"Apa yang bikin lu segila ini?” tanya Love di suatu kesempatan dimana mereka berdua di kamar Lyn sambil menyaksikan tayangan Youtube tentang ciuman para lesbian. “Apa yang bikin kamu suka liat para cewek saling kissing? Enaknya dimana sih?”
“Tauk,” Lyn menjawab malas-malasan. “Tapi kupikir ciuman kayak gitu lebih asyik daripada aku sama Fathur atau cowok-cowok aku sebelum dia.”
Velove mengerenyit kening. Lynn mendekat dan berkata setengah berbisik.
“Boleh gak gue kissing lu?”
Tanggapan itu membuat Love terkikik sambil spontan meraba kening Lyn dengan punggung telapak tangannya. “Lu sakit ya?”
“Kalo gue sakit, lu mau bantu supaya gue sembuh kan? Atau mau tetap gue begini terus?” tanya Lyn pura-pura kesal dan putus asa.
Melihat sikap itu ngambeg begitu Love jadi kasihan. “Ya udah, gue siap.”
Love membaringkan tubuh di kasur dan menutup mata, seolah menunggu sesuatu. Ketika tak juga terjadi sesuatu, ia membuka satu mata. “Lho koq gue belum di-kissing?”
“Ogah. Lu main-main sih.” Lyn ikut berbaring tapi dengan posisi memunggungi Love.
“Ya ampun lu itu ngambegan juga ya.” Dalam berbaringnya ia memeluk Lyn dari belakang. “Jangan gitu dong. Kita kan BFF.”
Mereka berdua tertawa sampai akhirnya Lyn membalas dengan ikut memeluk Love. Saat tawa mereda, Lyn mencondongkan tubuh dan mendaratkan ciuman kecil di bibir Love. Ia memberikan kecupan sekilas.
“Not bad kan?”
“Hm mm.”
Lyn kemudian menggerakkan tubuh sehingga membuat Love berada di bawah tubuhnya. Ia merunduk, rambutnya yang lebat menutupi wajah mereka berdua ketika ia mengulangi kissingnya. Lyn memulai dengan mengulangi ciuman lembut di bibir Love. Hanya kecupan lembut, bibirnya nyaris menyentuh bibir Love. Kemudian dia memberikan ciuman kecil di sekitar lingkar bibirnya. Pertama di sepanjang bibir bawah, tiga atau empat ciuman dari kanan ke kiri hingga ke sudut mulutnya. Kemudian dari kiri ke kanan di sepanjang bibir atas. Ia berhenti sejenak untuk menjepit di antara bibirnya. Hanya singkat saja selama beberapa detik.
Sementara itu Love berbaring diam dan tanpa ekspresi. Tidak menolak, tetapi tidak menawarkan tanggapan apa pun. Bibirnya terkatup namun tidak rapat. Santai saja. Matanya menutup, membiarkan temannya menciumnya dengan lembut dan berulang kali. Tangan Lyn terus bertumpu pada bahu Love yang dengan lembut menahannya agar tetap pada posisinya berbaring. Sebuah upaya yang tidak perlu sebetulnya karena Love tidak berniat melarikan diri atau menghindar.
Lyn mundur dan menatap Love. Mata Velove membuka dan melihat Lyn tersenyum.
"Ini benar-benar aneh," kata Love pelan dengan suara serak rendah. “Tapi… enak sih.”
"Kamu ingin cukup sampe di sini?" Lyn bertanya dengan ragu.
"Ya. Sampe di sini aja ah...”
Lyn kecewa, tapi tahu ia tidak boleh memaksa. “Satu kali lagi boleh?”
Love tersenyum dan mengangguk kecil sehingga Lyn mengulangi kissingnya. Kali ini ia melakukan sedikit berbeda dengan tekanan di sana-sini dan sesekali mencium lembut kulit leher, pipi, dagu dengan sentuhan lembut sebelum ditutup dengan sebuah jilatan di telinga.
Lyn kesenangan. “Kamu gapapa kan?”
Love mengangguk sambil tersipu.
“Ya. Sebetulnya…. Enak sih,” jawabnya, merespon tanpa membuka mata.
“Memang enak.”
Selesai berucap Lyn kembali mengulang. Ia tidak ragu ketika mengeksplorasi temannya. Dan melihat respon diamnya, ia dengan berani memberikan kissing tepat di bibir Love. Kali ini ia berani mempenetrasi bibir Love yang sedikit terbuka dengan lidahnya. Akibat ulahnya, Love jadi menggerakkan kepala. Memiringkan tepatnya, untuk memberi lebih banyak akses pada Lyn untuk mengeksplorasi dirinya.
