webnovel

Aku Tak Sengaja Memusnahkan Guru Pra-Aljabarku 02

Teman-teman sekelas berkumpul di tangga depan museum,

supaya bisa menonton pejalan kaki lalu-lalang di sepanjang

Fifth Avenue.

Di langit terlihat badai besar mulai terbentuk, awannya

lebih hitam daripada yang pernah kulihat ada di atas kota

ini. Kupikir barangkali gara-gara pemanasan global atau apa,

karena cuaca di seluruh negara bagian New York sudah aneh

sejak Natal. Kami dilanda badai salju hebat, banjir,

kebakaran hutan akibat sambaran petir. Aku tak akan heran

kalau ini nanti menjadi topan.

Sepertinya tak ada orang lain yang memperhatikan.

Beberapa cowok melempari burung dara dengan biskuit

bekal. Nancy Bobofit berusaha mencopet sesuatu dari tas

seorang wanita, dan tentu saja Bu Dodds menutup mata.

Aku dan Grover duduk di tepi air mancur, menjauhi anak-

anak lain. Kami pikir, kalau kami menjauh, mungkin orang

lain tak akan tahu bahwa kami berasal dari sekolah itu

sekolah untuk anak-anak aneh dan pecundang, yang tak

punya tempat di sekolah lain.

"Skors?" tanya Grover.

"Nggak," kataku. "Brunner nggak pernah menskors. Tapi

kenapa sih dia selalu menggangguku? Aku kan bukan anak

genius."

Grover tak berkata apa-apa beberapa lama. Lalu, sewaktu

kusangka dia akan berkomentar penuh filosofi untuk

menghiburku, dia berkata, "Apelmu buatku ya?"

Aku tak terlalu berselera makan, jadi kubiarkan dia

mengambilnya.

Aku menonton arus taksi yang melaju di Fifth Avenue, dan

memikirkan apartemen ibuku di sebelah utara, tidak jauh

dari tempat kami duduk. Aku belum pernah bertemu lagi

dengannya sejak Natal. Rasanya ingin sekali aku melompat

naik taksi dan pulang. Dia pasti memelukku dan senang

bertemu denganku, tetapi dia juga pasti kecewa. Dia akan

langsung menyuruhku kembali ke Yancy, mengingatkanku

bahwa aku harus berusaha lebih keras, meskipun ini

sekolahku yang keenam dalam enam tahun dan mungkin

aku akan dikeluarkan lagi. Aku tak akan tahan melihat

tatapan sedih darinya.

Pak Brunner memarkir kursi roda di dasar tanjakan untuk

kaum cacat. Dia makan seledri sambil membaca novel. Di

punggung kursinya terpasang payung merah, sehingga kursi

itu mirip meja kafe bermotor.

Aku baru mau membuka bungkus roti lapis ketika Nancy

Bobofit muncul di depanku bersama teman-temannya yang

jelek barangkali dia bosan mencuri dari wisatawan dan

menumpahkan bekalnya yang baru dimakan setengah ke

pangkuan Grover.

"Ups." Dia menyeringai kepadaku dengan giginya yang

gingsul. Bintik-bintik di mukanya berwarna jingga, seolah-

olah disemprot cat yang terbuat dari Cheetos cair.

Aku berusaha tenang. Guru pembimbing sekolah sudah

sejuta kali bilang, "Hitung sampai sepuluh, kendalikan

amarahmu." Tetapi saking marahnya, pikiranku kosong.

Ombak bergemuruh di telingaku.

Aku tak ingat pernah menyentuh Nancy. Tahu-tahu saja

dia sudah terjengkang di dalam air mancur, sambil menjerit,

"Aku didorong Percy!"

Bu Dodds muncul di sebelah kami.

Beberapa anak berbisik: "Tadi lihat nggak ...."

"... airnya .... "

"... seolah-olah menyambar Nancy ...."

Aku tak tahu mereka bicara soal apa. Aku cuma tahu, aku

kena masalah lagi.

Setelah Bu Dodds yakin bahwa Nancy cilik yang malang itu

baik-baik saja, dan berjanji akan membelikannya kemeja

baru dari toko cendera mata museum, dll., dll., Bu Dodds

menoleh kepadaku. Ada api kemenangan di matanya,

seolah-olah aku baru melakukan sesuatu yang telah dia

tunggu-tunggu sepanjang semester. "Nah, Anak Manis "

"Iya deh," gerutuku. "Sebulan menghapus buku latihan."

