepergian di Hari Selasa Kliwon. Dua Minggu kemudian Wibi mengantar Ratri memeriksakan kandungannya ke dokter sepuh itu lagi. Dan pada saat itu kandungan Ratri dinyatakan berkembang dengan normal.

Kejadian itu memang diawali dengan adanya pantangan yang dilanggar oleh Wibi dan Ratri, meskipun tidak dapat dibuktikan secara empiris bahwa keduanya adalah kejadian yang saling berhubungan. Namun bagi Mbok Sum hal itu menjadi fakta yang tak terbantahkan bahwa lelembut akan mengganggu kehidupan manusia apabila ada pantangan dalam tradisi dan kepercayaan leluhur yang dilanggar. Hal itu yang sebenarnya ingin Mbok Sum tanamkan lagi pada anak dan menantunya. Terutama pada Ratri agar mau melaksanakan sesajen untuk baurekso. Sehingga akan terbuka jalan bagi Mbok Sum untuk segera melaksanakan perjanjian tumbal ketiganya.

***

"Bagaimana calon bayimu, Nduk?"

"Tidak apa-apa, Mbok. Masih ada harapan. Ini coba diberi obat dan diminum setiap hari. Semoga saja bisa berhasil."

"Syukurlah kalau begitu. Simbok juga mendoakan supaya kamu dan calon bayimu itu sehat. Tapi kamu harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jangan mengabaikan pantangan leluhur," kata Mbok Sum dengan mimik wajah serius dan mengelus perut Ratri.

"Simbok ...! Simbok mendoakan saja, ya, Mbok. Jangan menakut-nakutiku dengan alasan ada pantangan dari tradisi leluhur begitu. Jamannya sudah berubah, Mbok, dan itu hanya kebetulan saja terjadi bersamaan. Kata dokternya, itu kejadian medis yang sudah sering terjadi." Ratri mencoba memberi penjelasan pada Mbok Sum.

"Kebetulan bagaimana? Lha wong sudah jelas sebab akibatnya begitu masih ngeyel)* juga!" kata Mbok Sum dengan nada agak keras.

"Bukan begitu, Mbok," Ratri merasa tidak enak karena sering membantah terus apa yang dikatakan oleh Mbok Sum.

"Pokoknya kamu harus memperhatikan hal ini! Memang ada aturan-aturan dalam tradisi kita sebagai orang Jawa yang tidak boleh dilanggar di mana pun kita berada. Dan aturan itu tetap berlaku padamu dan anak keturunanmu kelak! Termasuk jika melanggar pantangan harus membuat sesajen baurekso lelembut untuk menebus kesalahanmu!"

"Mbok, jamanku sekarang sudah berbeda dengan jaman simbok dulu. Sekarang sudah banyak perubahan. Banyak yang sudah tidak mempercayai sesuatu yang berbau mistis. Bagaimana juga dengan pekerjaanku jika aku harus mempersiapkan segala uborampe untuk bancakan maupun sesajen yang lainnya, Mbok?"

Mbok Sum terdiam mendengar penjelasan Ratri. Beliau seperti tidak berkenan dengan perdebatan itu. Mbok Sum ingin agar Ratri mau melaksanakan tradisi itu seperti yang telah Mbok Sum lakukan sejak dulu. Tetapi ada perbedaan pandangan yang tidak bisa mereka satukan. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa jaman memang sudah berubah tetapi tidak disadari oleh Mbok Sum.

"Simbok tidak ingin ada sukerta dalam keluarga Simbok. Bukankah dulu mendiang ayahmu telah berpesan untuk tetap menjaga tradisi leluhur supaya adem ayem, tentrem, rahayu)*, dan mendapat berkah Gusti Alloh? Apa kamu masih ingat pesan itu?"