Hanya saja, ketika Lyn mulai menjadi-jadi Love cepat tersadar dan spontan ia menggulingkan tubuh ke samping.
“Cukup ah. Ini udah keterlaluan, kebangetan.”
Lyn jelas kecewa tapi ia patuh dengan menghentikan aksinya.
“Sorry, Love. Kirain lu suka.”
“Gapapa, tapi nggak usah kayak gitu dah.”
Lyn mengangguk. “OK. Kita masih BFF kan?”
“Jelas dong,” Love melihati rekannya. “Jelas lu tetap sohib gue, biar pun lu itu lesbo gila.”
Keduanya terkikik dan kembali berpelukan.
*
Clara baru saja deal membeli sebuah rumah baru. Well, bukan baru sebetulnya. Itu adalah sebuah rumah lama tapi berukuran besar. Hari ini, sepulang sekolah Velove yang penasaran dengan rumah itu lantas memutuskan untuk pergi sendiri dengan berpedoman pada peta yang ditulis oleh kakaknya. Velove bersemangat dengan rumah baru yang nanti akan ditempati karena rumah itu punya ukuran yang besar dan kamarnya pun bahkan ada 4. Pekarangan rumah itu luas, apalagi di bagian belakang yang dijadikan terbuka dengan ditanami rerumputan dan perdu di dekat tembok pembatas dengan rumah tetangga yang berhalaman lebih luas lagi.
Selama ini ia tinggal di rumah kontrakan dengan dua kamar. Bagi Love walau pun ia memiliki satu kamar sendiri, tetap saja tidak terasa nyaman karena di kamar itu bukan hanya berisi barang-barangnya pribadi. Ada barang-barang lain dan malah barang pribadinya lebih sedikit dibanding yang lain. Di situ ada keranjang berisi jemuran yang belum disetrika, dus-dus berisi aneka barang untuk kebutuhan harian sebulan ke depan, container plastik berisi beras untuk stok, dan ada juga rice cooker.
Ia terpaksa menerima keadaan itu. Bisa dimaklumi kalau barang menumpuk sangat banyak. Setiap jengkal bagian rumah dipadati dengan segala macam hal. Tidak heran kalau ada barang yang terselip, atau lupa taruh, sangat sulit untuk ditemukan kembali. Jadi itulah sebabnya ia menjadi sangat optimis akan rumah barunya.
Hari terang benderang dan bahkan panas matahari terasa menyengat ketika ia tiba di rumah yang dimaksud. Seketika ia terkagum akan besarnya ukuran rumah itu. Rumah itu unik karena ada cerobong asap, sesuatu yang menandakan bahwa pemilik pertama rumah sepertinya dari Eropa. Kondisi rumah dan tumbuhan di sekitar dalam keadaan baik. Itu juga menenangkan pikiran karena setidaknya ia tidak perlu bekerja keras dalam beres-beres rumah menjelang mereka nanti boyongan dan masuk ke dalam rumah masa depan mereka.
Suasana sepi membuat Love menoleh ketika dari arah belakang punggungnya terdengar suara tapak kaki sepatu yang menginjak kerikil.
“Selamat siang,” sapanya, menjaga keramahan sikap.
Orang itu, pria sekitar 50an tahun, tertatih dengan tongkatnya, menatapi dengan sorot mata tidak ramah, dan berhenti di tempatnya sekarang. “Kenapa kamu ke sini? Ngapain ha?”
Love merasa aneh dengan pertanyaan itu. “Hanya mau liat-liat.”
Di luar dugaan orang itu menjawab ketus dan marah. “Ini bukan tempat wisata, nak. Bukan tempat untuk piknik. Bukan juga tempat untuk kamu diami. Pergi kamu!”
Love merasa aneh dengan pengusiran itu. Ia gatal ingin mengatakan bahwa rumah itu sudah akan ia tempati, tapi dengan berbagai alasan ia merasa perlu menunda pengucapan tadi. Ia penasaran juga apa yang membuat orang itu begitu ketus padanya.
“Lho, masih belum mau pergi?”
“Aku.... aku....”
“Udah, jangan banyak ngomong! Ini rumah terkutuk. Pergi kamu!”
Ha? Terkutuk? Love bingung. Apanya memang yang membuat tempat itu jadi rumah terkutuk?
“Tau darimana kalo rumah ini terkutuk?”
“Kamu betul-betul nggak tau apa-apa soal lingkungan di sini ya. Satu kampung sudah tau rumah ini angker.”
Love merasa makin aneh. Sebelumnya disebut rumah ini terkutuk. Dan sekarang disebut angker. Berikutnya apa? Menakutkan karena ada naga berapi atau monster ular?
*