Saat ini di sore hari yang cerah dan langit tampak berawan, aku hanya duduk diam menatap jendela.
"Anya, mengapa kau melamun? Apa ada sesuatu yang membuatmu bingung?",tanya Elena, sahabatku tersayang.
"Tidak, itu hanya khayalanmu saja. Aku hanya sedang bosan",ucapku sembari tersenyum agar dia tidak begitu merasa gelisah karena mengkhawatirkanku.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita belanja?",ajak Elena dengan wajahnya yang berbinar-binar penuh harap menatapku memohon.
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanku Lena? Kau tahu, tidak seperti dirimu, aku hanya tinggal seorang diri",ucapku berharap agar Elena memberiku pengertiannya.
Elena menatapku cemberut dan berkata dengan lesu,"baiklah, kali ini aku akan mengalah."
"Terima kasih, Elena",ucapku sembari tersenyum.
Setelah itu, Elena hanya terdiam menemaniku sementara aku hanya menatap keluar jendela.
"Anya, aku mau menginap di rumahmu?",tanya Elena lesu padaku dan aku pun mengangguk mengiyakan.
"Yeay, kau memang sahabat terbaikku",balas Elena memelukku saking senangnya.
Sahabatku Elena, bagiku dia sudah seperti mentari yang membuatku selalu nyaman saat berada di dekatnya.
"Nya, aku kembali ke kelasku ya, sudah bel",ucap Elena memelukku erat sebelum kembali ke kelasnya dan aku hanya melambaikan tangan melihatnya berlalu pergi.
Setelah Elena kembali ke kelasnya, pembelajaran di kelasku pun dimulai di sore itu.
Sepulang sekolah aku langsung berjalan keluar kelas dan mendapati Elena menungguku. Kami pun berjalan bergandengan tangan menuju ke apartemen kecil milikku. Selama perjalanan kami isi dengan canda tawa yang tidak pernah bosan kudengar sejak dulu hingga akhirnya kami sampai ke apartemenku.
Sesampainya di apartemen, ternyata ada Mama Elena yang menunggu kami dan menatapku penuh amarah.
"KAU, sudah kubilang jangan dekati anakku",ucap Mama Elena, Jessika menunjukku murka.
Aku memang hanya diam tapi Elena menatap takut-takut ke arahku dan dengan ragu-ragu melepas genggaman tangan kami.
"Tante, tenangkan dulu amarah tante, kami hanya berteman"
"APA? Berteman katamu, yang benar saja. 'Gadis' miskin sepertimu tidak pantas berdekatan dengan anakku",maki tante Jessica dan menarik Elena pergi dari hadapanku.
Aku meneguk ludahku pasi, ini bukan yang pertama kalinya tante Jessica memaki dan melarang persahabatan kami, tapi ini juga bukan salahku dan Elena, kami hanya berteman dan itu tidak salah. Tapi tadi sepertinya tante Jessica sudah mencapai batasnya, sesaat akan melewatiku beliau berucap dengan senangnya,"tenang saja ini akan berakhir. Tante sudah memindahkan Elena ke tempat yang tidak bisa kau gapai."
'Aku kehilangan sahabatku',pikirku gelisah tapi tidak sampai menitikkan air mata.
"Bersedih. Huh? Seperti bukan dirimu saja",ucap sebuah suara di belakangku.
Aku mengedip-ngedipkan mata pasrah ketika melihat siapa yang baru saja mengeluarkan suara di belakangku.
Adrian, pria playboy serba peka yang selalu ada dimana pun aku berada,"mengapa kau kesini?" tanyaku memandang Adrian yang tersenyum tampan menatapku.
"Hanya ingin mengantarkan makanan",ucap Adrian berkedip-kedip polos mengangkat bungkusan makanan di hadapanku.
Aku menatap bosan padanya,"Aku bukan anak ataupun sanak keluargamu, mengapa kau memberikanku makanan?" tanyaku melihatnya yang hanya diam dan malah mengendap-endap masuk ke apartemenku menggunakan kunci cadangannya.
"Aku akan pindah",ucapku menghentikan langkah kakinya masuk ke apartemenku.
"Hah? Kemana?",tanyanya kaget dan terdiam di pintu masuk apartemenku.
"Jepang",balasku singkat dan masuk ke apartemenku melewatinya begitu saja, dia pun mengikutiku dari belakang dan melihat seluruh apartemenku yang sudah bersih rapi.