Mestinya aku tak bilang begitu.

"Ikut aku," kata Bu Dodds.

"Tunggu!" pekik Grover. "Aku yang salah. Aku yang

mendorong Nancy."

Aku terkesima menatapnya. Tak percaya rasanya, dia

berusaha menutupi kesalahanku. Dia kan takut setengah

mati pada Bu Dodds.

Bu Dodds melotot kepadanya lebar-lebar, sampai-sampai

dagu Grover yang berbulu itu gemetar.

"Aku tahu kejadiannya bukan begitu, Underwood,"

katanya.

"Tapi "

"Kau diam di sini."

Grover menatapku putus asa.

"Nggak apa-apa kok," kataku kepadanya. "Makasih sudah

berusaha."

"Anak Manis," Bu Dodds menyalak kepadaku. "Sekarang."

Nancy Bobofit menyeringai.

Aku melemparkan tatapan akan-kubunuh-kau-nanti yang

istimewa buatnya. Lalu aku berbalik menghadap Bu Dodds,

tetapi dia tidak ada di situ. Dia berdiri di pintu masuk

museum, jauh di puncak tangga, dengan tidak sabar

berisyarat kepadaku agar ikut.

Bagaimana dia sampai di sana secepat itu?

Aku sering sekali mengalami hal-hal seperti itu. Otakku

sepertinya tertidur atau apa, lalu tahu-tahu saja aku

terlewat sesuatu. Seolah-olah ada sepotong gambar teka-

teki yang terjatuh dari alam semesta, lalu aku pun menatap

tempat hampa di belakangnya. Guru pembimbing sekolah

memberitahuku bahwa ini bagian dari penyakit GPPH.

Otakku salah menafsirkan situasi.

Aku tak terlalu percaya.

Aku mengikuti Bu Dodds.

Setelah naik setengah tangga, aku menoleh kembali ke

Grover.

Dia tampak pucat, bolak-balik memandang antara aku dan

Pak Brunner, seolah-olah dia ingin Pak Brunner

memperhatikan apa yang terjadi, tetapi Pak Brunner

tenggelam dalam novelnya.

Aku kembali melihat ke atas. Bu Dodds sudah menghilang

lagi. Sekarang dia berada di dalam gedung, di ujung aula

masuk.

Oke, pikirku. Dia akan menyuruhku membelikan kemeja

baru buat Nancy dari toko cendera mata.

Tapi, rupanya bukan itu rencananya. Aku mengikutinya

memasuki museum lebih jauh. Ketika akhirnya aku berhasil

menyusulnya, kami kembali berada di bagian Yunani dan

Romawi. Selain kami, galeri itu sepi.

Bu Dodds berdiri sambil bersedekap di depan dekorasi

marmer besar yang menggambarkan dewa-dewi Yunani.

Dari lehernya terdengar bunyi aneh, seperti geraman.

Padahal, tanpa suara itu pun, aku sudah gugup. Aneh

rasanya hanya berduaan dengan guru, apalagi dengan Bu

Dodds. Cara dia memandang frieze itu aneh sekali, seolah-

olah dia ingin melumatnya.

"Kau banyak menimbulkan masalah bagi kami, Anak

Manis," katanya.

Aku ambil aman. Kataku, "Iya, Bu."

Dia menyentakkan lipatan jaket kulitnya.

"Pikirmu kau bisa lolos dari perbuatanmu?"

Tatapan di matanya sudah lebih dari gila. Tatapannya

jahat.

Dia ini guru, pikirku dengan gugup. Dia tak akan

menyakitiku, kan?

Kataku, "Saya, saya akan berusaha lebih keras, Bu."

Guntur mengguncang gedung.

"Kami bukan orang tolol, Percy Jackson," kata Bu Dodds.

"Cuma masalah waktu saja sampai kami membongkar jati

dirimu. Mengaku saja, supaya kau tak perlu menderita

terlalu berat."

Aku tak mengerti dia bicara apa.

Aku cuma bisa menebak bahwa para guru menemukan

simpanan permen ilegal yang selama ini kujual di kamar

asramaku. Atau mungkin mereka menyadari bahwa aku

menyalin esai tentang buku Tom Sawyer itu dari Internet,

dan tak pernah membaca bukunya sendiri, dan sekarang

mereka akan mencabut nilaiku. Atau lebih buruk lagi,

mereka akan memaksaku membaca buku itu.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Bu, saya tidak …."

