webnovel

Bab 5

Raisha baru saja istirahat, hari ini pasien sangat banyak sekali, sampai dia harus terlambat istirahat.

Raisha bukanlah tipikal Dokter yang mematok jumlah pasien dalam sehari. Dia akan terus melayani dan menolong pasiennya selama waktu dirinya praktek berlangsung. Walau harus terlambat pulang atau istirahat, dia pun tidak masalah. Karena baginya, pasien adalah yang utama.

Raisha memasukan beberapa biji kopi ke dalam mesin pembuat kopi dan menuangkan airnya ke dalam gelas keramik putih. Saat ini dirinya berada di dalam ruangannya. Tanpa ada Revan, Raisha jarang makan keluar, dia akan bekal dari rumah hasil masakannya sendiri.

Raisha meneguk kopi miliknya seraya memejamkan matanya.

"Aroma kopi ini selalu mampu menenangkanku dan sedikit membantu menghilangkan rasa lelahku," serunya yang kini duduk di atas sofa yang ada di ruangannya.

"Revan sedang apa yah," gumamnya mengambil iphone nya dan memanggil panggilan video kepada suaminya.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumsalam," jawab Revan yang terllihat masih berada di kantornya.

"Masih di kantor?" tanya Raisha.

"Iya, masih mengerjakan beberapa pekerjaan. Kamu sudah makan?"

"Ini mau, kamu sudah makan?" tanya Raisha.

"Rico sedang memesan grabfood," ucap Revan yang di angguki Raisha.

"Hallo Kakak Ipar!" di samping Revan tiba-tiba muncul wajah tampan Jovan.

"Hai Van," sapa Raisha.

"Wah wah, perubahannya jelas sekali," seru Jovan.

"Eh? Perubahan apa?" tanya Raisha merasa bingung.

"Perubahan wajahnya, cahaya dalam diri Kakak ipar mulai terpancar. Duh sang bunga udah di petik nih," goda Jovan membuat wajah Raisha mendadak tersipu malu.

"CK, apa di kepala lu hanya memikirkan hal itu?" seru Revan kepada Jovan.

"Ck, jangan sewot dong. Kan kata orang kalau sang bunga udah di petik, wajahnya bersinar," seru Jovan.

"Sok tau kamu," seru Raisha.

"Oh iya Kakak Ipar, besok malam datang yah. Kita ngadain acara makan malam bersama," seru Jovan.

"Aku sih gimana pak Bos saja," seru Raisha menunjuk kepada Revan dengan matanya.

"Harus datang yah, kalau gak ikut nanti kamu harus curiga kenapa si Revan gak ajak kamu," seru Jovan memanas-manasi.

"Ck, kenapa lu cerewet banget sih Van," seru Revan merasa sebal membuat Raisha terkekeh. Mereka selalu saja berdebat begitu. "Sayang, kalau kamu hamil nanti, harus jauh-jauh dari si Jovan dan harus banyak-banyak bilang amit-amit," seru Revan.

"Ck, kalian bakalan rugi kalau gitu. Gue pan pria tampan dan begitu mempesona," seru Jovan dengan percaya dirinya membuat Raisha terkekeh melihatnya.

"Merepotkan sih iya," seru Revan.

"Sirik tanda tak mampu, benar gak Kakak Ipar," seru Jovan membuat Raisha terkekeh.

"Kamu mentertawakanku? Awas saja nanti malam yah kamu," seru Revan.

"Eh, apa sih kamu. Malu tau," seru Raisha dengan wajah yang memerah.

"Si Revan kan nggak punya malu," kekeh Jovan membuat Revan melemparkan pen ke arahnya yang sudah menjauh.

"Sudah aman sekarang," seru Revan saat Jovan sudah berlalu pergi.

"Kalian ini kapan bisa akurnya," kekeh Raisha.

"Lagian si Jovan bukan hanya ke aku nyari-nyari masalah, tapi sama semuanya. Apalagi si Rico, udah sampai dongkol di ejekin dia," seru Revan membuat Raisha terkekeh.

Raisha baru saja sampai di rumah mertuanya. Ia pulang larut malam karena ada banyak pekerjaan. Ia sudah mengabari Revan sebelumnya. Awalnya Revan akan menjemputnya tetapi Raisha menolaknya karena ia membawa mobil sendiri. Ia tau Revan tidak ada jadwal di rumahsakit, jadi ia membawa mobil sendiri.

"Assalamu'alaikum." Raisha memasuki rumah.

"Wa'alaikumsalam. Baru pulang jam segini?" seru Ibu mertuanya yang saat itu tengah berada di ruang keluarga bersama suaminya.

"Iya ma. Ada banyak pekerjaan yang harus Raisha selesaikan," seru Raisha.

"Istri macam apa yang pulang larut malam. Bahkan suamimu sudah pulang sejak tadi. Kasian sekali Revan, punya istri yang tidak bisa mengurusinya, saat dia pulang bahkan tidak ada istrinya," seru Ibu mertuanya yang selalu ketus.

