"Oh shit!!"
Vicky berteriak saat pria itu memasukkan jari kedua.
"Ohhhhhhh fuck!"
Ia berteriak lagi. Cahyo memegangi bokongnya dan menyetubuhi dengan jarinya. Jempolnya bergesekan dengan klitoris dan akibatnya Vicky langsung kehilangan kesadaran ketika orgasme besar menyapu dan cairan cintanya menyembur ke seluruh tangan Cahyo dan celana dalamnya.
Dan itu baru awal.
Ia kemudian menarik celana jins Vicky dan melemparkannya ke seberang ruangan. Ia membalikkan tubuh sang wanita dan mendorong dengan kasar ke atas meja sehingga ia dalam posisi tengkurap. Cahyo melebarkan kedua kakinya saat Vicky menggenggam ujung meja yang lain. Ia bisa merasakan saat Cahyo mempermainkan penis besarnya ke atas dan ke bawah vaginanya yang sudah menetes-neteskan lendir sebelum kemudian dengan sekali hendak menabrakkan kemaluannya jauh ke dalam vagina.
“Fuck!!!”
“Kau begitu ketat .... Oh vagina ketat dan sempit,” dengusnya sambil menarik-keluarkan penis dimana tiap hentakan mendorong tubuh Vicky di atas meja dengan lebih keras.
"Fuck me, honey. Fuck me! " teriaknya. Baju Cahyo masih terpasang dan tiap hentakan membuat payudaranya bergesekan dengan permukaan meja. Dengan segera Vicky di ambang klimaks ketika penis ditarik keluar. "Oh no, no, no. Jangan berhenti! Teruslah bercinta denganku."
Cahyo membaringkan Vicky dengan kaki wanita itu kini menyentuh lantai. Ia juga turun, berlutut ke lantai dan merentangkan kaki Vicky lebar-lebar. Vagina itu benar-benar terbuka dan ia meletakkan kaki Vicky di bahunya dan kemudian mulai mencium dan menjilati pahanya. Dia menggerakkan lidahnya perlahan dan berhenti tepat di bawah vagina. Vicky menjambak rambutnya dan mencoba untuk menempatkan mulutnya di vagina. Akhirnya dia menjilat bibir vagina dan Vicky hanya bisa menggeliat di atas meja ketika pria itu menggoda vagina dengan lidahnya.
Vicky kemudian merasa dia menjilat klitorisnya dan mengulang menempatkan jarinya di vagina.
“Ohhhhh shit!” Ia berteriak saat lidah dan jarinya membuat Vicky seolah gila.
Tiba-tiba, Vicky tahu bahwa ia harus bertanggung jawab. Ia tak boleh egois hanya menikmati kesenangan seorang diri. Cahyo juga perlu dipuaskan. Atas dasar itu, setelah ia mengalami orgasme kedua, ia lalu menarik diri dan gantian meminta Cahyo berbaring di atas lantai. Cahyo menatap tajam dan melepas celana jinsnya, menampilkan sosok penisnya yang mencuat dan perkasa. Mata lapar mereka bertemu saat Vicky merangkak naik ke atas tubuhnya dan mulai mengangkangi. Wanita itu melihat penisnya yang besar dan keras. Sedangkan Cahyo menatap vaginanya yang menganga dan tak henti meneteskan lendir.
Saat vagina semakin dekat, melayang tepat di atas penis, Vicky meletakkan tangannya di dadanya dan mendorongnya ke punggung sementara. Cahyo melihat dengan takjub ketika wanita itu mengangkat dirinya, meraih penis dengan vagina tepat di atasnya dan kemudian turun ke penisnya yang keras.
"Ohhhhhhhh my gawwd," teriaknya saat terasa penis telah memenuhi tubuh. Orgasme ketiga terjadi di sini.
Vicky mencondongkan tubuh ke depan dan mulai bergoyang maju mundur. Pria itu memegang bokong alias pantat kenyal wanita itu saat Vicky bergerak. Mulanya ia hanya bergerak perlahan pada awalnya dan kemudian lebih cepat dan terus makin cepat. Begitu cepat sampai rambut Vicky berhamburan di depan wajahnya. Wanita itu kemudian duduk tegak, menggiling dengan panggulnya, sebelum meraih payudara dengan kedua tangannya untuk meremas dan mencubit putingnya sendiri.
"Oh sayang ini terasa enak banget. Ini ngento* yang enak banget…” katanya mengeluarkan kata kotornya yang pertama. “Konto* kamu sangat enak.”
