webnovel

TUAN MUDA

Happy reading~

.

.

Seorang pemuda sedang menggeliat tidak nyaman di tempat tidurnya,

Wanita itu terus membuka tirai besar di kamar hingga cahaya matahari masuk sepenuhnya.

"Tuan muda, waktunya bangun." Ucap pelayan berusia 40 tahun itu sambil menyentuh lengan tuan mudanya.

Pemuda itu menggeliat tak suka, dia malah menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebalnya.

Sang pelayan hanya mendengus pasrah,

"Ambilkan air dingin, Bi Ira." Ucap seorang wanita berpenampilan sederhana saat masuk ke kamar itu.

Bi Ira langsung melaksanakan tugasnya membawa seember air dingin.

Wanita tadi tersenyum miring,

Byuuuurrrr

Air sepenuhnya membasahi ranjang termasuk orang yang ada di atasnya.

"Maaaaaaaaaaaa" teriak pemuda itu kepada wanita yang baru saja menyiramnya.

"BANGUN!!" Teriak Nita lebih galak.

Dengan kesal pemuda itu berucap

"Ini akhir pekan, Ma."

"Lalu ? Kamu bukan Raja ataupun pangeran DEAN ALVARO DEANDRA."

"Ya tapi nggk gitu juga Ma, orang biasa aja tidur seharian di akhir pekan."

"Tapi kamu bukan orang biasa, kamu pewaris satu-satunya keluarga ini. Kamu harus paham itu Dean." Tuntut Nita pada anak semata wayangnya itu.

"Aku paham ma, aku juga akan bertanggungjawab sama tugasku sebagai pewaris. Tapi, tolong berikan aku sedikit kelonggaran."

"Kelonggaran apa lagi Dean, kamu menikmati semuanya. Mulai dari mobil mewah, fasilitas mewah, sekolah internasional, pakaian bermerek. Apa lagi yang kamu butuhkan ? Kamu menikmati semua ini karena usaha dari papa kamu. Dan sekarang tugas kamu untuk melanjutkan bisnis ini."

Bi Ira keluar ruangan diam-diam saat ibu dan anak itu mulai bertengkar lagi.

Sedangkan Dean hanya bisa menghela nafas panjang, selalu saja seperti ini.

"Dean juga nggk pernah minta di lahirkan di keluarga kaya raya, Ma."

Nita melotot tidak percaya lalu setelah beberapa detik ia menutup matanya dan membukanya perlahan.

Setelah klmata coklat terang itu terbuka sorotnya jauh berbeda, hangat dan teduh.

Nita tersenyum tipis lalu duduk di samping putranya,

"Maafin mama." Ucapnya lalu memeluk tubuh Dean yang sudah sangat besar itu.

"Pandangan mama dan pandangan kamu tentu berbeda menyikapi hal ini. Walau bagaimanapun saat orang tua mengatakan ini demi kebaikan kamu, maka itu adalah kebenaran Dean. Tidak ada orang tua manapun yang tega menyakiti anak-anaknya. Kecuali, orang tua di luar sana yang memang hanya tahu memproduksi tapi Nol besar dalam mendidik." Ucap Nita sambil mengelus punggung anaknya itu.

Dean tersenyum, hatinya menghangat.

"Iya, Ma. Dean juga minta maaf kalau udah egois."

Nita lalu melepas pelukannya dan berdiri

"Yasudah, kamu boleh libur hari ini. Tapi ingat kamu punya kewajiban dan mama nggk akan pernah larang kamu untuk senang-senang selama kamu nggk lupa sama kewajiban kamu itu, Right?"

Dean ikut berdiri lalu mencium pipi Nita,

"Siap, Ma." Ucapnya lalu melangkah ke kamar mandi. Sementara Nita hanya tersenyum tipis lalu merapikan ranjang Dean.

.

Setelah mandi Dean turun ke bawah, ruang makan. Dimana keluarganya berkumpul.

Saat menuruni tangga ia melihat dengan jelas ayahnya yang sudah duduk dengan setelan jas rapi dan mahalnya. Lalu ibunya, sibuk menyusun piring dan lauk di atas meja di bantu beberapa pelayan.

"Selamat pagi.." sapa Dean kepada orang tuanya.

"Pagi Dean.." sapa orang tuanya balik dengan senyum. Ah tidak, hanya ibunya yang tersenyum. Ayahnya ? Sudah sibuk dengan makanannya.

Mereka memang tidak begitu dekat, karena ayahnya sejak dulu selalu di sibukkan dengan pekerjaan kantor sampai tak ada waktu untuk keluarga.