"Ma, mama ini ngomong apasih. Raisha kan kerja, lagipula dia pasti sudah mengabari Revan makanya Revan santai-santai saja," seru Papa mertuanya.

Raisha tersenyum kecil walau hatinya menjerit karena rasa sakit dari perkataan ibu mertuanya itu.

"Kalau begitu Raisha masuk ke kamar dulu, permisi." Raisha menekan rasa sakit di dalam hatinya. Ia berusaha sabar dan ikhlas, ia berharap suatu saat nanti ibu mertuanya itu akan menyukainya. Mungkin dia ketus seperti ini karena putra yang ia cintai menikah. Benar kata Revan kalau mamanya masih belum bisa melepaskan Revan menikah. Ya, Raisha akan berusaha ikhlas dan sabar.

Raisha memejamkan matanya dan menghirup udara cukup banyak sebelum masuk ke dalam kamarnya.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam, baru pulang, sayang?" sapa Revan yang tengah duduk di atas sofa tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya.

Raisha tersenyum hangat kepadanya. "Ya, aku baru sampai."

"Kamu terlihat sangat lelah, Sayang."

"Aku baik-baik saja. Aku akan membersihkan diri dulu," seru Raisha yang di angguki Revan.

Raisha menatap pantulan dirinya di cermin wastafel. Ia teringat kata-kata Ibu mertuanya. Ibu mertuanya memang sudah biasa mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Sejak awal memang Ibu mertuanya tidak menyukainya, tetapi kalau seterusnya serumah seperti ini, Raisha tidak bisa bersabar terus menerus. Belum lagi, di rumah ini Raisha tidak bisa melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk melayani suaminya. Ia di anggap transparan oleh Ibu mertuanya. Tetapi di belakang, mertuanya itu menjelekkannya dan mengatakan kepada tetangga kalau Raisha wanita karier yang egois dan tidak perhatian kepada suaminya. Raisha benar-benar tidak tahan kalau seperti ini terus menerus.

"Sayang, kamu baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" seru Revan terdengar mengetuk pintu kamar mandi.

Raisha menghapus air mata di pipinya dan berusaha menampilkan senyumannya. Ia membuka pintu kamar mandi dan sosok suaminya sudah berdiri di sana dengan wajah cemasnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Revan kembali.

Raisha tersenyum lebar. "Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya kelelahan," seru Raisha.

Raisha melangkah lebih dekat kepada suaminya dan ia memeluk suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Revan.

"Apa ada masalah dengan pekerjaanmu?" tanya Revan.

"Tidak ada. Aku hanya merasa lelah saja. Biarkan aku seperti ini untuk beberapa saat. Aroma tubuhmu membuatku tenang dan nyaman," gumam Raisha memejamkan matanya.

Revan tersenyum dan membelai punggung juga lengan istrinya itu.

"Aku ingin selalu merebahkan kepalaku di sini," gumam Raisha masih memejamkan matanya. "Ini adalah tempat favoritku."

"Ya, ini milikmu. Semua yang ada padaku adalah milikmu," seru Revan membuat Raisha tersenyum.

'Setidaknya aku memiliki suami yang begitu baik dan perhatian seperti Revan. Aku tidak boleh mengeluh mengenai Ibu mertuaku, yang penting Revan selalu mencintaiku dan berada di sampingku,' batin Raisha semakin menyusupkan wajahnya ke dada.

"Jangan sampai ada orang lain yang menempati tempat favoritku," gumam Raisha membuat Revan terkekeh.

"Tidak akan untuk sekarang. Tapi suatu saat nanti sepertinya kamu harus berbagi tempat ini dengan orang lain," seru Revan membuat Raisha membuka matanya dan melepaskan pelukannya.

"Apa maksudmu?" serunya dengan wajah tercengang dan itu membuat Revan terkekeh karena gemas.

"Jangan marah dulu," kekehnya.

"Kamu berniat menikah lagi!" tuduh Raisha dengan wajah sendu dan semakin membuat Revan gemas dan ia menjadi tak tega.

"Bukan begitu maksudku, Sayang. Kita tidak mungkin seterusnya berdua, bukan. Akan ada anak hadir dalam kehidupan kita," seru Revan membawa tangan Raisha ke dalam genggamannya. "Dan kamu harus berbagi dada ini dengan putra putri kita nanti."

"Kamu," seru Raisha tersipu malu.

"Jangan asal menyimpulkan dulu. Aku tidak mungkin menyukai wanita lain lagi. Hanya kamu seorang wanita yang aku cintai dan aku jamin tak akan ada wanita lain lagi," seru Revan membelai kepala Raisha.

Raisha tersenyum dan kembali memeluk Revan.

"Semoga kita segera di beri kepercayaan oleh Tuhan untuk segera memiliki momongan," seru Raisha.

"Hmm…" Revan tersenyum seraya mengeratkan pelukannya pada Raisha.