Goyangan Vicky makin liar. "Ohhhhhhhh sayang aku akan klimaksss…. Ahhhh…”
Tiba-tiba, saat orgasme kesekiannya belum sepenuhnya usai, Cahyo dengan cepat menusukkan penisnya ke dalam tubuh Vicky dari arah bawah. Vicky tak dapat mempercayai kekuatan dan energinya dan pada saat yang sama, perhatiannya. Wanita itu bisa merasakan tubuhnya tegang saat ia menabrakkan penisnya jauh ke dalam vagina dengan lebih cepat dan lebih keras. Ia tahu Cahyo berada di ambang klimaks. Mereka bertatapan ketika momen itu terjadi.
"Ohhhhh Vicki, Vicki! Ah, setan! Aku mau..... ngecrottt….” teriaknya.
Vicky bisa merasakan orgasme lain meningkat saat Cahyo mendorong dengan keras sedalam ia bisa. Tubuh Vicky tiba-tiba mengejang dalam orgasme terbesar dalam hidupnya dan mereka berdua berteriak sekuat tenaga bersamaan. Vicky kemudian ambruk di atas tubuh Cahyo dan mereka berdua terbaring lemas seperti mie, terengah-engah dan berkeringat deras.
Speecheless. Tanpa kata-kata, mereka berbaring di lantai selama beberapa menit, mencoba kembali ke bumi. Vicky berbaring dengan mata terpejam, merasakan kehangatan tubuhnya. Pikirannya melebur ke dalam momen itu. Tangannya kinii menarik Vicky mendekat padanya. Dia berbisik di telinga wanita itu.
“Itu luar biasa.”
*
Entah karena merasa ia sudah cukup lama di gudang, atau faktor kengertian yang perlahan bertunas, Clara merasa ini saatnya untuk keluar dari gudang. Dari kejauhan terdengar Pupi menggonggong-gonggong makin keras.
Mendadak….. suara itu. Suara itu terdengar lagi. Bisikan yang dingin, memanggil, sangat nyata terdengar.
“Clara...”
Ia mendengarkan dengan seksama. Betul, itu namanya. Namanya dipanggil oleh sebuah suara yang halus, samar, milik seorang wanita.
Mendadak, seperti ada sesuatu yang membuat kepalanya menoleh ke suatu arah. Mendadak pula, seperti ada sesuatu yang membuat kakinya melangkah ke sana. Mendadak, seperti ada sesuatu yang membuat matanya tertuju pada sebuah kotak perhiasan kuno. Sebuah benda yang sepertinya hanya bisa ditemukan melalui petunjuk-petunjuk aneh karena posisinya yang tersembunyi di balik deretan tembikar. Benda berukuran kecil, kusam, berwarna gelap yang tersamar sempurna oleh benda-benda sekitar.
Tangannya kemudian terulur, mengambil kotak itu yang ternyata penuh debu. Entah terbuat dari kayu apa, tapi dari cahaya senter ia melihat motif-motif asing di kota perhiasan itu. Motif yang seperti berbentuk aksara atau tulisan yang hanya bisa dipahami oleh pakar arkeologi.
“Buka.....”
Untuk pertamakalinya suara itu terdengar lagi namun tidak memanggil namanya. Ia meletakkan senter dan memastikan cahayanya mengarah ke benda itu. Entah keberanian apa yang menyertai ketika ia lantas mengikuti serta membuka kotak kuno. Sebuah benda yang bisa jadi itu adalah semacam kotak pandora. Sebuah kotak yang akan mengubah nasibnya secara total karena telah secara ‘lancang’ membukanya. Sebuah kotak yang adalah ‘point of no return’ tiada pilihan kembali.
Sempat ada keraguan perlukah ia membukanya. Pikirannya yang semula menduga ini adalah ulah iseng manusia perlahan sirna. Berganti dengan rasa yang aneh, sebuah rasa ketertundukan total. Seolah ada sebuah kekuatan yang membujuknya untuk melakukan apa yang ia sebetulnya ragu untuk lakukan: membuka kotak itu dengan segala resiko mengerikan yang mungkin timbul.
‘Aku akan buka,’ katanya dalam hati.
Dan jemari lentiknya mulai membuka kotak yang memang tak terkunci. Penutup kotak ini membuka perlahan. Mili demi mili sampai kemudian tutup terbuka sepenuhnya. Cahaya senter menunjukkan apa yang ia lihat di sana. Sebuah liontin dengan batu coklat kehitaman dengan ikatan rantai besinya yang telah sangat berkarat dan sepertinya akan putus dalam hitungan menit.