"Entah, Mbok ... Aku sudah tidak ingat lagi kata-kata mendiang ayah itu. Aku dan Mas Wibi sebenarnya masih percaya pada hal-hal gaib dan lelembut tetapi pemikiranku tidak sependapat dengan Simbok. Tradisi itu tidak logis bagiku, Mbok. Bancakan dan sesajen itu seperti memberi makan pada lelembut atau makhluk gaib lainya. Sehingga kita akan tergantung terus padanya dan mengesampingkan kekuasaan Gusti Alloh."

"Bukan mengesampingkan, Nduk ... tetapi minta keselamatan dan berkah pada Gusti Alloh!" kata Mbok Sum dengan tegas.

"Tapi, Mbok ... Ratri tidak ada waktu untuk mempersiapkan uborampe bancakan yang begitu banyak." Ratri mencoba mencari alasan lain untuk menolak ritual bancakan tersebut. Tetapi Mbok Sum pun tak kurang akal agar Ratri benar-benar mau melaksanakan tradisi leluhur tersebut.

"Jika saat ini kamu tidak sanggup, biar Simbok dulu saja yang mempersiapkan dan melaksanakan semua ini untukmu. Tetapi kamu harus berjanji untuk melanjutkan tradisi ini seterusnya. Simbok cuma tidak ingin kamu dan bayimu terkena sukerta karena melanggar pantangan itu."

Kata-kata Mbok Sum sedikit melunak walau belum ada kata sepakat di antara mereka berdua. Ratri berada dalam dilema, dia hanya bisa diam mendengar permintaan simboknya. Berat hatinya untuk mengiyakannya. Karena Ratri tidak ingin tergantung selama hidupnya dengan ritual bancakan dan tradisi lainnya yang hanya akan memperkuat keberadaan lelembut dalam kehidupannya.

"Bagaimana, Nduk, kamu bersedia meneruskan tradisi leluhur ini? Katanya kamu kasihan sama simbok. Simbok kan tidak boleh terlalu capek ...." kata Mbok Sum merayu.

Kata-kata itu sebenarnya membuat Ratri tidak tega pada Simboknya. Apalagi melihat Simboknya harus direpotkan dengan urusan bancakan dan sesajen. Tetapi ada pergolakan dalam batinnya yang tidak mudah untuk memutuskan perkara itu. Sementara itu Mbok Sum pun menyadari bahwa Ratri masih berada dalam kebimbangan. Mbok Sum tidak serta merta memaksa Ratri untuk mengiyakan permintaannya. Dan dia akan menunggu waktu yang tepat untuk membujuk Ratri lagi.

***

Malam belum begitu larut ketika Ayu meminta ayahnya untuk menemaninya tidur. Sebentar kemudian udara dingin mengharuskan Wibi untuk menyelimuti tubuh anaknya yang sudah tertidur lelap. Wibi kemudian keluar kamar menuju ruang makan. Dilihatnya sang istri sedang makan malam di sana.

"Mas, aku merasa kejauhan jika kontrol kandungan ke tempat Dokter Sepuh itu lagi. Dan lagi kalau tiba waktunya melahirkan harus ke Rumah Sakit juga. Karena rumah tempat praktik Dokter Sepuh tidak ada kamar bersalinnya," kata Ratri sambil menyantap makan malamnya.

"Hmm ... baiklah. Kita kontrol ke Rumah Sakit itu lagi karena memang jaraknya relatif dekat dengan rumah kita," jawab Wibi sambil meneguk teh hangat buatan Ratri, "tapi sayangnya Dokter Sepuh tidak praktik di sana."

"Tidak apa-apa, Mas. Tapi aku mau ganti dokter kandungan yang lebih senior dari dokter muda yang dulu itu."

"Baiklah ... besok aku akan cek lagi jadwal praktik dokter kandungan di sana."

Wibi segera mengambil piring. Setelah itu dia mengambil beberapa sendok nasi dan menuangkan sayurnya. Kemudian dia duduk di samping kursi istrinya. Ratri mengambilkan sebutir telur goreng kesukaan Wibi dan meletakkan di atas nasinya. Wibi pun memakannya dengan lahap.

*****