Ayahnya itu-Ryan tak banyak bicara. Walau begitu, Dean tahu ayahnya sosok penyayang.

Dulu, dia selalu menyalahkan ayahnya karena tak punya waktu untuk ia dan ibunya. Namun, saat sering ke kantor untuk mulai belajar bisnis perusahaan akhirnya ia tahu bahwa ayahnya adalah pekerja keras dan ia tahu betul bagaimana beban menjadi CEO perusahaan yang sudah berdiri berpuluh-puluh tahun.

Dia pun akan sama suatu hari nanti, menjadi pemimpin perusahaan. Namun, ia bertekad tetap memiliki waktu untuk keluarga nya di masa depan.

Dean melirik ayahnya yang hanya mengunyah makanan, lalu hendak duduk di kursinya.

Seorang pelayan menarik kursi dan Dean duduk. Makanan pun di sajikan di piring Dean dengan hati-hati oleh para pelayan.

"Pagi, pa." Sapa Dean sekali lagi.

"Hm" Ucap ayahnya. Dean hanya menghela nafasnya, sudah hapal kebiasaan ayahnya.

"Ke kantor lagi pa ?" Tanya nya, pasalnya hari ini adalah akhir pekan dan ayahnya tetap ke kantor.

"Iya." Jawab Ryan masih dengan jawaban singkat dan padat.

"Papa mau ketemu salah satu klien hari ini." Ucap Nita menjelaskan, pasalnya jika ia tak bicara maka kondisi di rumah ini akan sangat dingin. Ia tak tahu bagaimana keadaan mereka jika Nita tak ada, karena selama ini Nita lah yang menghubungkan komunikasi ayah-anak itu.

"Oh." Ucap Dean singkat sambil menyantap makanannya.

.

.

.

Beberapa jam kemudian, Ryan sampai di kantor di temani sang istri-Nita.

Ada hal yang akan mereka bicarakan, tapi tidak di rumah.

Saat memasuki kantor, para karyawan menyapa mereka.

Nita menanggapinya dengan senyum namun sorot matanya menampakkan kecemasan, ia sudah bisa menebak masalah apa yang akan di bahas suaminya sampai membawanya ke kantor.

Mereka pun memasuki ruangan pribadi Ryan. Lalu beberapa menit kemudian datang Yugo-sekertaris Ryan.

Pria 40-an itu menyapa pasangan suami istri itu lalu berucap "Nyawa Tuan muda dalam bahaya."

Mendengar itu Nita langsung kehilangan keseimbangan, ia hampir saja jatuh jika tidak di tahan suaminya.

Corp Company, perusahaan besar yang berdiri berpuluh-puluh tahun dan semakin maju setiap tahun. Banyak pesaing yang menggunakan berbagai cara untuk menjatuhkan mereka bahkan dengan cara paling kotor sekalipun, salah satunya adalah percobaan pembunuhan kepada Ryan,Nita, dan yang terbaru putra mereka-Dean.

Tak heran, beberapa bulan ini Dean memang sudah muncul di publik sebagai pewaris satu-satunya dan itu adalah kesalahan mereka karena mengekspos Dean.

"Jika saja, kita tetap menyembunyikannya maka dia akan baik-baik saja. Apa yang harus kita lakukan?" Nita mulai terisak di pelukan suaminya.

Orang-orang itu tak akan segan mengirim pembunuh bayaran bahkan mafia kelas dunia sekalipun. Untung saja, beberapa tahun ini Ryan mampu menghalaunya. Namun, mereka semakin kuat dan semakin banyak.

Ia selalu berusaha mengumpulkan bukti dan membawa ini ke pihak berwajib akan tetapi selalu saja tak di terima dengan alasan "kurangnya bukti"

Karena itu, ia tahu betul bahwa satu-satunya solusi adalah menghabisi mereka.

Jika mereka kejam, maka Ryan mampu lebih kejam.

"Jangan khawatir, kita akan melindunginya." Ucapnya menenangkan istrinya.

"Tuan.." Yugo bersuara lalu memberikan alat perekam pada Ryan.

"Apa ini Yugo?"

"Kami menemukan ini di belakang lukisan kamar Tuan Dean pagi ini."

Rahang Ryan mengeras, mereka bahkan sudah bisa memasuki rumahnya sekarang.

Nita semakin panik namun berusaha menahan diri.

"Tak ada cara lain.." Ryan melihat Nita.

"Kita harus mengiriminya pergi."

***

To be continued~