'Sebenarnya aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada Elena dan pergi besok. Tapi karena sekarang sudah begini, apa yang bisa kuperbuat?', pikirku melihat Adrian yang membeku di tempat tidak bisa berkata-kata.
"Hey kau yakin mau pindah? Secepat itu?",tanya Adrian menatapku shock dan aku hanya mengangguk menanggapinya santai.
"Aku ikut",ucap Adrian tiba-tiba memegang kedua bahuku erat.
"Hahahaha",tawaku melihat wajahnya yang panik dan menatapku penuh tekat.
"Kau lucu. Jika kau ikut denganku, lalu bagaimana dengan sekolahmu? Pindah negara itu berarti pindah sekolah dan itu perlu waktu yang cukup lama untuk mendapat persetujuan dari pihak sekolah",ucapku mencoba menahannya agar tidak mengikutiku.
"Kau curang. Aku akan tetap ikut",ucapnya tidak rela melepasku pergi.
"Aku adalah seorang pemuda tampan dan kaya. Pindah sekolah dan mengikutimu adalah hal mudah bagiku",ucapnya remeh menatapku dan aku hanya dapat geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Jika itu maumu, terserahlah",balasku pasrah dan dia terhura-hura begitu mendengar jawabanku.
Malam harinya, Adrian terus menatapku aneh.
"Kau cantik tapi begitu aku membayangkanmu sebagai cowok kau juga tampan",gumam Adrian setelah cukup lama terdiam memandangku.
"Adrian, berhentilah berpikiran aneh tentangku. Kau membuatku pusing",ucapku cuek.
"Eh? Apa? Itukan hanya penilaianku. Waktu pertama bertemu kukira kau mata-mata saking bingungnya",ucapnya dan aku pun memandangnya aneh.
"Adrian, apa cita-citamu?",ucapku memandang seberapa anehnya dia.
"Mata-mata",balasnya berbinar-binar.
"ternyata benar firasatku",gumamku dan dia menatapku heran.
"Apa yang salah dengan itu? Itu keren dan menyenangkan tahu",balasnya memalingkan muka sok keren begitu mendengar gumamanku.
"Sudahlah, aku capek",ucapku dan berbaring tidur menutup selimut dan mematikan lampu.
"Apa? Ini baru jam tujuh malam",kagetnya melihatku mematikan lampu dan tidur.
"Kau pikir, kapan aku akan berangkat?",balasku cuek.
"Eh?",gumamnya panik karena waktu untuknya mempersiapkan diri ternyata hampir tidak ada lalu dengan tergesa-gesa berlari keluar apartemenku.
"Pokoknya kau harus menunggu besok",ucapnya sebelum menutup pintu.
Setelah kepergian Adrian yang entah kemana, tiba-tiba sebuah dering ponsel menyapa indera pendengaranku.
"Selamat malam, Ma. Ada apa?",tanyaku begitu mendengar suara mamaku.
"Besok jangan lupa ya sayang, pulang ke rumah. Mama, papa, adik, kakak, nenek dan kakek kangen. Sudah lama lho kamu tidak pulang",ucap mamaku sedih.
"Lain kali saja ya, Ma. Ren bakal pulang setelah membawa calon mantu ya?",bujukku mencoba menahan mama yang ingin aku segera pulang.
"Ren nggak khawatir sama mama?",tanya mama mencoba membujukku.
"Tidak. Di Mansion kan ada yang lain, yang pasti akan selalu menjaga mama",balasku benar-benar tidak khawatir.
"Hahh.. Sayang, terlalu dewasa itu nggak baik lho", tegur mamaku tidak rela karena anaknya terlalu dewasa.
"Selamat malam, Ma. Lain kali Ren akan menghubungi mama lagi",ucapku berniat memutuskan panggilan kami.
"Mama nggak percaya. Ren mana pernah menelpon kesini kalau tidak di telpon duluan",ucap mamaku cemburu entah pada apa dan panggilan kami pun berakhir di malam itu.
Setelah panggilan dari mama terputus, tiba-tiba aku teringat akan diriku yang waktu itu sudah keluar dari rumah sejak berumur lima tahun. Ketika itu, aku sangat keras kepala dan mengatakan ingin hidup di luar dan lepas dari pengawasan keluarga hingga dengan segala upaya yang kulakukan, keluargaku pun setuju melepasku dengan tidak rela hingga aku pun sekarang seperti ini. Begitulah hariku berakhir di malam itu dengan Adrian yang panik karena tidak ingin terlambat mempersiapkan diri, tidak ingin aku pergi ke Jepang tanpanya.