"Waktumu habis," desisnya.

Lalu, terjadi hal yang sangat aneh. Mata Bu Dodds mulai

menyala seperti arang panggangan. Jari-jarinya memanjang,

menjadi cakar. Jaketnya meleleh menjadi sayap kulit yang

besar. Dia bukan manusia. Dia nenek jahat yang bersayap

kelelawar dan bercakar dan bermulut penuh taring kuning,

dan dia akan mencabik-cabikku.

Lalu, keadaan semakin aneh.

Pak Brunner, yang semenit lalu masih di depan museum,

meluncurkan kursi melewati pintu galeri, sambil memegang

sebatang pena.

"Awas, Percy!" serunya, dan melemparkan pena itu ke

udara.

Bu Dodds menerkamku.

Sambil memekik, aku mengelak. Cakarnya terasa

menyambar udara di sebelah telingaku. Aku menyambar

pena itu dari udara, tetapi ketika mengenai tanganku, benda

itu bukan pena lagi. Benda itu menjadi pedang-pedang

perunggu milik Pak Brunner, yang selalu digunakannya pada

hari turnamen.

Bu Dodds berputar ke arahku dengan tatapan membunuh.

Lututku lemas. Tanganku gemetar begitu hebat, pedang

itu hampir terjatuh.

Dia menggeram, "Matilah, Anak Manis!"

Dan dia terbang tepat ke arahku.

Ngeri menjalari tubuhku. Kulakukan satu-satunya hal yang

timbul sewajarnya: pedang itu ku ayunkan

Mata logam itu mengenai bahunya dan membelah

tubuhnya dengan mulus, seolah-olah dia terbuat dari air.

Sssss!

Bu Dodds bagaikan istana pasir yang tertiup kipas angin

dengan kencang. Dia meledak menjadi serbuk kuning,

musnah saat itu juga, hanya meninggalkan bau belerang dan

jerit sekarat dan dinginnya kejahatan di udara, seolah-olah

kedua mata yang menyala merah itu masih mengamatiku.

Aku sendirian.

Di tanganku ada pena.

Tidak ada Pak Brunner. Tak ada siapa-siapa di situ, selain

aku.

Tanganku masih gemetar. Makanan bekalku pasti

tercemar jamur ajaib atau sejenisnya.

Apakah semua itu cuma khayalanku saja?

Aku kembali ke luar gedung.

Hujan mulai turun.

Grover duduk di sebelah air mancur, kepalanya ditutupi

peta museum yang dibentuk seperti tenda. Nancy Bobofit

masih berdiri di tempat tadi, basah kuyup akibat acara

berenangnya di air mancur, menggerutu kepada teman-

temannya yang jelek. Ketika melihatku, dia berkata,

"Mudah-mudahan Bu Kerr menghajarmu tadi."

Kataku, "Siapa?"

"Guru kita. Bodoh!"

Aku berkedip-kedip. Kami tak punya guru bernama Bu

Kerr. Aku bertanya kepada Nancy apa yang dia bicarakan.

Dia cuma memutar bola mata dan pergi.

Aku menanyakan di mana Bu Dodds kepada Grover.

Katanya, "Siapa?"

Tapi, dia sempat terdiam, dan tak mau memandangku,

jadi kupikir dia sedang bercanda denganku.

"Nggak lucu ah," kataku. "Ini serius."

Guntur menggemuruh di atas kepala.

Kulihat Pak Brunner sedang duduk membaca buku di

bawah payung merahnya, seolah-olah tak pernah bergerak.

Aku menghampirinya.

Dia mengangkat kepala, perhatiannya sedikit terpecah.

"Ah, itu pena Bapak ya. Besok-besok bawa alat tulis sendiri

ya, Jackson."

Aku menyerahkan pena itu kepada Pak Brunner. Aku

bahkan tak menyadari bahwa aku masih memegangnya.

"Pak," kataku, "di mana Bu Dodds?"

Dia menatapku kosong. "Siapa?"

"Guru pembimbing satu lagi. Bu Dodds. Guru pra-aljabar."

Dia mengerutkan kening dan memajukan tubuhnya,

tampak sedikit cemas. "Percy, dalam karyawisata ini tidak

ada Bu Dodds. Sepanjang pengetahuan Bapak, di Akademi

Yancy belum pernah ada guru bernama Bu Dodds. Kau baik-

baik saja?"